Perselisihan Yang Tak Penting

1558 Words
Maksud hati hendak memanas-manasi Randy agar Cowok yang dianggapnya ‘Cupu’ itu segera mundur dan bahkan secepatnya menjauh dari kehidupannya dan jika perlu dari hubungan baik dengan keluarganya, nemun yang selanjutnya keluar dari mulut Klara adalah perkataan berikut ini... “Ya Vin, aku sudah di jalan sekarang. Apakah terjadi masalah di venue?” tanya Klara. Nada suara Klara mendadak terdengar formal. Dan kesan itu bukan hanya tertangkap oleh telinga Randy semata, melainkan sungguh terkirim sempurna kepada Vino yang berpikir bahwa Klara tidak nyaman menerima telepon darinya lantaran ada banyak telinga yang mencuri dengar isi pembicaraan mereka. Dia dapat membayangkan bahwa saat ini mungkin posisi Klara terhimpit di antara Mama serta Tantenya. Begini nih nasib pacaran back street. Huh! Lagian ngapain harus back street sih! Eh! Pacaran? Memangnya kami berdua pacaran? Jadi sudah resmi nih, aku jatuh hati sungguhan sama dia? Sial! Enggak begini rencanaku! Batin Vino sebal. “Hallo? Vin, apa ada masalah? Tadi aku sudah pesan ke Ferry untuk...” Vino menghela napas mendengarnya. “Enggak ada masalah kok, Semua baik-baik saja. Kamu nggak enak ya, ngobrol sama aku di telepon begini selagi dekat sama Keluargamu? Ya sudah, nanti kalau kamu sudah sampai di apartemenmu saja kita ngobrol. Jadi sedih, Sayang. Padahal aku sudah membayangkan kita bakalan pulang sama-sama dari sini,” kata Vino dengan lesu. Klara terdiam. Dia mengerling kesal ke samping sesaat. Pikirnya, Randy adalah Si Biang Masalah. Sialnya, pada saat itu Randy tengah mengerling juga ke arahnya. Klara buru-buru membuang pandangannya ke arah depan kembali. Cukup ekspresif dan sengaja memberikan efek dramatis agar Randy menyadari hal itu. “Oke kalau begitu. Sampai nanti, ya.” “Daagh. I love you, Ra.” Walau maksud hati ingin menyahut, “Me too,” namun suara Klara bagai tersekat di tenggorokan. Lebih parah dari itu, mulutnya juga tak mampu mengeluarkan kata, “Daagh...” Klara hanya mengakhiri panggilan telepon dari Vino tanpa mengucapkan kaliamt perpisahan lagi. Segenap perbendaharaan kata yang dia miliki seolah lenyap. Dan dia yakin, itu gara-gara ada Randy yang tengah bersamanya. Randy yang menghalangi dirinya untuk mengeluarkan ekspresinya. Rasanya sekarang kekesalan Klara sudah sampai ke puncaknya, siap untuk diledakkan. Tidak pernah dirinya membayangkan akan berada berduaan saja dengan Cowok yang menyebalkan ini di dalam satu kendaraan. Dan lantaran posisinya sebagai ‘Yang Menumpang’, perasaannya jadi sensitif. Klara berdeham kecil sebelum bertanya, “Kamu itu sebenarnya nggak rela ditumpangi sama aku?” Randy mengernyitkan dahinya dan menoleh kepada Gadis itu. “Heh? Kenapa seperti itu pertanyaannya?” Klara menatap kesal. “Itu. Dari tadi kamu diam saja.” Perkataan Klar membuat Randy tersenyum. Dan di mata Klara, senyum geli itu bagai sebuah ejekan kepadanya. Rasanya ingin dia menampar bibir itu sekeras mungkin. “Ngapain pakai senyum-senyum segala? Dipikirnya ada yang lucu?” Randy menghela napas panjang lantas berkata dengan ringan, “Kamu itu sebetulnya lucu ya.” “Nggak lucu!” Ucapan Klara terdengar sangat ketus. Namun Siapa nyana, Randy justru tersenyum geli lagi mendengarnya. Dia bagai tengah disuguhi sikap manja Rosalia. Dan dia tak hendak membantah, ada seberkas rasa rindu yang mengusiknya tanpa diundang. Ros ngambeknya belum beres juga biarpun kali ini terbilang lumayan lama. Dan kenapa ya, menghadapi Cewek ngambek itu seringnya malah bikin aku kepengen ketawa ngakak? Mereka pernah nggak sih, mencoba bercermin saat mereka ngambek lalu menyadari alangkah lucunya mereka? Tanya Randy dalam diam. Nait isengnya timbul begitu saja. “Ooooh..., kamu nggak lucu. Ya sudah! Nggak apa-apa. Nggak harus juga. Kan kamu juga bukan Komedian.” Klara semakin merasa dirinya diejek oleh pernyataan Randy. Hatinya terasa panas. “Kamu ini aneh, ya?” “Hah?” “Iya, kamu aneh.” “Kamu yang aneh.” “Kamu.” “Kamu ini kenapa sih?” “Kamu yang kenapa!” Randy menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya. “Dengar ya, Klara, kamu itu kan baru saja sukses menyelenggarakan sebuah perhelatan. Semestinya suasana hati kamu baik. Anehnya, kamu malah ketus begitu.” “Tadi memang suara hatiku baik. Tapi gara-gara kamu, mendadak memburuk, dan semakin parah saja.” Alis Randy terangkat. Hampir saja matanya mendelik lantaran sebal. “Kenapa jadi aku yang disalahkan?” tanya Randy tanpa mengalihkan pandangan ke jalan raya di depannya. “Ya gara-gara kamu. Mau-maunya disuruh sama Kak Iren jemput aku. Semestinya kamu tolak mentah-mentah dong.” “Oh, jadi itu masalahnya. Kamu nggak suka hati dijemput sama aku?” Randy berusaha untuk menekan rasa sebalnya agar tidak menguap. Diam-diam dia menyabarkan hatinya sendiri. “Iya. Dan sudah begitu, sudah kasih tumpangan, terus kamu asyik menyetir. Aku dicuekin. Itu membuktikan sebenarnya kamu itu nggak suka memberikan tumpangan ke aku.” Mendadak Randy tertawa kecil. “Apanya yang lucu? Pakai ketawa mengejek begitu?” “Ya kamu lucu. Ini sebenarnya kamu itu marahnya kenapa? Karena aku ada di tempat event, atau karena kepengen ngobrol sama aku di perjalanan?” “Dua-duanya.” Ucapan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Klara dalam keadaan emosi itu kembali menyulut tawa Randy. Ya ampun, Cewek satu ini ternyata ada sisi menggemaskannya juga, ya. Sebenarnya dia lucu. Jadi, dia kepengen banget aku ajakin ngobrol? batin Randy geli. Klara tersadar akan salah ucapnya. Dia segera meralat dengan mengatakan, “Maksudku, bukan dua-duanya.” “Labil sekali,” potong Randy dengan nada meremehkan. “Aku nggak labil. Sembarangan!” “Hm. Dinilai saja sendiri. Sebentar ngomong A, sebentar B.” “Jangan keterlaluan dan merasa menang Ran, hanya karena kebetulan aku terpaksa menumpang. Ini bukan mauku. Sudah, turunkan saja aku di depan sana.” Randy terkejut. Suara Klara terdengar sangat serius. Tak pelak, Randy tak enak hati juga. Terbayang olehnya wajah Bu Ellen tadi kala melepas mereka berdua. “Kamu jangan ngawur Klara. Nggak ada ceritanya aku terpikir untuk menurunkan Seorang Cewek di jalan, dengan alasan apa pun. Sekarang begini saja, kamu maunya apa?” tanya Randy dengan nada rendah. “Kamu serius mau tahu apa keinginanku?” “Tentu. Kamu bilang saja.” “Pertama, jangan pernah lagi menuruti kemauan Kak Irene, kalau menyangkut ke aku.” Randy tak segera menjawab. “Kenapa diam?” Randy berdecak. Lalu katanya, “Yang terhormat Nona Klara, jangan dianggap hanya kamu yang nggak nyaman ya, berada di posisi seperti ini. Sedari tadi, oh enggak, sedari dulu mungkin, aku juga nggak senang diposisikan begini sama Mendiang Mama. Tapi asal tahu, yang aku lakukan ini semata-mata untuk menjaga hubungan baik antara Papa dan dan keluargamu.” “Hm. You dont’t have to! Masih banyak cara lain.” “Oh, banyak ya? Oke, kalau begitu kasih tahu ke aku salah satu di antara yang banyak itu.” “Kamu tuh ya!” “Lho, kenapa marah lagi?” “Ya jelas aku marah. Kenapa aku yang disuruh mikir? Ya kamu pikir saja sendiri! Aku sudah capek seharian deg-degan mikirin bagaimana caranya supaya acara pertamaku dengan Channel teve ini tetap zero mistakes sebagaimana biasanya. Masa yang persoalan remeh macam itu harus aku yang mikir? Lagi pula kan bukan mauku,” gerutu Klara pelan. Randy mulai tersinggung. “Nona Klara yang baik. Saya tahu benar Anda sangat lelah setelah hari yang tentunya amat menegangkan buat Anda. Tapi sekadar informasi bagi Anda, saya juga tidak se-jobless itu sampai harus menjadi Supir Pribadi Anda saat ini, dan masih diketusi pula.” Klara meradang mendengarnya. “Cukup! Berhenti di sini! Sekarang juga!” Randy bagai tertampar. Dia menatap ke samping karena belum menemukan kata yang tepat untuk menyahuti Gadis itu apalagi melakukan apa yang diminta oleh Klara. Tatapan mereka saling tertaut. Celakanya, itu justru menyulut rasa jengkel Klara. Maka kemudian Randy masih mendengar lanjutan ucapan Gadis itu, “Tuan Randy yang terhormat, mohon Anda dapat menurunkan saya segera. Saya tidak pernah meminta kepada Anda untuk diberikan tumpangan. Dan saya sangat berkeberatan berada di dalam kendaraan Anda yang barangkali menurut Anda super mewah ini. Makanya, saya mohon turunkan saya segera. Saya bisa menumpang kendaraan lain seperti ojek dan sebagainya. Dan andaipun tidak ada kendaraan yang lewat, saya bahkan masih mempunyai sepasang kaki untuk mengantarkan diri saya pulang. Dan sebelum serta sesudahnya, saya ucapkan terima kasih telah mengantar saya sampai jarak yang sejauh ini. Saya tersanjung atas kebaikan hati Anda, Pengusaha Muda yang teramat sibuk tetapi masih mau disuruh-suruh dan kemungkinan dipaksa oleh Kakak saya untuk menyediakan waktu menjemput saya. Saya minta maaf ya atas ketidaknyamanannya. Saya akan berusaha untuk bicara dengan Kakak saya. Supaya dia sadar, derajad Anda ini sangat tinggi, tidak semestinya diperlakukan bak Supir pribadi.” Suara Klara terdengar sangat dingin. Barangkali es batu juga kalah dinginnya jika disandingkan dan dibandingkan. Randy tersentak. Dia tak dapat membantah, dirinya sendiri juga tersinggung berat mendengarnya, sekaligus merasa tersindir. Tapi apa boleh buat, sebetulnya Klara toh sekadar membalikkan kata-katanya sebelumnya. Dia merasa mati langkah. Walau dalam situasi macam itu, sedikit kesadaran menyapanya. Randy berpikir bahwa dirinya tak sepantasnya meladeni kemarahan Klara. Namun perasaannya mengatakan bahwa Klara yang sombong ini memang patut untuk diberi pelajaran agar dapt menjaga ucapannya, terutama kepadanya. Randy memutar otak. Lantas hening yang lumayan panjang. Hening yang mungkin saja menjadi waktu yang dipergunakan oleh masing-masing untuk melakukan sedikit introspeksi. “Kenapa kamu malah jalan terus? Boleh turunkan aku di sini? Tolong. Buat kebaikan bersama, supaya nggak saling mengucapkan kata-kata yang menyakitkan,” kata Klara. Suaranya sudah kembali normal sekarang. Bahkan jika dicermati, cenderung lirih. Dan yang jelas tidak memakai kata ‘Saya’ serta ‘Anda’ lagi. Randy memalingkan muka. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD