...
“Ngomong-ngomong, kok tumben sih Vin, kamu yang telepon aku duluan? Hayooo..., mulai kangen sama aku ya? Mulai ada rasa ya? Wah! Wah! Wah! Berani kamu, menghadapi Suamiku?” goda Chantie di tengah percakapan.
Siapa yang mau bersaing sama Suamimu? Gila, enggak, lah! Aku menghubungimu juga karena aku butuh. Kamu juga pasti butuh aku, kan? Aku sih bisa-bisa saja melampiaskan gairahku ke wanita penghibur. Tapi maaf saja, enggak pernah terpikir sama aku untuk tidur dengan sembarang Orang. Ya kecuali Para Tante yang biasa memakai jasaku, dan itu juga aku perkirakan mereka bersih. Kamu juga mestinya bersih, kan? Lagi pula kita main aman. Aku ogah ambil resiko buat diriku sendiri, sahut Vino tanpa suara .
Vino tertawa getir.
Diam-diam terpikir olehnya, apakah mungkin Santi juga melakukan hal serupa tanpa sepengetahuan Papanya? Namun pemikiran ini lekas ditepis olehnya. Diingatnya, Santi dan Chantie benar-benar merupakan dua Orang yang berbeda jauh.
Beda kelas banget. Yang sama cuma sama-sama menikahi Laki-laki tua doang. Santi mengawali dengan berselingkuh, entahlah dengan Chantie. Tapi dari ceritanya, pernikahannya disetujui tuh sama Dua Istri Pak Burhan, dan itu juga hanya berjarak sekitar setengah tahun dari pertemuan pertama mereka. Terus kelihatannya Pak Burhan bisa membuat Istri-istrinya akur. Dan yang jelas, Chantie menikah sama Pak Burhan bukan karena sudah hamil duluan. Sudah begitu, Chantie ini pintar merias diri. Dia lumayan berkelas seleranya. Dan entah bagaimana cara dia melakukan negosiasi sama Pak Burhan, kenyataannya dia tetap diijinkan bekerja sesekali selagi dirinya belum diberi Momongan, walau semua kebutuhan materinya sudah dipenuhi oleh Pak Burhan. Tetapi tentu saja dengan banyak persyaratan, salah satunya adalah jadwalnya tidak boleh bertabrakan dengan jadwal ‘kunjung’ Pak Burhan. Itu nilai lebih buat dia. Bikin dia nggak ketergantungan banget.sama Laki-laki. Kalau yang itu? Huh! Sudah kampungan, merusak rumah tangga Mamaku, gatal, nggak bisa kerja, pula! Bisanya cuma menghabiskan hasil keringat Suaminya. Terus, baru juga punya Anak dua, penampilannya sudah seperti Ibu-ibu punya Anak lebih dari selusin. Sudah mulai gembrot. Heran, Papaku masih bernafsu sama dia? Mamaku saja yang jauh lebih tua dari dia lebih apik penampilannya. Dan kalau dia berani berselingkuh, awas saja! Pikir Vino pula.
“Hoiii! Kok diam? Wah, beneran terbawa perasaan nih! Hoiiii, ini Istri Orang lho. Nggak boleh! Hubungan kita kan cuma sebatas hubungan ....,” Chantie menggantung kalimatnya.
Vino terkekeh.
“He he he..., justru itu. Aku..., lagi kepengen banget nih!”
“Dih, gila! v****r Orang satu ini! Terang-terangan ngomongnya!”
“Biarin! Sama kamu kan nggak perlu ngomong pakai kiasan. Sama-sama tahu.”
“Kan aku sudah bilang, aku lagi di luar kota. Ini saja sampai aku dikasih kamar khusus sama Pihak Panitia biar nggak usah repot balik ke Jakarta.”
“Auuuw! Pengantinnya juga menginap di hotel itu? Sebelahan kamarnya? Waduh, kasihan sekali kamu. Kamu sudah pesan head seat untuk mendengarkan musik super kencang nggak? Atau jangan-jangan kamu bawa alat 'mainan' pula, ha ha ha...”
“Ih! Dasar! Pikirannya kok juga sampai ke sana sih! Beda. Ini hotel dan villa di satu kawasan. Aku dikasih kamar di hotelnya. Mereka dan Para kerabat kelihatannya menginap di sejumlah bangunan villa yang menghadap ke telaga. Namanya kamar Pengantin pasti dibedakan sekali letaknya, yang terjauh, biar nggak terganggu dan mengganggu, perss omonganmu barusan kan?” timpal Chantie.
“Cocok. Aku susul ke sana. Kebetulan hari ini pekerjaanku bisa tuntas tepat waktu. Paling dari kantor ke sana sekitar dua setengah jam sampai tiga jam.”
Chantie tertawa.
“Eh, buset! Niat banget! Sampai segitunya.”
“Boleh ya? Pleaseeeee...”
“Sebentar deh. Ini aku kerja di sini ya, sisa honorku baru ditransfer besok pagi. Terus, tahu-tahu kamu mau minta bagian juga,” olok Chantie.
“Yang ini gratis. Hitung-hitung bonus pertemanan.”
Chantie terbahak.
“Wah, nggak mau yang gratisan, ah. Nggak biasa nikmatin barang gratis.”
“Sialan. Barang gratis. Eh tapi aku serius, Chan.”
“Ini kamu jangan ngeledek terus. Aku sudah mau turun nih. Jangan sampai Pihak Panitia yang ketuk-ketuk kamarku.”
“Aku serius. Kamu tinggal cari cara, bagaimana supaya Suamimu nggak tahu. Seperti biasanya.
“Ho ho ho! Dia nggak bakalan tahu.”
“Memangnya Panitia nggak ngember?”
“Nanti kalau sudah dekat, aku yang turun ke lobby saja. Usahakan malam ya. Jadi mereka semua sudah beristirahat.”
“Sudah pasti malam, lah. Acara selesai jam berapa?”
“Sekitar jam setengah sembilan.”
“Oh. Kalau begitu biar nggak mencurigakan, kamiu berlagak turun terus kita cari makan di luar dulu deh. Kan nggak menyolok dan mengundang perhatian. Kalau begitu aku bisa santai ke sananya.”
“Oke nanti aku kirim alamat hotelnya.”
...
Vino menutup pintu mobil dan segera duduk di belakang kemudi.
Segumpal rasa kesal mengusiknya. Namun ditahannya agar tidak merusak suasana.
Vino mengulurkan tangannya dan membelai kepala Klara.
“Klara Sayang, kamu tuh harus banget sampai separno itu setiap kali kita lagi berduaan begini?”
Klara mengembuskan napasnya.
“Aku masih belum siap harus jawab apa Ke Kakakku. Aku sudah sering bilang kalau dia itu cerewet sekali, kan?”
Vino tersenyum miring.
Ia lantas melajukan kendaraannya.
Di dalam diam, dia berpikir keras.
Otaknya mengkalkulasi.
Diingatnya, setiap kali sebelum ‘berpisah’ dengan Chantie, tidak pernah dia pergi dengan tangan hampa.
Dua minggu lalu saja Chantie tetap menyelipkan sebuah amplop berisi uang setelah minta ditemani untuk ke atm terdekat setelah mereka berdua menghabiskan waktu bersama di hotel tempat berlangsungnya resepsi pernikahan itu. Mereka bahkan sempat mandi bersama.
Chantie memang termasuk Wanita cerdas. Dia jaga-jaga, tak mau melakukan transfer uang ke rekening Vino agar tak mudah untuk ditelusuri oleh Sang Suami.
Kala itu Chantie berkata bahwa itu sekadar hadiah pertemanan.
Dan Vino yang semula menolak, akhirnya menerima juga.
Toh, dia tidak meminta bayaran karena merasa dirinya juga mendapatkan kenikmatan karena dapat melepaskan gairah yang telah ditahannya sekian lama dan membuat pusing kepalanya dan mengakibatkan mood-nya berantakan. Saat itu dia berpikir, sungguh tak sia-sia berkendara berjam-jam, mendapatkan kesenangan, pulangnya membawa uang tunai juga!
Rata-rata Cewek tuh tahu diri deh. Nggak seperti Klara. Kalau dihitung-hitung, modal aku sudah lumayan nih selama mendekati dia. Bukan masalah uangnya untuk bayar makan atau kasih dia tanda mata unik yang aku dapatkan ‘jasa titip’. Tapi waktu, energi, perhatian, dan semua yang sudah aku lakukan buat dia. Aku saja sampai terus berusaha menjaga citra bahwa aku ini Cowok baik, sabar, pengertian, ringan tangan dan tentu saja sopan serta alim. Sementara dia? Huh! Nggak jauh dari gantian bayar makan, ganti kasih tanda mata juga kalau ada Kru dia atau dia sendiri yang mengadakan event di luar kota. Ya oke, otak dia memang bisa dimanfaatkan. Buktinya, kinerja kerjaku meningkat karena gagasan dia ternyata cocok sama kebutuhan Channel 789. Berkat dia juga aku sekarang sudah resmi menjadi Produser dan mempunyai program acara andalan. Ya tapi..., aku mau yang lebih dari itu! Bingung aku, apa nama hubungan aku sama dia ini? Pacaran? Pacaran sungguhan? Tapi sudah sekian bulan berlalu, aku nggak pernah mendapatkan lebih dari ‘ijinnya’ untuk mencium bibir dia. Nggak lebih dari itu. Itu juga dapatnya di mobil terus. Apa gunanya dia tinggal di apartemen kalau nggak pernah kasih aku ijin untuk bertandang? Alasannya juga kekanakan. Dia nggak mau sampai Keluarganya melihat ada Tamu Laki-laki yang masuk hingga ke unit apartemennya dan dia juga mengatakan bahwa Segenap Tim-nya saja biasa berdiskusi dengannya di beberapa kafe atau area umum yang ada di lantai dasar. Alasan yang konyol! Omel Vino dalam diam.
“Eh, kenapa ke arah sini?” tanya Klara tiba-tiba.
Vino memalingkan wajahnya ke samping sesaat.
“Ini kan belum jam setengah sembilan. Aku juga masih kangen nih sama kamu. Kita ngobrol dulu yuk.”
“Ngobrol?”
“Iya.”
“Di apartemenku saja.”
“Di unit maksudmu?’
Klara tergeragap.
“Enggak dong. Di bawah kan banyak tempat. Aku nggak biasa terima Tamu di unit. Entah Teman, Kru atau Siapa saja. Kan kamu tahu. Biasa kalau ada yang datang, aku turun.”
Vino mati-matian menahan senyum sinisnya.
See? Ini bukan soal menjaga privasi kan? Karena kamu nggak mau ada Oran gyang mask ke apartemenmu? Huh! Umurmu itu berapa? Sudah setua itu juga. Itu prinsip atau apa sih? Aneh dan menggelikan. Kamu perlu belajar dari Chantie deh. Buka sedikit pikiranmu. Orang tinggal di apartemen itu salah satunya karena alasan privasi, nggak ada kanan kiri yang bakal banyak mulut mengomentari Siapa saja yang datang. Bukan orivasi versimu, di mana nggak kasih Orang masuk ke unitmu, pikir Vino sebal.
Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin di jaman serba modern begini, masih ada ‘Makhluk’ macam Klara ini, yang masih begitu peduli : ‘omongan orang’ dan demikian menjaga sikap.
“Kita ke tempat kost aku saja.”
“Hah?”
“Hah apa? Oh. Aku tahu. Kamu ngebayangin tempat kost aku pasti jorok, masuik gang sempit, banyak kecoanya, terus bangunannya sudah tua, dekil, bau, reyot, hampir runtuh pula bangunannya. Jadinya kamu nggak sudi ya buat mampir. Aku kok kadang suka lupa ya, nggak sadar diri aku itu siapa.”
Hati Klara sedih mendengarnya.
“Vin, jangan begitu terus ngomongnya. Kamu sudah janji, berkali-kali tapi terus mengingkarinya lho, dengan selalu mengungkit hal macam itu lagi dan lagi.”
Vino meraih tangan Klara dan meremasnya perlahan.
“Sorry. Tapi aku masih kangen sama kamu Sayang. Tempat kost aku itu nggak terlalu jorok, kok. Nanti kamu lihat sendiri deh. Menurutku, sih..”
“Bukannya begitu...”
“Terus apa?”
“Eng..., aku merasa aneh saja, datang ke tempat kost Cowok.”
Vino langsung tertawa.
“Kamu kan datang sama aku. Nggak masalah dong.”
Berkata begini, sebuah rencana langsung melintas di pikiran Vino.
Harus bisa. Aku kan sudah keluar uang lumayan nih buat makan makan malam romantis dan aku bilang dadakan ini, yang aku bilang sebagai sarana buat merayakan posisi baruku. Ya masa sih, sekadar peluk-peluk dan semacamnya nggak dapat? Malah kalau bisa, yang lebih dari itu.
Dia langsung ingat, betapa sempurnanya Jumat malam ini.
Beberapa Kawannya, karena tanggal muda sengaja pulang kampung sebentar untuk menengok Keluarga mereka. Jono diajak Salah Satu Kawannya untuk mencoba menginap di hotel baru yang bernuansa alam. Tadi pagi sewaktu hendak berangkat bekerja, Vino melihat Jono sedang memasukkan pakaian ke dalam tas punggung. Diperkirakannya Jono sudah berangkat sejak siang atau sore tadi. Roni, Temannya yang lain, diketahuinya sedang menghabiskan cuti dengan berkeliling sejumlah area Thailand Utara serta Myanmar dengan beberapa Kawan seperjalanan dan baru beberapa hari ke depan kembali ke Jakarta. Sementara Tomo, ada tugas di luar kota. Hari Minggu pagi dia baru akan kembali dengan penerbangan terakhir.
Praktis hanya ada Julian dan dirinya di tempat kost sekarang.
Dan biasanya Julian akan pulang agak malam kalau awal bulan begini karena banyak pekerjaan.
Bakal menang banyak nih. Yess! Sorak Vino dalam hati.
Sadar Klara berada di sisinya, Vino menahan agar seringai iblis tidak tampak di wajahnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $