Semenjak meluncur keluar dari pintu kafe Chochoville yang bernuansa sangat romantis itu, senyum Vino tak lekang dari bibirnya. Tangannya juga tak mau sedikit juga bergeser dari pinggang Klara meski Gadis itu berkali-kali berusaha untuk menyingkirkannya secara halus dan hati-hati.
“Vin..., tolong dong jangan begini,” ucap Klara lirih pada akhirnya, lantaran Vino masih saja membandel dan melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Klara.
Vino hanya mengerling sesaat dan tersenyum menggoda.
“Halah nggak apa. Kan jarak dari pintu keluar kafe ke mobil dekat, Sayang. Nggak mungkin ada Teman atau Keluargamu yang memergokimu,” balas Vino pelan.
“Kita nggak pernah tahu. Nggak pernah bisa memastikannya,” sahut Klara agak kesal.
Senyum Vino langsung lenyap tak berbekas.
Klara lalu mempercepat langkahnya dan berharap supaya gerakannya itu dapat membuat pegangan Vino di pingangnya terlepas. Sayangnya dia keliru. Usahanya sia-sia saja. Vino juga mempercepat langkah kakinya, dan malah memperketat pegangannya.
Klara mengerling jengah.
Dipegangnya tangan Vino dengan keras lalu disingkirkannya secepat mungkin.
“Kamu tuh ah,!” keluh Klara.
Kini dia bukan sekadar berjalan cepat, namun sudah setengah berlari untuk segera menuju ke mobil.
Vino menarik napas dan segera mengejar Klara.
Aura kemesraan yang mereka reguk semenjak Vino menjemput Klara di lobby apartemen Gadis itu dan selama mereka berdua menikmati makan malam di kafe pilihan Vino, yang mana posisi tempat duduknya juga sudah sengaja dipilih Vino di tempat yang terhalang sebuah pilar agar tak terlalu terlihat oleh Pengunjung Kafe selain mereka, mendadaki terusik.
Sejarak tiga langkah dari badan mobil, lekas dia mendahului Klara dan membuka pintu mobilnya untuk Klara.
Gadis itu tidak menoleh ke kanan kiri atau depan belakang lagi, melainkan segera masuk.
Vino memerhatikan, wajah Klara sedikit cemberut. Alangkah berbeda dengan tadi.
Tentu saja Vino merasa jengkel.
Ini Cewek benar-benar susah. Seperti Orang yang nggak pernah pacaran saja. Kalau dihitung-hitung, sudah lumayan lama aku dekat sama dia, tapi dianya masiiih saja seperti pantang memperlihatkan kemesraan di depan umum. Norak sekali! Karena kalau berpura-pura, kelihatannya kok enggak. Ciuman bibir saja masih bisa dihitung pakai sebelah jari. Nyebelin banget. Dia ini punya prinsip apa, sih? Dan dia pikir, dia ini secantik apa memangnya? Dumal Vino dalam hatinya sembari diam-diam membandingkan Klara dengan Sejumlah Cewek yang mengejar perhatiannya sejauh ini. Disadarinya, ada di antara mereka yang lebih cantik dari Klara. Dan itu baru golongan Cewek yang sepantaran. Belum lagi jika memasukkan pula hitungan Chantie, Si Istri ketiga dari pak Burhan yang usianya malahan baru menyentuh angka 19 tahun itu.
Wah. Klara kalah jauh menurutnya.Sebab ibarat buah, menurut Vino pribadi, umur segitu sedang manis-manisnya.
Chantie sebagai Istri Ketiga dari Pengusaha Furnitur yang lumayan sibuk itu memang harus berbagi cinta dan perhatian dengan dua Istri Pak Burhan lainnya. Pak Burhan memang berusaha seadil mungkin kepada ketiga Istrinya, yang semuanya juga dinikahi secara resmi.
Vino tahu bahwa Chantie menolak tinggal di rumah yang dibelikan oleh Pak Burhan di sebuah kompleks perumahan. Alasannya karena malas mendengar gosip dan omongan Tetangga, apalagi jika itu menyangkut tentang dirinya.
Wajar saja. Usia Pak Burhan itu sudah memasuki kepala 6. Mau dipoles seperti apa juga penampilannya takkan mungkin bisa semuda Chantie. Dan sudah pasti, semua Orang juga menyangsikan bila Chantie benar-benar mempunyai rasa cinta kepada Lelaki tua yang bahkan sudah mempunyai Cucu itu.
Di depan Pak Burhan, tentu saja Chantie bersikap manis dan berlaku sebagai Istri yang setia. Akan tetapi di belakang Lelaki itu, tentu dia sadar Pak Burhan tak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhannya. Jiwa muda Chantie yang awalnya dikenal Pak Burhan karena menjadi Pembawa Acara di Perayaan Ulang Tahun Pernikahan Anak Pertamanya itu, berontak.
Chantie memilih untuk tinggal di sebuah apartemen. Alasannya, karena memudahkan dirinya menghindari bisik-bisik yang tidak perlu. Dan saking sayangnya Pak Burhan kepadanya, maka keinginan Chantie dituruti tanpa protes.
Tapi Siapa yang tahu, hal itu juga dimaksudkan untuk menutupi perselingkuhannya dengan Laki-laki lain, baik yang sifatnya hanya One Night Stand, atau yang berkali-kali bertemu seperti halnya Vino.
Tak bisa dibantah, di antara Para Wanita Kesepian yang membutuhkan jasa Vino dari sekadar mengobrol, menghabiskan waktu, makan bersama dan b******u mesra sampai ada pula yang membutuhkan keperkasaan Vino untuk menghangatkan ranjang mereka, sejauh ini Chantie adalah favoritnya Vino.
Kalau dari segi umur, jelas, dia yang termuda.
Sudah begitu, Chantie juga pintar merawat diri. Seolah dia tahu tubuhnya merupakan harta yang amat berharga sekaligus modal dasarnya. Penampilannya selalu modis. Kulitnya jelas masih kencang. Dan walau dirinya putus sekolah karena berkonflik dengan Papanya yang menikah lagi, hal itu toh tak membuatnya rendah diri. Apalagi dia juga sudah bisa mencari uang sendiri sejak masih duduk di bangku SMP. Caranya dengan menerima jasa endors produk busana dan kecantikan. Dia juga pintar berbicara di depan umum, makanya jalur sebagai Pembawa Acara bukan hal yang baru untuknya.
Bagi Vino, Wanita muda itu tidak pelit, dalam segala hal.
Chantie tidak ragu membelikan Vino barang-barang yang mahal sebagai penunjang penampilannya. Dari kemeja, kaca mata, arloji, sepatu, sampai makanan kesehatan import untuk Cowok itu. Kalau Vino menggoda dan mengatakan tidak perlu karena apa yang ‘dibayarkan’ oleh Chantie sudah sesuai dengan kesepakatan bersama, Chantie biasanya berkilah dengan mengatakan, “Anggap saja itu sebagai hadiah pertemanan.”
Chantie yang tidak pelit untuk berbagi cerita tentang konflik keluarganya dan secara gamblang mengatakan kepada Vino bahwa dia sengaja menerima pinangan Pak Burhan sebagai ‘tiket’ untuk keluar dari rumah Sang Papa yang telah memboyong Ibu sambungnya ke rumah di mana dirinya dibesarkan dan dipenuhi kenangan akan Almarhumah Sang Mama yang menurutnya terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja.
Chantie juga pernah mengatakan kepada Vino bahwa jauh di lubuk hatinya, dia tak rela Si Ibu Sambungnya tidur di kamar yang dulu dipakai oleh Orang tuanya, betapa pun semua furnitur di dalamnya telah diganti, sesuai dengan selera dan kemauan Si Ibu Sambung.
Vino jadi merasa senasib dengan Chantie karena sama-sama berkonflik dengan Sang Papa. Bedanya, di mata Vino apa yang dilakukan oleh Pak Danang sangat b******k, karena Mama kandungnya masih hidup. Sementara Papanya Chantie, berdasarkan kisah yang meluncur dari bibir Chantie kepadanya, sudah ditinggal pergi Sang Istri untuk selamanya hampir dua setengah tahun sebelum memutuskan untuk menikah lagi. Dan yang jelas, Papanya Chantie itu tidak menikahi Ibu Sambung Chantie karena sebelumnya telah berselingkuh di belakang Mamanya Chantie.
“Ya, wajarlah Chan. Namanya juga Laki-laki. Memang sebaiknya menikah biar ada yang mengurusi. Lagi pula kan biar nggak berzinah juga. Dia itu kan pasti punya kebutuhan biologis yang terabaikan, mau dialihkan ke kesibukan kerja juga nggak selamanya bisa berhasil. Kamu coba untuk menerima kenyataan deh.” Itu kata-kata yang kerap diucapkan oleh Vino apabila Chantie berkisah tentang Sang Papa yang dianggapnya terlalu cepat melupakan Sang Mama dengan menikah lagi.
Kalau yang mengatakan Orang lain, termasuk Kerabat Papanya yang rata-rata membela apa yang dilakukan Sang Papa, Chantie bisa mengumpat dan mengeluarkan kata-k********r. Lain soal kalau Vino yang mengatakannya. Kalimat yang mirip. Maksud yang sama. Namun entah kenapa hasilnya bisa berbeda jika disampaikan oleh Orang yang berbeda.
Vino bisa bicara blak-blakan kepada Chantie, sebagaimana Chantie juga bicara blak-blakan kepada dirinya.
Kembali ke soal ‘tidak pelit’.
Walau posisi Chantie sebenarnya adalah ‘Pemakai Jasa’ dan Vino adalah Sang ‘Penjual Jasa’, namun Wanita itu memang sangat tidak pelit.
Pada saat mereka berjanji untuk bertemu lantas Vino mencumbunya, Chantie mengijinkan Vino menjamah setiap lekuk dan setiap sudut dari tubuh Wanita usia belasan itu.Dia malah berterus terang mengakui kepada Vino bahwa dirinya senang diperlaukan demikian. Ada kalanya dirinya menggelinjang dan menggoda Vino, menjadikan Vino kian b*******h.
Chantie tidak pelit berekspresi. Wanita itu tak ragu untuk mendesah, mengerang, bahkan hingga menangis kala Vino memuaskan dirinya. Dan itu membuat Vino lebih tersulut untuk mengerahkan segenap kemampuannya.
Vino sendiri juga menikmati permainan panas mereka. Lebih dari itu, bahkan di saat Chantie ‘tidak mengorder layanan’ kepadanya, Chantie sangat tidak pelit. Dia mau mencocokkan waktu untuk ‘bertemu’. Pertemuan yang kemudian berakhir di atas ranjang.
Itu terjadi baru-baru ini.
Tatkala Vino terus-menerus bermimpi hal yang sama : meniduri Klara!
Anehnya, betapapun keras usahanya untuk mengalihkan keinginan tersebut, dia tetap saja tak dapat mengabaikan hal itu.
Dia butuh Seseorang untuk melepaskan gairahnya, namun sangat tak mungkin untuk ‘meminta’ hal itu kepada Klara yang dianggapnya dingin serta ‘sok bermoral’ itu. Sedangkan dirinya juga sedang tidak mood untuk menerima ‘panggilan’ dari ‘Para Pemakai Jasa’-nya di bulan-bulan terakhir ini. Dia bahkan nekad untuk memblokir sebagian nomor mereka karena sedang tak mau diganggu.
Ya, Vino memang sedang 'sepi job' yang itu akhir-akhir ini.
Di samping dirinya sedang dalam kesulitan mengatur waktu antara pekerjaan pokoknya di Channel 789, usaha pendekatan yang terus-menerus untuk ‘menempel’ Klara, lantas disambung pula dengan peristiwa kecelakaan Pak Danang yang berakibat dirinya mendapatkan tugas baru untuk mem-back up, sepertinya Para ‘Langganan’nya itu juga sedang adem-ayem saja dengan Pasangan resmi mereka sehingga sedang tidak membutuhkan kehadirannya. Lagi pula, umumnya mereka itu usianya juga sudah memasuki kepala 4 atau 5.
Maka sudah pasti pilihannya jatuh kepada Chantie. Chantie yang meski usianya masih belum memasuki angka kepala 2 tetapi sudah sangat berpengalaman di atas ranjang.
Dia menghubungi Chantie dan berbasa-basi sebentar.
Keadaan rupanya sedang berpihak kepadanya. Di samping Pak Burhan tengah mengajak Istri Kedua serta Sepasang Anaknya yang menjelang remaja dan merupakan buah pernikahan dari Istri Keduanya itu berwisata ke pulau Formosa, Chantie sendiri ternyata sedang menjadi Pembawa Acara di sebuah pernikahan yang diselenggarakan di sebuah hotel di daerah Jawa Barat. Chantie mendapatkan satu kamar dari Pihak Panitia.
Vino terkenang, itu baru saja terjadi. Tepatnya dua minggu lalu. Persis di hari Jumat malam yang seperti ini juga.
Melakukan ‘itu’ dengan Chantie saja sudah sangat menyenangkan buatku. Apalagi kalau aku sambil bisa berfantasi, seolah Klara yang menjadi lawan mainku, pikir Vino.
Dan selagi berjalan menuju sisi kanan mobilnya, Vino tersenyum mengenang bagaimana dia bisa mendapatkan ‘kepuasan ganda’ tersebut.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $