Randy mulai gerah karena Sang Pujaan hati tak sekadar ditolak mentah-mentah oleh Sang Papa akan tetapi 'dikuliti' pula poin minus-nya. Dia merasa perlu membela.
"Pa, ayolah. Jangan jadi melebar kemana-mana. Jangan dikaitkan sampai ke sana. Ini hanya tentang Papa nggak suka sama Ros, kan? Papa nggak suka dengan kedekatanku sama dia kan, Pa?” tanya Randy.
Ditekannya rasa kesalnya hingga ke dasar.
Randy sungguh berusaha agar perdebatan ini tidak kian meruncing.
“Jangan konyol kamu, Randy!” Sentakan Pak Suwandi membuat Randy terdiam seketika.
Sang Papa menatap ke arah jendela kaca.
“Randy, punya Teman wanita itu boleh-boleh saja. Sudah semestinya, malahan. Justru dulu yang menjadi keprihatian Mendiang Mamamu adalah karena kamu terlampau sibuk membantu Papa, jadinya mengabaikan kehidupan personalmu. Karena semenjak kamu lulus kuliah, menerjunkan diri dalam bidang kuliner sepenuhnya, Papa dan Mendiang Mamamu belum kunjung kamu perkenalkan dengan Seorang Wanita yang kamu akui sebagai Pacar, atau minimal Teman dekat.”
Suara Sang Papa terdengar begitu dalam.
Tak pelak, ada sebersit rasa sedih yang menyelinap di benak Randy.
Iya. Bisa jadi. Tapi toh nggak ada yang aneh dengan itu. Aku mau berhasil seperti Papa, bahkan kalau bisa melampaui Papa. Keinginan yang wajar, kan? Apa yang bisa kubuat kalau tidak dengan cara berfokus sepenuhnya dengan tujuanku? Kalau soal menjalin hubungan serius dengan Lawan jenis, kan tidak harus tergesa. Aku ini kan laki-laki dan setahuku masih banyak Teman-teman sebayaku yang juga belum menikah atau bahkan punya Gandengan. Dan aku toh sudah dapat melihat sedkit hasil atas penetapan fokusku itu. Banyak gagasanku yang ternyata sesuai untuk diterapkan di restaurant kan buktinya? Batin Randy.
Mau tak mau dia terkenang, dari sana pula asal mulanya mengapa Sang Mama jadi sibuk hendak memperkenalkan dirinya dengan Klara. Sang Mama begitu ngotot mengatakan bahwa Klara adalah Cewek yang sepadan dengan dirinya. Sama-sama pekerja kerjas, sama-sama cerdas, juga sama-sama ‘kurang beruntung’ dalam hal asmara, disebabkan kesibukan mereka yang menyebabkan mereka jadi kurang dapat menyeimbangkan dengan kehidupan pribadinya. Minimal, itu yang diketahui oleh Randy.
Dan demi menyenangkan hati Sang Mama kala itu, dia yang sudah bosan menghindar toh akhirnya mau juga ‘dipaksa’ untuk mengantarkan Sang Mama ke rumah Bu Ellen.
Tapi apa boleh buat, kesan pertama yang didapatkannya dari Klara toh tidak membuat dirinya senang. Yang ada dia malah agak menyesali keputusannya untuk mengobrol dengan Gadis yang dinilainya irit bicara itu.
Beda jauh bila dibandingkan dengan kesan pertamaku dengan Ros. Ros yang dengan sikapnya yang natural itu sanggup membuat aku betah bersamanya. Bagaimana aku nggak kecewa, sewaktu aku perkenalkan Ros ke Mama dan Papa, ternyata mereka kurang menyukai Ros dan itu berlanjut sampai sekarang? Jadi masalahnya apa sih? Bukan karena tak tega dan tak rela melihat aku masih melajang, melainkan karena sudah kesengsem berat dengan Klara dan ingin Cewek jutek itu masuk ke Keluarga ini? Huh! Diangkat anak saja kalau begitu. Barangkali kalau dia jadi Adik angkatku, bisa aku tegur sewaktu-waktu dan aku arahkan supaya lebih baik dalam bersikap padaku. Ya kan? Tanya Randy dalam hati.
Dia masih tidak rela jika lagi-lagi terkenang bahwa caranya memperkenalkan Rosalia itu tidak menyelesaikan ‘masalah’, yakni ‘didekatkan’ dengan Klara. Atau lebih tepatnya, dipaksa untuk mendekati Klara dan memenangkan hati Gadis itu.
Aku disuruh buat mengejar-ngejar dia? Huh! Ogah banget! Bisa tambah besar kepala Cewek satu itu? Lagi pula, Siapa juga yang mau berdekatan sama dia? Cewek sombong. Dan kelihatannya dia itu nggak butuh Cowok, kok, pikir Randy sebal.
Hampir dia tersenyum sinis kala terkenang akan Klara.
“Pa,” panggil Randy yang tak ingin terlarut terlalu dalam pada perbincangan yang kurang mengenakkan hatinya tersebut.
Dia masih ingin tahu apa alasan Sang Papa yang menghubungkan ‘urusan didikan dalam bidang kuliner’ dengan Rosalia.
“Maksud Papa tadi apa, kalau aku boleh tahu?” tanya Randy.
Sang Papa berpaling kepadanya.
“Kamu pikir sendiri saja Randy, kualitas Teman Wanita-mu yang itu. Dia bilang mau membantumu? Hhh.., mimpi!” Pak Suwandi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Randy mengernyitkan kening.
Kenapa masih balik-balik ke situ lagi sih? Keluh Randy dalam diam.
Pertanyaannya segera terjawab.
“Randy, dia membeli kue saja di tempat yang salah. Cukup sekilas Papa melihat logonya, Papa sudah bisa menilai.”
“Lho Pa, itu kan memang logo baru. Dia beli di toko yang asli. Tokonya Si Istri. Kabarnya memang sejak konflik internal antara Si Istri Pertama dengan Suaminya itu berujung kepada perceraian karena Si Suami lebih memilih Istri Keduanya, yang jelas-jelas memang tidak mempunyai latar belakang di bidang usaha mereka. Media menyebut, Istri Keduanya ini hanya menang lebih kaya dan muda saja.”
Sang Papa tertawa meremehkan.
“Lihat hasilnya! Itu karena kamu terlalu dekat sama dia. Bisa-bisanya kamu berpikir ngawur!”
“Maksud Papa apa?”
“Pertama, mengapa Sang Mantan Suami akhirnya memenangkan logo asal, itu karena memang dia Pencetus awal usaha tersebut dan dia yang lebih banyak berperan membesarkan nama Wilton. Dia juga yang lebih piawai di dapur. Jelas? Yang kedua, toko Si Mantan Istri itu sudah mulai mengalami penurunan nama. Pelanggan juga ada yang menyebut bahwa cita rasanya mulai bergeser meski mungkin saja memakai resep yang lama. Itu bisa terjadi, sebab quality control di sana juga mungkin tak seketat ketika ditangani oleh Sang Suami. Yang sesederhana itu saja luput dari kamu?”
Randy nyaris tertunduk malu. Dia merasa bagai ditampar dengan kata-kata Pak Suwandi. Dia sungguh tak menyangka bahwa Sang Papa ternyata mengikuti juga pemberitaan tentang toko kue Wilton. Walau tak harus 'menyentuh' urusan rumah tangga Si Pemilik.
“Papa kira sudah jelas, ya. Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Satu hal yang kamu perlu ingat, jangan sekali-kali memasukkan Temanmu itu ke dalam lingkaran usaha Mendiang Mama. Apalagi tanpa setahu Papa.” “
Tapi Pa...”
Sang Papa berlalu, meninggalkan Randy yang berdiri terpaku di tempatnya tanpa dapat berbuat apa-apa. Pak Suwandi terus melangkah menuju kamarnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar yang ditutup.
Randy mengembuskan napas panjang. Dia sedang bingung, bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan perihal ketidaksetujuan Sang Papa ini kepada Rosalia. Masih terbayang olehnya bagaimana pijar harapan yang tampak di mata Rosalia ketika mengemukakan opininya tadi
. ...
“Sayang, aku sudah terbayang deh, dengan terjun langsung ke dapur, aku lebih bisa berekspresi. Apalagi, ada dua kampus di dekat toko kue yang itu, kan? Nah, aku itu punya banyak ide di kepalaku, untuk membuat kue yang kekinian. Kantong Mahasiswa itu kan rata-rata terbatas, jadi rencananya aku akan menambahkan kreasi baru yang pasti menarik minat mereka. Sebagian jajanan pasar dengan tampilan yang dibuat super cantik. Nanti aku buat konsep jajanan murah, tapi nggak murahan. Sebagian lagi ya nanti dipikirkan, mungkin dengan cara memperkecil ukuran kue yang sekarang sudah ada, atau mengurangi bahan yang tidak terlalu diperlukan. Jadinya, untungnya kan bisa lebih banyak, Sayang,” rayu Rosalia ketika Randy belum juga berkata ‘oke’ atas usulannya untuk mengurus toko kue Mendiang Mamanya Randy. Randy diam dan mencerna kata-kata Rosalia yang dianggapnya masuk akal.
Dia tak menyangka saja, bahwa Rosalia yang sebenarnya bekerja sebagai Tenaga Resepsionis di kantornya itu, bisa juga memikirkan tentang usaha toko kue. Dia memuji dalam hati.
Tuh kan, Ros bisa dukung aku dengan pemikirannya yang lumayan, pikir Randy.
“Bagaimana, Sayang? Kan niat aku untuk membantu kamu. Biar kamu bisa fokus buat mengurusi restaurant. Soalnya kan aku nggak terlalu suka sama kegiatan memasak. Nah, aku kan sukanya eksperimen bikin kue ini itu. Boleh, ya? Nanti aku akan cari tahu di beberapa toko kue, produk andalan mereka itu seperti apa keunggulannya. Kalau bisa kita saingi atau lampaui, kan bagus, Sayang,” bujuk Rosalia lagi.
Randy tersenyum tipis.
“Nanti aku pikirkan, ya.” Rosalia mengangguk
“Jangan kelamaan mikirnya tapi ya....” pinra Rosalia yang kemudian mencium Randy dan mengalungkan tangannya di leher Cowok itu.
“Hei, sudah aku bilang jangan begini.” Rosalia terkekeh. Dia tampak tak peduli. “Jadi, kamu nggak suka aku sayang-sayang begini?” tanya Rosalia manja.
Tanpa ragu tangannya mengelus cambang dan dagu Randy.
“Ros...,” ucap Randy bernada keluh.
Dia merasa benar-benar tengah digoda oleh Rosalia.
“Sayang, jawab,” rajuk Rosalia.
Randy menangkap tangan Rosalia lalu berbisik, “Suka. Tapi sekarang aku lagi kerja, ya.” Rosalia merengut dan melepaskan kalungan tangannya dari leher Randy. Randy tertawa.
“Ngambeg?”
Rosalia mengedikkan bahu.
“Nggak.”
“Itu bibirnya maju sampai lima senti. Seperti mulut ikan di akuarium bawah.”
Rosalia mencubit lengan Randy dengan gemas.
“Ih! Jahat! Bisa-bisanya aku disamakan dengan ikan! Cantikan aku dong!” kata Rosalia.
“Oh jelas dong. Cantikan kamu kemana-mana,” sahut Randy cepat.
“Randy Sayang...,” ucap Rosalia kemudian.
“Hm?”
“Jadi kamu mau mikirnya berapa lama? Kamu nggak kasihan sama aku yang kursus membuat kue tapi jarang mendapat kesempatan buat praktek? Di tempat kost kan pakai dapurnya itu bergantian,” keluh Rosalia.
“Sabar, ya.”
Rosalia mengerucutkan bibirnya.
Randy yang merasa gemas menyentuh bibir itu. Di luar dugaan, Rosalia menjangkau lehernya lagi. Mereka berdua bertatapan. Jarak mereka semakin dekat. Lalu entah Siapa yang memulai, akhirnya mereka berdua berciuman. Ciuman yang begitu dinikmati oleh Keduanya, sampai membuat mereka tak ingin mengakhiri ciuman panjang itu andai saja tidak ada gangguan berupa ketukan di pintu. Randy yang lebih dulu mengakhiri ciuman tersebut.
Rosalia mendengkus kesal dan menatap ke arah pintu.
“Masuk,” suruh Randy setelah mengambil jeda beberapa detik untuk menetralkan suasana
. Dia baru tersadar, Sang Pengetuk pintu bisa saja sudah memergoki dirinya dan Rosalia berciuman di ruangan kerja dari luar sana. Kaca pintu tidaklah terlampau gelap, jadi masih memungkinan Orang yang dari dalam ruangan melihat Siapa yang ada di luar, begitu pula sebaliknya. Yang membuat Randy kesal adalah, kenapa tetap mengetuk juga bukannya menunggu sampai gairah dirinya dan Rosalia mereda.
Rosalia lebih kesal lagi. Gadis itu mengempaskan pantatanya ke atas kursi. Dia tampak cemberut dan terganggu ketika melihat Siapa yang masuk.
Annete, Sang Asisten Pribadi Randy.
Gadis itu mengangguk sopan.
“Maaf Pak Randy. Maaf kalau mengganggu. Ini tadi ada titipan dari Pak Suwandi. Mbak Helena baru saja menyampaikan ke saya.”
Rosalia melirik pada map amplop coklat bersegel yang diserahkan oleh Annete. Sepertinya berisi dokumen penting.
Ganggu banget! Nggak bisa nanti-nanti saja, apa? Keluh Rosalia sebal, dalam hati.
“Pak Suwandi meminta Bapak untuk mempelajari.”
“Oh, oke. Ada lagi?”
“Tidak, iuntuk sementara tu saja, Pak.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama Pak. Mari.” Annete keluar dari ruangan kerja Randy.
“Dokumen apa sih Sayang?” tanya Rosalia penasaran.
Randy tak menjawab.
“Oooh..., private and confidential, ya? Iya deh. Bukanya nanti saja kalau aku sudah pergi. Lagi pula aku nggak lama-lama di sini, kok. Aku kan ijin cuma sebentar,” kata Rosalia ketika melirik tulisan tersebut pada bagian luar amplop cokat yang diserahkan oleh Annette.
Randy menatapnya.
“Kamu tuh. Ngambeg lagi?”
Rosalia menggeleng untuk meyakinkan Randy.
“Enggak lah. Sayang, aku tunggu lho, soal keputusan kamu.”
“Iya nanti aku tanya pendapat Papa juga, ya.”
Mendadak Rosalia terbatuk-batuk. Randy menatapnya dengan khawatir. “Hei..., Sayang, kamu nggak kenapa-napa?” tanya Randy. Rosalia berusaha meredakan batuknya. “Sudah deh Sayang, lupakan saja. Papamu nggak mungkin akan setuju,” kata Rosalia setelah batuknya sepenuhnya mereda dan ia menerima gelas minuman yang diulurkan oleh Randy. Nada putus asa mencuat dari kalimat Rosalia. Seakan-akan ada Orang yang baru saja menghancurkan impiannya. Randy jadi merasa bersalah. “Belum tentu dong. Jangan langsung pesimis begitu. Nanti aku coba bicarakan. Kamu tenang saja,” kata Randy sambil memegang pundak Rosalia. Rosalia memegang tangan Randy yang ada di pundaknya, lalu mengecupnya.
“Aku percaya sama kamu. Semoga ada kabar baik.”
Ada penekanan yang kentara dalam kata ‘kabar baik’ yang dia ucapkan. Tak bedanya dengan Seorang Nasabah yang meminta jaminan kepada Agen Asuransi yang dia percayai supaya dipermudah mendapatkan klaim yang dia ajukan.
Randy mengangguk dan mengelus rambut Rosalia.
“Aku pasti bisa jelaskan ke Papa. Kamu tenang saja.”
“Semoga ya. Kamu tahu betapa besar artinya ini buat aku.”
“Iya, Sayang, kamu tenang saja.”
Dan mata Rosalia bak bintang kejora, berpijar demi mendengar ucapan Randy. Seolah itu adalah janji yang pasti ditepati.
. ...
Kini sambil menatap daun pintu kamar Sang Papa yang tertutup, Randy menggelengkan kepala.
Pintu yang tertutup itu seperti menggambarkan jalan buntu bagi usahanya untuk memberi kabar baik kepada Rosalia
“Maafkan aku, Ros,” gumam Randy lirih, kepada dirinya sendiri.
Dia merasa telah mengecewakan Gadis itu.
Sementara di dalam kamarnya, Pak Suwandi menatap foto keluarga yang ada di salah satu dinding kamar. Tangan Pak Suwandi bergerak, mengusap gambar wajah Bu Virny.
“Ma, Si Cewek yang dekat dengan Randy itu mau mencoba menghancurkan bisnis toko kue milikmu, Ma. Atau bahkan dia berusaha untuk menguasainya. Papa nggak akan membiarkan hal itu terjadi,” kata Pak Suwandi.
Tangan pak Suwandi terus bergerak, seolah dia benar-benar tengah mengelus wajah Seseorang yang telah menjadi Separuh Nyawanya.
“Ma, tolong maafkan Papa. Papa belum menyampaikan pesan Mama. Pesan terakhir dari Mama. Waktunya masih belum tepat, Ma. Tapi Papa berjanji akan menyampaikannya sesegera mungkin, dan tidak sampai melewati masa 100 hari kepergian Mama,” ucap Pak Suwandi kemudian.
. *
$ $ Lucy Liestiyo $ $