Happy Time (2)

2255 Words
Untuk kedua kalinya Klara terjatuh di atas landasan ice skating dengan posisi p****t yang beradu dengan landasan. Namun, berbeda dengan ketika dirinya pertama kali jatuh dan breaksi kaget campur sedikit cemas, kali ini Klara sudah bisa tertawa. Tampaknya Gadis manis itu sudah mulai menikmati permainan ini. Vino yang justru menunjukkan reaksi yang berbeda. “Klara, Sayang, sakit nggak?” tanya Vino dengan wajah khawatirnya. Gelengan kepala dari Klara sedikit menetralkan rasa cemasnya. Dirinya agak menyesal karena sebetulnya tadi setengah memaksa Klara untuk bermain di sini, padahal Gadis itu sudah jelas-jelas menyatakan keraguannya dan beralasan dirinya tidak mungkin bisa meluncur di atas lapisan es tersebut. Dia yang tak kenal menyerah dalam membujuk Gadis itu. “Pasti bisa, Sayang. Nanti pelan-pelan saja dan jangan langsung ke tengah dulu. Di pinggiran saja, jadi bisa sambil berpegangan railing besi,” bujuk Vino tadi. "Aman, nggak?" taya Klara tadi. "Aman dong. lagi pula kan ada aku. Masa sih kamu nggak percaya bahwa aku pasti melindungi dan menjaga kamu," ujar Vino dengan nada persuasif. Bujukan yang segera disahuti Klara dengan ucapan, “Kamu sudah sering, ya, kemari?” Dan Vino agak lama menjawab. Seperti ragu harus mengatakan ‘ya’ ataukah ‘tidak’. Seolah-olah kalau dirinya salah dalam memilih satu di antara dua jawaban itu, akibatnya bisa fatal untuk kelangsungan hubungan mereka berdua, Namun di sisi Kalara, keterdiaman yang diperlihatkan Vino malahan membuat Klara mengambil kesimpulan bahwa Vino sudah sangat piawai bermain ice skating. "Hm. Kamu pasti sudah jago banget main ice skating," gumam Klara. Vino menggenggam erat tangan Klara. “Enggak juga kok, Sayang. Dulu sewaktu masih kuliah memang sering kemari. Sama Teman-teman kuliah. Tapi setelah bekerja, jadi jarang. Kan di sini waktu yang agak sepi pengunjung itu justru sekitar jam tiga sore begitu. Nggak mungkin dong, minta ijin pulang cepat dari kantor buat main ice skating. Minta dipecat lebih cepat, memangnya?” “Tapi aku nggak bisa mainnya. Aku dulu pernah bermain sepatu roda. Tapi itu sudah lumayan lama. Lagi pula, kan beda sepatu roda sama ice skating, Vin,” ucap Klara yang masih tampak meragukan kemampuannya. Bagi Vino, jawaban Klara itu justru membuatnya bersemangat. “Kamu bisa main sepatu roda? Itu modal yang bagus. Jadinya kamu akan bisa menyeimbangan badan kamu. Dulu, saat aku mencoba pertama kali, aku bahkan nggak pernah bisa bermain sepatu roda,” bujuk Vino tak kenal lelah. Dia berusaha embuat Klara lebih percaya diri. Bisa dipastikan, Klara terbujuk dan menjawab tantangan dari Vino tersebut. Vino bahkan sengaja membelikan kaus kaki serta sarung tangan yang nyaman untuk Klara tadi, karena sewaktu menjemput Gadis itu dari apartemen, dia memang tidak menyebutkan mereka akan kemana. Kini setelah Klara kembali jatuh untuk ketiga kalinya, dia bahkan sudah dapat mempraktekkan dengan benar cara bangkit dari posisi duduknya itu dengan baik dan benar, sesuai dengan arahan dari Vino yang bertindak bak Petugas ulung saja. Klara membiarkan Vino membimbingnya agak ke tengah arena permainan. “Ih, aku takut,” kata Klara lirih. “Tenang, kan ada aku. Pelan-pelan saja. Yang penting kamu yakin. Dan percaya sama aku, ya.” Klara menurut. Dia melangkah super pelan. “Vin, ke pinggir lagi yuk. Sudah terlalu ramai di tengah. Aku takut nabrak-nabrak orang lain, nanti. Bisa gawat,” kata Klara setelah beberapa lama. Kali ini ganti Vino yang menuruti permintaan Klara. Dibimbingnya Gadis itu melipir ke pinggir lagi. Sesampainya di area pinggir, Vino menatap mesra pada Klara. Dia senang melihat seri di wajah Gadis itu. Pertanda bahwa Klara mulai dapat menikmati permainan ini. Dan sejatinya, dirinya sendiri juga cukup terhibur dengan kebersamaan mereka menjelang sore hari ini. Sungguh sebuah selingan yang indah setelah seminggu penuh berkutat dengan segala pekerjaan rutinnya di stasiun televisi serta ‘pekerjaan’ tambahan yang munculnya karena permintaan Sang Mama dan Sang Kakak, yang mau tak mau harus dilakoninya. Di kepala Vino sudah dipenuhi dengan berbagai rencana untuk lebih sering bertemu dengan Klara setelah pertemuan yang sekarang. Agak aneh memang. Keinginan itu muncul begitu saja, tanpa dikehendakinya, meski tak dicegahnya pula. Dan dia berpikir, toh tidak ada ruginya buat dirinya. Mungkin Klara memang bukan Gadis sembarangan. Hal itu sempat terbersit di pikiran Vino sepulang dari dia mengantar Gadis itu pulang menjelang dini hari tadi pagi, setelah mereka menikmati bubur Ayam khas Cirebon serta martabak telur kegemarannya, yang akhirnya juga menjadi kegemaran Klara. Vino ingat, dia kembali ke tempat kost dengan wajah berseri dan bersenandung kecil pula. ... “Nah, begitu dong kalau pulang ke kost itu. Jangan muka dibikin kayak kain kusut yang nggak pernah diseterika,” komentar Tomo yang berpapasan dengannya di koridor dekat kamarnya dini hari tadi. Entah mengapa Tomo masih berada di luar kamarnya pada jam tersebut.  Vino tidak menyahut, dan Tomo juga tidak mengejar tanggapan Vino. Keduanya sama-sama sedang tidak tertarik untuk memperpanjang bahasan tampaknya. Siapa nyana, Vino jadi kesulitan tidur karena terus terbayang wajah Klara, setibanya di kamarnya? Vino masih ingat benar alangkah Gadis itu tersipu malu setelah dia mencium bibir Gadis itu. Dia juga menangkap kesan grogi yang nyata dan menurutnya tidaklah merupakan tindakan pura-pura. Dia itu, benar-benar Gadis baik-baik kelihatannya. Wah, artinya aku memang banyak nih, kalau sama dia, pikir Vino dengan hati yang tergelitik. Vino tak tahu pasti apakah Klara memimpikan dirinya malam itu sebagaimana pesan bernada rayuannya. Tetapi yang jelas, Klara malahan datang dalam mimpinya. Tentu saja bukan mimpi biasa, melainkan mimpi dewasa. Mimpi yang menyebabkan dirinya terbangun di pagi hari dengan harus melepas sprei yang basah, dan masih harus berpikir bagaimana caranya memberikan sprei tersebut kepada Sang Asisten Rumah Tangga tanpa harus dipergoki oleh Teman-teman yang satu kost dengannya. Pasalnya, itu hari Minggu, di mana rata-rata Penghuni tempat kost ada di tempat. Jadilah dirinya terpaksa mengendap-endap dan berharap Sang Asisten Rumah tangga sudah datang dari rumah Si Pemilik Kost yang berada di seberang jalan, sekaligus berharap agar Teman-temannya masih asyik bergelung dengan selimut, bermalasan di dalam kamar karena hari libur. Dia sedang malas untuk membela diri jika diolok oleh mereka. Harapan Vino memang terjawab dengan amat sempurna. Hanya Sang Asisten rumah Tangga saja yang menggodanya tadi pagi. “Mimpiin Siapa sih Mas Vino? Jangan-jangan aku, ya?” goda Si Asisten Rumah Tangga itu dengan kenes. Vino buru-buru meninggalkan Sang Asisten Rumah Tangga setelah memberi kode agar tutup mulut dan menyelipkan sejumlah uang. Dia masih mendengar suara tawa Sang Asisten Rumah Tangga di belakangnya. ... “Vin, aku capek. Dan lumayan lapar,” ucap Klara tiba-tiba. Vino yang sedang asyik menatapi paras Klara sambil mengenang isi mimpinya menjelang tadi pagi, tersentak. Vino langsung melirik arlojinya. “Yuk. Kita udahan saja. Sudah hampir dua jam memang.” “Hah? Dua jam?” Klara membelalakkan matanya. Dan itu tampak indah di mata Vino. Betapa dia sulit menyangkal, dia menyukai apa yang ditampilkan Klara barusan. “Iya. Nggak terasa, kan? Itu tandanya kamu mulai suka.” “He eh. Seru juga sih.” “Yuk.” Vino mengulurkan tangan. Pelan-pelan mereka meninggalkan landasan ice skating. Setelah Klara dan Vino mengembalikan sepatu yang mereka sewa, mereka langsung menuju ke eskalator. “Kamu mau makan apa Klara Sayang?” tanya Vino. Ia masih sempat menyelipkan anak rambut Klara ke belakang daun telinga Gadis itu. Klara tersenyum. “Apa saja.” “Kok apa saja?” Klara menghentikan langkahnya. “Eng..., kalau makan masakan cantonese yang di lantai 3, kamu bisa nggak?” tanya Klara. Vino diam sejenak. “Kamu kepengen banget, ya? Itu ya, salah satu restaurant kesukaanmu? Yang banyak dimsumnya itu?” “He eh.” “Ya sudah kita makan di situ. Itu kan Pemiliknya sama dengan masakan Vietnam yang ada di sebelahnya. Nanti sementara kamu pesan makanan cantonese, aku pesan Pho yang isi daging sapi di sebelahnya. Kan aman..” “Oh iya. Kan bisa diantar ya. Dan kita bisa pilih mau duduk di mana. Kok aku nggak kepikir sih,” sahut Klara dengan mimik muka lucu. Vino merengkuh bahu Klara dan tersenyum. “Kamu terlalu fokus mikirin aku sih. Sampai lupa yang lain-lainnya,” olok Vino. “Ya ampun, ge er sekali,” sahut Klara dengan mimik muka lucu, sembari menurunkan tangan Vino. “Kenapa?” tanya Vino heran. “Nggak enak. Ini kan di mall. Kelihatan berlebihan sekali. Takutnya nanti ada yang melihat lalu jadi ramai,” kata Klara lirih. Vino langsung merengut. “Ih, kamu kok merengut sih.” “Kamu malu ya kalau ada Keluargamu yang memergoki kita jalan berdua? Atau ada yang menyampaikan tentang kedekatan kita ke Keluargamu?” tanya Vino. Klara kesulitan untuk menjawab. Dia tak menemukan alasan yang dinilainya tepat. “Iya deh. Aku sadar kok aku ini nggak sepadan sama kamu. Aku kan hanya Pegawai rendahan yang penghasilannya tergantung sama gaji dari Pemberi kerja. Beda lah, sama kamu yang Pemilik Event Organizer,” kata Vino dengan nada rendah. Klara jadi tak enak hati. “Vin, jangan begitu dong. Ini nggak ada hubungannya dengan hal itu. Kamu ih, sudah brulang kali aku bilang nggak boleh ngomong begitu. baru berapa saat lalu juga, kan?” "Sorry, nggak ada maksud begitu," ucap Vino. Klara mengangguk singkat. Namun Vino sepertinya masih ingin menanyakan perihal alasan yang belum diungkapkan Klara tadi. “Ra, terus kenapa? Soal Kakakmu lagi?” Klara mengangguk dengan hati berat. “Aku minta pengertian kamu soal ini, boleh kan? Aku nggak mau dibikin pusing sama dia.” Wajah Klara tampak sedikit murung. Vino jadi tak sampai hati untuk memperpanjang masalah. “Ya sudah. Nggak apa. Aku akan jaga sikap kok.” “Terima kasih. Semoga ini hanya sementara sifatnya.” “Ya. Semoga. Tapi ngomong-ngomong, Para Kru kamu kan sudah beberapa kali melihat aku di tempat event yang kamu tangani. Apa kia-kira mereka nggak akan menyampaikannya ke Kakakmu?” “Semestinya enggak, ya. Aku selalu menekankan ke mereka untuk tidak mencampur adukkan antara urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Dan aku rasa mereka juga nggak se-nganggur itu untuk menggerecoki urusan pribadiku.” “Good.” Vino mengacungkan ibu jarinya. Mereka berjalan bersisian. Vino merasa agak kurang nyaman ketika beberapa kali dia mencoba menggandeng tangan Gadis itu, tetapi Gadis itu mengelak. Vino menekan rasa tersinggungnya. Dia tersenyum menggoda. “Ih, genit,” komentar Klara. Vino tak peduli. “Nggak apa, kan genitnya sama kamu doang. Kamu bikin gemes sih.” Klara meleletkan lidahnya. “Jadi kita mau duduk di sisi yang mana nih? Yang punyanya masakan Cantonese atau masakan Vietnam?” tanya Klara untuk mengalihkan perhatian Vino. “Terserah kamu. Senyamannya kamu.” “Kalau dari sofa dan interiornya kelihatan lebih nayaman yang restaurant Cantonese food. Menurut kamu bagaimana?” “Oke. Nggak masalah. Nanti duduknya yang di sisi luar saja.” Mereka tiba di depan restaurant yang dimaksud. Berbeda dengan Klara yang sengaja memilih menu ringan terlebih dahulu seperti goreng-gorengan dan es Shanghai, Vino langsung memesan menu utama melalui waitress. “Kelihatannya ada yang sudah lapar berat,” olok Klara sembari menunggu pesanan mereka tiba. Dia bahkan menawari Vino untuk memesan varian puding yang tersedia dan dipujinya dengan sebutan ‘rasa bintang lima’ serta ‘ada harga ada rupa’ tetapi ditolak oleh Vino. Vino terbahak. “Iya. Nggak terasa sudah keluar energi banyak di tempat ice skating tadi.” “Iya. Aku juga berasa capek sekali. Pasti nyenyak nih tidurnya nanti malam. Jangan-jangan malahan besok bangunnya bakal kesiangan karena badan sakit semua nih. Sudah jarang olah raga sih, belakangan ini.” Vino melihat celah untuk menggoda Klara. “Itu biasa. Tapi buat Pemula, kamu termasuk hebat, kok.” “Hebat apa? Jatuh-jatuh melulu juga.” “Ya wajar, namanya juga Pemula. Aku dulu lebih parah dan nggak secepat kamu bisa enjoy permaianannya.” “Masa sih?” “I swear.” Vino mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus, membentuk huruf V. “Lebay. Nggak usah sumpah segala.” Mendadak Vino menatap Klara dalam-dalam. “Ih. Ngapain sih!” tepis Klara enggan. “Kamu bilang tadi, nanti malam bakalan tidur nyenyak. Memangnya tadi malam nggak tidur nyenyak? Kenapa? Mikirin aku ya?” goda Vino. Klara tersenyum tipis. “Ya ampun, ge er,” ucap Klara kemudian. “Enggak ge er. Cuma tanya. Kamu mimpiin aku, nggak?” Klara langsung merasa salah tingkah ditanya demikian. Tiba-tiba saja dia terkenang ciuman pertama Vino tadi malam. Dan Vino sepertinya dapat membaca apa yang tengah di pikirkan oleh Gadis itu. “Kamu tahu kenapa aku tanya apakah akmu mimpiin aku atau nggak? Soalnya, aku mimpiin kamu.” Andai saja Klara sedang minum, tentu saja dia akan tersedak. Diam-diam dia merasa bersyukur karena semua pesanan mereka belum datang dan dirinya juga tentu belum minum. “Klara..., dalam mimpi aku, kamu...,” Vino memusatkan pandangan matanya ke satu titik, mata Klara. Gadis itu jelas merasa risau bukan kepalang. Sedangkan Vino langsung terkenang pada isi mimpinya dan tersenyum nakal. Mimpi yang bukan pertama kalinya buatnya. Yang membuatnya berbeda adalah, sepertinya dia dapat melihat dan merasakan semua detail gerakan yang mereka berdua lakukan. Demikian lembut, berbeda dengan mimpi-mimpinya sebelumnya. Seakan-akan bukan hanya nafsu belaka yang mewarnai aktivitas tersebut, melainkan ada perasaan yang dalam di antara keduanya. Lalu yang lebih mengherankan bagi Vino, karena di dalam mimpi itu, semuanya jelas, bahkan wajah Klara. Wajah Klara yang tampak demikian pasrah menyerahkan segenap raganya kepada dirinya. Biasanya wajah Ceweknya nggak pernah jelas Siapa. Nggak. Dari pertama kali aku mengalami mimpi macam itu. Dan biasanya, adegannya juga cepat. Pokoknya tahu-tahu besokannya celana dan sprei basah kuyup. Apa artinya ini? Apa aku sudah mulai jatuh hati sungguhan sama Klara? Atau jangan-jangan, dia adalah jodohku nantinya? Tanya Vino dalam diam. “Klara..., dalam mimpi aku, kita berdua sedang..,” Vino sengaja memutus ucapannya. Dia menanti reaksi dari Klara. Tetapi Gadis itu tampak membeku di tempatnya. *  $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD