Informasi yang Mengejutkan Dari Teman Lama (1)

1955 Words
“Silakan, ini es Shanghai-nya Mbak,” perkataan Seorang Waitress yang mendekat ke meja mereka serasa menyelamatkan Klara dari rasa canggung yang membelitnya. “Terima kasih, Mbak,” ucap Klara saat es dengan tampilan menggoda itu diletakkan di atas meja, tepat di depannya. Ucapan terima kasih yang sungguh keluar dari lubuk hati yang terdalam. Dia merasa benar-benar terbebas dari rasa canggung karenanya. Semua berkat Si Kudapan yang datang tepat waktu. Sang Waitress mengangguk santun dan meninggalkan meja mereka. “Aku makan duluan ya Vin. Atau, kamu mau cobain juga?” tanya Klara. Vino mengoyangkan telapak tangannya. “Nah, Pho aku juga sudah datang tuh,” kata Vino kemudian, menunjuk ke Waitress lain yang mendekat ke meja mereka. Bahasan tentang mimpi segera terpinggirkan. Kini keduanya saling mengomentari cita rasa makanan yang mereka nikmati. Dan sisa hari itu benar-benar menyenangkan bagi Vino maupun Klara. Terlebih, pada saat Vino akhirnya mengajak Klara untuk menonton film juga. Klara tidak menolak. Mungkin pikir Gadis itu, tidak ada salahnya untuk menyegarkan pikiran setelah sebuah perhelatan sukses ditangainya. Vino sangat gembira. Pilihan Vino adalah sebuah film drama romantis yang berbalut komedi. Pilihan yang tepat, sebab Vino dapat memanfaatkan kesempatan dengan menggenggam tangan Klara sepanjang pemutaran film. Dia bahkan sesekali mencuri kesempatan untuk mencium Klara, hanya saja Gadis itu dapat mengelak dengan manis. terang saja dirinya geregetan. Sial! Ini Cewek ternyata rada susah juga. Kirain sudah dikasih ciuman satu kali terus jadi ketagihan dan berbalik ngejar-ngerar gue. Ternyata gue keliru. Ini mah, masih pakai acara ngeles bajaj melulu. Dan lucunya, gue kok mulai suka dan terbiasa sama sikapnya ini. Gue curiga, malahan hati gue yang mulai sukses dirampas sama dia. Semoga sih perkiraan gue ini salah, pikir Vino sembari mengerling pada Klara yang terlihat asyik menikmati tayangan film layar lebar yang tengah berlangsung. Dia tak tahu saja, sebenarnya perhatian Klara tidak sepenuhnya ke layar lebar di depan mereka. Dia hanya memerlukan tayangan yang ada di sana untuk mengalihkan rasa groginya karena genggaman tangan Vino yang demikian hangat. Dia beradadi antara ingin membiarkan Vino terus seperti itu dan menikmatinya dalam diam dengan resiko bahwa Cowok itu akan tahu rahasia hatinya yang terdalam, ataukah mencoba memusatkan pikiran pada adegan romantis dan lucu yang tersaji di depan matanya. * Hari ini Irene merasakan perutnya mual, jauh melebihi yang sebelumnya pernah dia rasakan selama mengandung Sang Buah Hati. Dia sampai kehilangan selera makan. Mood-nya untuk bekerja juga terganggu. Rasa malas yang hebat menyergapnya. Dhika menatap Sang Istri yang kembali membaringkan diri di atas peraduan sekeluarnya dari kamar mandi untuk memuntahkan semua yang telah disantapnya sebagai menu sarapan pagi. Irene bahkan tidak mengganti dulu pakaian kerjanya saking malasnya. Sungguh sanagt bukan Irene. Biasanya Wanita satu itu paling cerewet kalau Dhika tidur tidak mengenakan piyama. Dia akan memaksa Sang Suami berganti piyama dulu. Padahal ada kalanya Dhika berkeras apa bedanya tidur dengan piyama dengan tidur mengenakan t-shirt serta celana pendek walau ujung-ujungnya tetap akan kalah dan menuruti ‘peraturan’ dari Sang Istri Tercinta. Nah apalagi yang ini. Naik ke peraduan dengan setelan kerja yang terdiri dari sackdress dengan blazer! Bagaimana bisa Dhika tidak khawatir? Yang dipikirnya, Sang Istri merebahkan diri di atas peraduan tanpa mengganti pakaian dulu pasti lantaran sudah kehabisan tenaga. Dhika mendekat dan duduk di tepi pembaringan dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Irene. “Sayang, aku panggil Dokter Lisa biar memeriksa kamu, ya Ini nggak biasa-biasanya kamu sampai kelihatan lemas begini,” ucap Dhika. Irene menggeleng keras. “Aku nggak apa-apa.” “Serius? Rasanya bagaimana? Pusing? Mual? Lemas? Atau bagaimana?” tanya Dhika. “Pusing sedikit. Dan semakin kamu tanya pusingnya bakalan semakin parah,” ketus Irene. Dhika langsung terdiam..Dia sudah dipesani oleh Sang Mama bahwa Wanita hamil itu harus sangat dijaga mood-nya. Bahkan Sang Mama juga tak lelah mengingatkan dirinya untuk lebih banyak mengalah apabila Irene terkesan menguji kesabarannya. “Atau aku nggak usah kerja saja ya. Aku temani kamu di rumah. Aku khawatir kamu kenapa-napa, Sayang.” Irene mendesah kesal. “Berangkat sana!!” ucap Irene kemudian. Dhika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia memang ada jadwal rapat penting hari ini. Tetapi demi melihat keadaan Sang Istri tercinta, mendadak dirinya berada di puncak galau. “Cepat. Pergi sana aku bilang!!” Kali ini Irene bukan hanya menyuruh, akan tetapi menggerakkan pula telapak tangannya seperti Seseorang yang tengah mengusir ayam saja. Dhika tidak bergeming dari tempatnya. Dia masih menatapi Sang Istri, tetapi tidak berani untuk lebih mendekat lagi. lebih-lebih menyentuhnya. Dia takut Sang Istri akan marah.. “Aku telepon Mama saja ya, biar menemani kamu.” “Mama Siapa?” “Ya terserah kamu. Mau Mama Ellen atau Mama Gwen.” “Enggak.” Dhika menarik napas. Dia memang sudah mendengar bahwa Sang Istri kurang nyaman dengan sikap over protective dari Mamanya. Bukan satu dua kali Irene mengeluhkan hal itu kepadanya. Karenanya, dia lalu kembali berkata, “Mama Ellen saja kalau begitu. Aku telepon sekarang, ya.” “Enggak. Kan sudah ada Mbak di rumah.” “Irene Sayang, jangan begini dong. Kamu bikin aku khawatir.” Mendadak Irene menangis. Dhika semakin khawatir. Dia segera mengelus pundak Sang Istri. “Sayang, kenapa? Ada yang sakit? Di mananya?” tanya Dhika dalam kegelisahan yang memuncak. “Kamu bikin aku pusing. Pergi! Aku nggak kenapa-napa!!” teriak Irene keras. Dhika menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu mau aku gantikan pakaianmu?” “Enggak! Pergi! Nggak ngerti banget sih dibilangin dari tadi!” Pikiran Dhika terasa penat. “Aku pindahkan saja rapatnya ke rumah, deh. Aku kabari sekarang ke tim aku.” “Enggak! Aku nggak mau ada ramai-ramai di rumah! Berisik!” Irene terisak. “Ya ampun Sayang, kamu jangan bikin aku bingung. Sudah, biar aku mengikuti rapatnya dengan video conference call saja,” kata Dhika lagi. “Pergi! Aku nggak mau lihat muka kamu! Kamu bikin aku mual! Wueeek!” mendadak Irene muntah lagi. Sekarang yang keluar dari mulutnya bukan lagi makanan tapi hanyalah cairan kuning, pertanda sudah tak ada lagi yang dapat dimuntahkan. Dhika langsung sibuk mengusap dan memijat pelan bagian belakang leher Sang Istri. Sekarang dia sudah merasa mantap untuk tidak berangkat ke kantor. “Pergi! Kamu itu usaha masih baru ditinggal-tinggal! Mana tanggung jawab kamu sama Istri dan Calon Anak kamu! Pergi sekarang! Supir kamu sudah menunggu dari tadi!” teriakan Irene melengking. Dhika yang sedang membersihkan noda bekas muntahan Sang Istri di lantai dengan tissue basah bagai ditohok lambungnya. Dia memejam mata.. Meresapi ada kebenaran dalam kalimat Sang Istri. “Panggil Mbak. Aku mau dia nggak usah ngerjain apa-apa hari ini. Biar dia menemani aku saja di sini,” suruh Irene kemudian. “Sabar ya Sayang,” ucap Dhika akhirnya. Dilihatnya, Sang Istri sudah membaringkan badan kembali di peraduan. Sambil melangkah keluar dari kamar, Dhika meneriaki nama Asisten Rumah Tangga mereka. “Ya, Pak,” sahut Rieka yang tergopoh mendekati kamar Sang Majikan dan mengetuk daun pintunya. Dhika berjalan ke arah ambang pintu. “Kamu dipanggil sama Ibu. Pokoknya hari ini kamu nggak usah mengerjakan apa-apa. Kamu urusi Ibu saja. Nanti kalau perlu bersih-bersih panggil layanan saja. Terus Ibu mau pesan makanan apa, kamu tanya saya dulu ya, boleh atau nggak. Nanti saya yang pesankan. Pokoknya kamu temani Ibu terus di kamar. Kalau ada apa-apa kamu kabari saya. Telepon genggam kamu diaktifkan terus, ya,” pesan Dhika runut. Rieka mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya permisi masuk ke dalam kamar, ya.” Dhika mengangguk dan berjalan di belakang Rieka. “Mbak,” panggil Irene saat mendengar suara Rieka mendekat. “Ya, Bu.” “Suruh Mang Jono belikan bubur sum-sum di ujung jalan. Sekarang! Saya lapar!” Dhika langsung memberi isyarat ke Rieka bahwa dia yang akan menyuruh Mang Jono sebelum berangkat menuju ke kantor. Rieka  lekas mengangguki Sang Majikan Laki-laki. Masalah seolah terselesaikan.  Begitu Dhika keluar dari kamar dan kembali dengan bubur sum-sum yang diminta oleh Irene, Irene kembali menghalaunya. “Cepat! Kamu mau terlambat rapat-nya?” bentak Irene garang. Dhika mengeluh dalam hati. Pun begitu, sebelum berangkat dia mengecup dahi Sang Istri. “Aku berangkat. Aku usahakan untuk secepatnya pulang.” Irene tidak menyahut. Entah mengapa, hari ini dia merasa ingin marah-marah terus. Dan Orang yang ingin dia musuhi adalah Dhika. Karenanya begitu dia sudah memastikan bahwa Dhika berangkat bekerja, hatinya sedikit tenang. “Ibu mau saya suapi?” tanya Rieka sabar. “Nggak. Kenyang. Kamu telepon ke Mama saya saja, biar minta tolong Mbak di sana untuk buatin rujak dan dikirim kemari. Rujak buatannya enak,” kata Irene lalu memejamkan matanya. "Baik, Bu," sahut Rieka. * Semakin siang, Irene merasa mualnya semakin mereda. Perlahan, suasana hatinya juga sedikit membaik. Dia sudah mau memakan makanan yang dipesankan oleh Sang Suami walaupun hanya dihabiskan setengah porsi. “Mbak, tolong ambil tas saya. Tuh, di sofa,” suruh Irene. Baru saja Rieka hendak mengambil tas kerja yang dia maksud, perintahnya sudah berubah. “Nggak usah deh. Ambil telepon genggam saya saja di dalamnya. Dari tadi bunyi terus soalnya. Saya nggak tahu itu panggilan telepon dari mana. Takutnya dari kantor. Kasihan Papa saya.” Rieka tampak ragu dan tetap mengangkat tasnya. “Mbak! Ambil telepon genggam saya saja. Tasnya nggak usah!” teriak Irene. “Duh, nggak berani, Bu. Ini, nanti saya buka di depan Ibu saja,” sahut Rieka. “Hhhh! Disuruh begitu saja susah! Bandel kamu itu Mbak!” umpat Irene dan mendengkus kesal. Rieka tidak menghiraukan u*****n Irene. Sabar. Sabar. Namanya juga Orang hamil, harus disayang-sayang, batin Rieka. Irene menyambar telepon genggam yang disodorkan oleh Rieka dan segera melihat betapa banyak panggilan telepon tak terjawab serta sejumlah pesan masuk yang bertumpuk. Sebagian besar dari Sang Suami. Lalu terlihat pula nomor telepon genggam Sang Mama Mertua. Panggilan tak terjawab dari Mamanya. Lalu ada panggilan telepon tak terjawab dari nomor kantor pula. Sebagian besar dari itu dianggapnya sudah terjawab karena telepon seluler Rieka terus berbunyi dan didengarnya sendiri sudah berkomunikasi dengan mereka. Topiknya sama, menanyakan kondisinya, apakah dia sudah makan atau belum, dan seterusnya. Irene sengaja tak menghiraukan nomor-nomor tersebut. Dan entah mengapa, dia juga sedang tidak berminat untuk mengecek Siapa gerangan yang menghubungi dari nomor telepon kantor. Dia lebih tertarik untuk mengecek pesan masuk. Yang pertama dia klik adalah pesan masuk dari Sang Papa. From : Papa Alvin Ren, kata Dhika kamu lagi kurang sehat? Istirahat dulu di rumah beberapa hari ini ya. Jangan memikirkan pekerjaan kantor dulu. Abaikan dulu kalau ada yang tanya-tanya soal pekerjaan. Mereka bisa tanya ke yang lain atau bahkan ke Papa. Itu tadi pagi yang telepon dari nomor kantor Resepsionis atas permintaan Papa. Fokus sama kesehatanmu dan kesehatan Calon Bayimu dulu. Irene langsung mengetik jawabannya dan mengirimnya ke Sang Papa. To : Papa Sudah membaik, Pa. Tadi cuma nggak mood saja. Bawaannya kepengen marah terus. Semoga besok pagi Si Dedek Bayi nggak rewel begini. Pesannya tidak segera dijawab oleh Sang Papa. Irene berpikir mungkin saja Sang Papa sedang sibuk. Dan dia memakluminya. Jari Irene menggulir terus ke pesan yang lainnya. Dia tercengang ketika mendapati sebuah nomor yang mengirimkan pesan yang beruntun kepadanya. Bahkan ada beberapa foto yang mengiringinya. Nomor tersebut tidak ada dalam daftar kontaknya. Dia membaca dari pesan yang paling atas. From : 0812-XXX-XXXX Hai Ren, apa kabar? Masih ingat gue, nggak? Ini Heidy. Dan ini nomor baru gue. Gue baru dapat nomor telepon genggam elo hari ini dari Saskia. Padahal hampir dua minggu ini gue mau kontak elo tapi gue cek, nggak ada nomor telepon genggam elo di nomor gue yang ini. Tolong disimpan ya nomor gue. Irene mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Nama ‘Saskia’ yang adalah Teman semasa kuliahnya dulu, sepertinya cukup membantunya. “Oooh.... Si Heidy yang itu berarti. Tumben dia kirim pesan ke aku. Ada apa?” gumam Irene pelan. Dia tidak tahu saja, apa bila dia terus menggulir pesan-pesan selanjutnya dari nomor yang sama, akan membuatnya terkejut luar biasa. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD