“Ini buat kamu, Sayang.”
Vino menghampiri Klara sembari mengulurkan gelas berisi minuman segar kepada Gadis itu.
Klara meletakkan gulungan banner di tangannya dan menerima gelas yang diangsurkan oleh Vino.
“Thanks.”
“Acaranya tadi luar biasa. Betul-betul keren!” Puji Vino.
Ditatapnya beberapa kru Klara yang juga sedang membereskan perlengkapan acara setelah memastikan bahwa semua Tamu Undangan serta Sang Empunya Perhelatan meninggalkan tempat berlangsungnya event peluncuran produk tersebut.
Di beberapa meja yang semula sengaja disediakan oleh Pihak Klara sebagai sarana untuk meregistrasi Para Tamu Undangan yang begitu berminat untuk melakukan booking baik untuk kios maupun unit Apartemen Dua Tower yang diluncurkan oleh PT. Bangun Jaya Lestari, juga terlihat telah kosong sekarang. Padahal sekitar satu hingga dua jam sebelumnya, deretan meja yang ditempati oleh Para Bagian Marketing dari PT. Bangun Jaya Lestari itu bagaikan gula pasir yang dikerubungi oleh semut. Antusiasme mereka adalah pertanada bahwa acara yang berlangsung sangat mengesankan dan menuai sukses.
Vino melihat secara langsung antusiasme Para Tamu Undangan yang bukan hanya melakukan pemesanan atas satu atau dua unit. Ada yang memesan sampai belasan. Bisa jadi, niatnya ketika bangunan telah jadi kelak, adalah untuk dijual kembali atau disewakan. Mereka sudah dapat memperkirakan bahwa harga jual kembali akan meroket.
“Pengembang yang satu itu luar biasa total, ya. Baru acara peluncuran produk saja sudah mau menggelontorkan anggaran yang begitu banyak. Pos promosinya luar biasa. Nggak main-main. Nggak kebayang kalau nanti ada acara topping off juga. Pasti jauh lebih semarak dari yang tadi aku saksikan,” ucap Vino lagi.
Klara meletakkan gelas minuman yang telah tak bersisa lagi isinya. Dia mengangguki pernyataan Vino dan berniat untuk kembali membantu segenap Kru-nya yang tengah bekerja.
“Iya. Tapi setimpal dengan antusias Para Undangan yang datang, kan?”
“Betul itu. Mereka booking kios dan unit seperti beli kacang goreng. Kalap.”
Klara tertawa kecil menanggapinya.
“Selain lokasinya oke, fasilitas yang ditawarkan juga menunjang, sih. Wajar, lah.”
“Nilai jual kembalinya bakalan gila-gilaan, ya. Prospeknya juga cerah. Enak itu jadi Tenant di sana.”
Klara manggut-manggut dan memberi isyarat untuk menyudahi obrolan. Dia hendak melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena minum barusan.
Vino melihat bintik-bintik keringat di dahi Klara.
“Sebentar,” kata Vino.
“Apa?”
Vino merogoh saku celananya dan mengambil sapu tangannya. Diusapkannya ke dahi Klara dengan amat lembut.
Klara tersenyum dan mengucapkan, “Terima kasih.”
“Kembali kasih,” ucap Vino dengan mimik lucu, lalu menunjuk ke arah panggung. Dia tak mengatakan apa-apa lagi, melainkan menuju ke sana.
“Panggungnya juga mau dibongkar malam ini juga, Mas?” tanya Vino pada Salah Satu Kru Klara.
“Iya, Mas.”
“Kalau begitu, biar saya bantu.”
Tanpa ragu, Vino menyingsingkan lengan bajunya.
Dia yang semenjak tadi juga sudah banyak membantu membereskan meja, kursi dan sebagainya, kini bersiap mengeluarkan keringat yang lebih deras lagi.
Demi Klara. Demi memenangkan seutuhnya hati dia, batin Vino mantap.
“Vin, nggak usah. Kamu bantu-bantu yang lain saja. Aduh aku nggak enak nih kamu sudah bantu banyak dari tadi,” cegah Klara yang kembali membereskan banner serta perlengkapan lainnya. Dia setengah berteriak lantaran jaraknya dengan Vino yang agak jauh.
Vino mengacungkan jempolnya.
“Nggak apa. Biar cepat selesai dan kamu juga bisa cepat pulang untuk istirahat.”
“Lho, aku nggak menunggu sampai semua beres, kok. Ini, setelah aku bereskan sejumlah perlengkapan yang kecil ini rencananya sudah mau pulang sama Para Kru yang Cewek. Kalau peralatan yang berat-berat biar Yang Cowok saja yang bereskan.”
“Kalau begitu tunggu sebentar. Biar aku tetap bantu supaya pekerjaan yang tertinggal nggak terlalu banyak.”
Klara tertegun sesaat.
Lantas dia segera kembali dengan pekerjaannya yang tertunda.
Sejak menjelang sore hingga malam hari ini, dia merasa sangat terhibur dengan kehadiran Vino.
Vino yang begitu ringan tangan, walau tanpa diminta turut mengecek persiapan akhir. Sungguh memudahkan pekerjaannya.
Klara masih ingat apa yang ducapkan oleh Vino ketika mendapati sekian nama dari Pengisi Acara yang cukup terkenal.
“Hebat juga kamu bisa mendapatkan jadwal mereka. Padahal setahuku jadwal mereka cukup ketat. Waktu itu ada yang diminta jadi Bintang Tamu dalam salah satu Acara Bincang-bincang di tempatku saja, langsung menolak keras.”
Itu komentar yang dilontarkan Vino tadi. Yang diiringi dengan ‘kecurigaan’nya bahwa masalahnya melulu ke nominal yang ditawarkan kepada Para Pengisi Acara.
Klara mengelengkan kepalanya. Tak setuju dengan anggapan Vino.
“Nggak selalu seperti itu dong Vin. Ada banyak faktor. Kita nggak bisa membandingkan nominal yang diterima dari sekadar menjadi Nara Sumber dengan mengisi acara begini. Selain...,” Klara sempat menggantung ucapannya dalam menjawab Vino lantaran takut menyinggung perasaan Vino.
Namun ketika Vino mengejar, toh Klara terpaksa sedikit membocorkan ‘rahasia’nya bahwa dia beserta tim-nya memiliki akses yang lumayan ke Para pengisi Acara. Rata-rata Kru-nya ternyata mempunyai hubungan yang baik dengan Para Manager mereka. Ya apalagi dirinya sendiri.
Di situlah Vino seperti merenung.
“Rasanya malu aku mendengarnya. Mungkin karena aku baru ya, di dunia pertelevision. Jadi lingkup pergaualannya belum seluas itu. Lagi pula, terus terang memang semenjak Istri Si Bos besar ikut campur masalah keuangan, agak susah geraknya. Terlalu pelit dia itu,” ungkap Vino tadi, yang membuat Klara langsung terpikir, bisa jadi yang menyebabkan rencana kerja samanya dengan Channel 789 dulu batal adalah masalah harga kontrak yang ditawarkan kepada mereka.
“Mbak Klara, sudah Mbak. Tinggal saja. Sisanya biar kami saja yang selesaikan. Ini sudah sangat malam, lho Mbak,” kata Fandi.
“Iya ini aku mau siap-siap pulang. Kru yang Cewek juga suruh pulang saja, Fandi,” kata Klara.
“Tinggal Susan saja. Nanti saya yang antar dia pulang.”
Klara menatap ke sekelilingnya.
Saat itu pula Vino tengah menatap ke arahnya.
Klara menunjuk arlojinya, memberikan kode bahwa dia mengajak Vino pulang.
“Sebentar lagi. Tanggung,” seru Vino lalu mempercepat gerakannya.
“Sudah Mas, tinggal saja. Kasihan itu Mbak Klara. Takutnya dia kecapean,” kata Salah Satu Kru Klara.
Vino ingin bersorak rasanya.
Lumayan. Pencitraan berhasil dengan mulus, pikir Vino.
“Nggak apa, Mas?” tanya Vino, berlagak berat hati.
Kru tersebut membentuk bulatan dengan cara menautkan jari telunjuk dengan ibu jarinya. Pertanda oke.
Vino menepuk pundak Kru tersebut dan berpamitan.
Dia menghampiri Klara.
“Tuh, Mbak. Mas Vino juga sudah selesai. Mbak Klara tinggal saja,” kata Fandi.
“Oke. Aku tinggal. Kalau ada apa-apa kabari aku, ya,” sahut Klara.
“Siap, Mbak Klara.”
*
“Eh, ini kenapa lewat sini?” tanya Klara bernada protes.
“Sebentar.”
Vino mempercepat laju kendaraannya. Situasi jalanan yang mulai sepi sangat memungkinkan hal itu.
Klara tidak bertanya lagi ketika merasa tujuan mereka semakin melenceng. Dia sudah tahu apa yang diinginkan Vino. Apalagi kalau bukan menikmati martabak telur dengan bubur Cirebon ‘245’ yang jam operasionalnya sepertinya 24 jam non-stop itu?
“Karena sekarang pakai mobil, kita makan di mobil saja, ya,” kata Vino setelah dia memarkirkan kendaraannya.
“Kamu lapar ya?” tanya Klara, penting tak penting.
Vino menekan tombol safety belt- nya.
“Lapar lagi, tepatnya. Tapi terutama, karena nggak mau melewatkan makan bubur di tengah malam sama kamu. Kangen banget, tahu nggak?” ucap Vino sambil melabuhkan pandangannya ke sepasang bola mata Klara.
Hati Klara seketika berdebar.
Dia tak mungkin menyangkal betapa dia merindukan Vino juga.
Hanya saja, sejak tadi bertemu, pikirannya melulu tertuju kepada persiapan acara. Vino juga sepertinya tahu diri. Hal yang tentu saja menghalangi mereka berdua untuk membayar lunas kerinduan mereka.
Lalu mendadak saja, Vino mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya kepada Klara.
Jantung Klara berdegup kencang.
Dia sudah tak mungkin menghindar lagi, karena jarak Vino dengannya hanya terpaut hitungan sekian centimeter saja. Dia bahkan dapat merasakan napas Vino. Dan sialnya lagi, dia belum sempat membebaskan dirinya dari safety belt yang terasa lebih menyesakkan di saat begini.
Entahkah Vino memang sudah diterpa gairah atau memang dia tak peduli, tampaknya dia justru memanfaatkan hal itu.
Vino mendekatkan bibirnya ke bibir Klara, yang otomatis memejamkan mata.
Di detik pertama bibir mereka bertemu, Vino mencium dengan sangat lembut, sepenuh perasaan, membuat Klara terlena. Namun beberapa detik kemudian, seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan merasakan bibir Klara yang begitu ranum dan terasa manis itu, Vino mulai melumatnya sepelan mungkin.
Klara merasakan detak jantungnya semakin tak menentu. Dan entah bagaimana, dia justru tergerak untuk membalas ciuman Vino di bibirnya.
Di momen itu segalanya tak terpikirkan lagi. Klara hanya merasakan jantung yang memompa darah lebih keras dari biasanya, aliran darah yang serasa demikian cepat. Klara merasakan suatu keindahan yang bak fatamorgana. Seakan dia tak mempunyai kuasa atas dirinya. Segalanya bak melayang, di luar kendalinya..
Ketika ciuman itu berakhir, barulah Klara tersadar sepenuhnya.
Dia merasa demikian malu. Wajahnya terasa panas, seolah seluruh darah bersepakat untuk berkumpul di sana. Dia dapat memastikan, tentu parasnya sudah memerah bak kepiting rebus. Diam-diam Klara bersyukur karena keadaan di dalam mobil yang cukup temaram sehingga Vino tak mungkin memergoki betapa merah wajahnya.
Vino tersenyum dan membelai wajah Klara, membuat hati Gadis itu kembali bergetar dengan hebat.
“I Love you, Klara. Always. Have I told you this?” bisik Vino dengan suara mendayu-dayu sebagaimana biasanya.
Klara tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Aku minta maaf, kalau beberapa hari kemarin sempat mengabaikan kamu. Ada sedikit masalah di keluarga Kakakku. Ya, itu juga yang menyebabkan aku harus membantu mereka sekarang. Kamu jangan marah, y ke aku,,” kata Vino lalu mengecup lembut kening Klara.
“Aku... nggak.. marah, kok,” kata Klara tersendat.
“Kamu tuh Sayang, pengertian banget sih. Kalau dipikir-pikir, aku tuh beruntung banget mengenal kamu. Kamu nggak memandang aku yang cuma Pegawai kecil, aku yang...”
Klara buru-buru meletakkan jarinya di bibir Vino untuk menegah Vino mengucapkan hal-hal yang tak ingin didengarnya lagi.
“Sssst. Jangan ngomong itu terus. Kamu bukannya sudah janji, waktu itu? Mendingan sekarang kamu cepat turun dan pesan bubur sama martabaknya. Kalau lapar kamu jadi melantur kan ,ngomongnya,” tegur Klara yang bagai baru mendapatkan kembali penguasaaan serta kepercayaan dirinya dengan gerakan menempelkan jari telunjuknya di bibir Vino.
Vino meraih tangan Klara lalu mengecup punggung tangan Gadis itu.
Dia tertawa geli lalu berkata, “Kamu tunggu sebentar. Bubur kamu nggak pakai telur, kan, seperti biasa?”
Klara ikut tertawa lantas mengangguk.
“Tunggu, ya.”
"He eh."
Ketika Vino turun untuk memesan makanan mereka, Klara memejamkan matanya. Dia meraba bibirnya sendiri.
Dia menciumku. Dia menciumku tadi itu. Mengapa rasanya jadi tidak karuan begini? Apakah dia menyadari betapa groginya aku? Batin Klara.
Klara masih merasakan alangkah campur aduknya perasaannya dan sesekali salah tingkah, tatkala Vino sudah kembali ke mobil dan duduk di sebelahnya. Pun ketika Vino menyendokkan bubur ayamnya yang ada telurnya ke mulut Klara.
Mulanya Klara menolak dan menggelengkan kepalanya, tetapi Vino membujuk.
"Sedikit saja. Ayo, cobain," kata Vino.
Klara menurut.
Vino menatap puas.
“Enak kan? Lain kali coba diganti pesannya. Yang pakai telur seperti aku,” ucap Vino setelahnya.
Klara masih belum dapat berkomentar banyak. Pikiran dan perasaannya bak masih mengawang-awang akibat ciuman Vino barusan. Dia curiga, itu pula yang barusan membuat dirinya kurang konsentrasi dalam menimakmati suapan Vino barusan.
Dan Vino biasa saja. Seakan itu hal yang sangat biasa buatnya. Apakah semua Cowok memang seperti itu? Aku... mengapa rasanya aku mulai takut kalau-kalau Vino akan mempermainkan aku suatu saat? Bagaimana kalau ternyata perhatian dan rasa cinta dia ke aku nggak sebesar yang aku punya ke dia? Pikir Klara.
Sebelum mereka berpisah di lobby apartemen Klara, Vino kembali mengecup pipi dan kening Klara lantas membisikkan kata-kata mesra ke telinga Gadis itu.
“Langsung istirahat ya, Klara Sayang. Jangan lupa buat memimpikan aku,” ucap Vino seraya menatap dalam-dalam sepasang mata Klara, bak tengah menghipnotis Gadis itu supaya menuruti perkataannya.
Klara takluk. tak kuasa membalas tatapan Vino.
“Yuk aku antar kamu ke lobby,” sambungnya kemudian.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $