5. Kepercayaan Ossena

1253 Words
Menara Hitam Ansel berdiri bersandar pada dinding Menara Hitam, matanya menatap padang rumput yang menghampar di depannya. Dulunya hijau, kini putih tertutup salju yang jatuh semalaman, membuatnya seolah sedang menatap sekumpulan awan. Ia merenung, pikirannya membayangkan apa yang sedang terjadi pada serangga yang biasanya berlompatan di rerumputan. Kumbang, belalang, kepik. Apakah mereka kini bersembunyi? Pindah ke padang lain yang lebih hangat? Ataukah menyerah pada keadaan dan mati? Diseberang padang rumput, istana kerajaan Illia tampak tinggi menjulang. Berdiri diatas bukit dengan rumah-rumah penduduk berdesakan dibawahnya, dikelilingi tembok pembatas dari batu yang kokoh. Melindungi pusat Kota Illia yang hiruk pikuk setiap harinya dari ancaman dunia luar. Pria itu menggenggam ujung pedang yang terikat ke pinggangnya, membalikkan badan dan menolehkan pandangannya ke atas. Ke sisi menara tertinggi tanpa jendela yang ada di belakangnya. Ke tempat gadis itu dikurung selama 20 tahun. Tidak terasa sudah lima tahun ia ditugaskan mengawasi Menara Hitam. Ossena pasti masih berumur 15 tahun saat itu, 3 tahun setelah kekuatannya muncul. Sementara dirinya sendiri seumuran gadis itu sekarang. Selama lima tahun itu pula, rasa cinta Ansel pada Ossena tumbuh tanpa disadarinya. Merekah di dalam hatinya bagaikan bibit bunga melati yang membelit dan mengharumkan hidupnya. Keluguan, ketabahan, dan kecantikan Ossena, tidak tertandingi oleh gadis manapun yang pernah ditemuinya. Walaupun hidup terkurung seumur hidupnya, tapi cahaya yang dimiliki gadis itu tidak pernah meredup. Malah semakin bersinar tiap tahunnya. Ansel pernah mengunjungi mahkluk yang diberitakan terikat takdir pada gadis itu. Berbalut perban di seluruh tubuhnya, hingga hanya kelam dimatanya yang terlihat. Bersinar penuh kehausan. Akan apa? Darah? Kemarahan? Gadis itu? Entahlah. Yang pasti Ansel tidak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika Ossena harus menemui mahkluk itu. Yang karena kelaparan mampu mengoyak daging tikus dan melahapnya bak seekor anjing. Mahkluk yang dipanggil Irukandji. Terkucil dan terasingkan, memang selama ini tidak pernah ada yang berani memberi makan mahkluk itu. Ditambah perintah dari Raja Gregory yang melarang siapapun untuk mendekat tanpa ijin darinya. Demi keselamatan mereka sendiri, katanya. Selama belum ada yang bisa mengontrol, lebih baik mahkluk itu dibiarkan terkurung. "Tuan, apakah anda akan mengantar makan pagi Nona Ossena hari ini?" Suara seorang pelayan yang muncul dari belakangnya membuyarkan lamunan Ansel. Ia ingin sekali menemui Ossena, tapi takut gadis itu akan menanyakan lagi hal yang tidak mampu dijawabnya. Akhirnya, ia menggeleng. "Kau saja lakukan untuk hari ini, Salma. Tapi berikan ini untuknya." Ansel mengulurkan sebuah buku dan kunci pintu kamar Ossena kepada pelayan menara yang kemudian menerimanya. Wanita itu menunduk hormat kepada Ansel sebelum kemudian masuk ke dalam. Ansel menolehkan kembali wajahnya ke padang rumput. Sebelum kemudian mendadak berbalik dan berlari ke dalam mengejar sang pelayan. "Tunggu...Salma, aku berubah pikiran. Biar aku saja yang melakukannya." Salma yang sudah berdiri diujung tangga membawa baki dan buku di tangannya menghentikan langkahnya. Ansel segera melepaskan pedang di pinggangnya dan menyandarkannya ke tembok, sebelum kemudian meraih baki dari tangan Salma dan berlari membawanya naik ke atas. Dengan satu tangan memegang baki, Ansel memutar kunci pintu kamar Ossena dan mendorongnya terbuka. Alangkah kagetnya ia ketika mendapati gadis itu tergeletak diatas lantai dengan mata terpejam.Lututnya tertekuk hingga ke dadanya, sementara mulutnya menyesap jempolnya seperti seorang bayi. Kebiasaan yang dilakukannya tanpa sadar ketika tidur. Baju tidurnya yang tipis terangkat hingga ke pahanya menunjukkan kakinya yang mulus. "Ossena?!?" seru Ansel. Takut terjadi apa-apa pada gadis itu, Ansel buru-buru meletakkan bakinya keatas meja dan berlutut di sebelah tubuh Ossena. Memakai sarung tangan, lengannya terjulur menyentuh bahu gadis itu yang kemudian membuka matanya. "Oh... Ansel?" panggilnya sambil mengucek mata. Ia menggeliat sejenak sebelum kemudian menegakkan badannya dan duduk di atas lantai. "Kau seperti habis melihat hantu, semua baik-baik saja?" tanyanya sambil tertawa kecil. Ansel menarik nafas lega ketika mengetahui gadis itu ternyata hanya tertidur. "Mengapa kau tidur di lantai?" tanyanya kebingungan. "Agar aku bisa mendengarnya lebih jelas." Ansel tercekat mendengar jawaban gadis itu. "Siapa, O?" Ossena menatap wajah Ansel dengan mata lebarnya sebelum menjawab. "Kau tahu siapa. Bukankah kalian yang mengurungnya selama ini? Sama dengan bagaimana kalian mengurungku?" Ansel menelan ludahnya. Apakah Ossena sudah mengetahui tentang keberadaan mahkluk itu? Pria itu menatap Ossena yang kini sudah duduk di meja kecilnya, lengannya terjulur meraih sebuah apel yang ada diatasnya. Tapi bukannya menggigitnya, Ossena hanya mengamati buah berkulit merah itu sambil bergumam, "Disini aku masih sanggup menikmati makanan lezat ini sementara ia tersiksa kelaparan." Ossena meletakkan kembali apel itu ke atas baki dan mendorongnya menjauh. "Berikan makananku padanya!" Ansel terdiam sejenak mendengar keinginan Ossena. "Hanya Raja Gregory dan Penyihir Ismenia yang memegang kunci sel milik Irukandji, O. Aku tidak bisa membukanya." Ossena membulatkan matanya menatap Ansel. "Apa sebenarnya yang mereka inginkan dari kami, Ansel? Mengapa mereka memperlakukan kami seperti ini?" Ansel menelan ludah kebingungan untuk menjawab. Tatapan tajam dari mata Ossena terasa melubangi tengkoraknya seolah ingin menembus ke dalam kepalanya. Membaca pikirannya. Membuatnya mengalihkan pandangannya ke samping. "Kukira kau adalah temanku. Ceritakan padaku, An. Apa yang Raja inginkan dari kami berdua?" ulang Ossena. Nada suaranya makin meninggi membuat Ansel akhirnya menyerah. Ia menghembuskan nafasnya sebelum menjawab. "Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu... Ingatkah kamu akan buku yang pernah kuberikan? Buku yang menceritakan tentang peri, troll, elf, dan mahkluk lain nya?" Ansel menatap Ossena yang mengerutkan keningnya sambil mengangguk. "Jadi di dunia ini hidup beragam mahkluk, O. Aku adalah manusia. Sama hal nya dengan Raja Gregory. Ismenia adalah seorang penyihir. Mereka memuja Peri Api yang memberikan kemampuan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Seperti meramal, menciptakan keajaiban atau racun dengan ramuan sihirnya. Selain itu ada juga binatang-binatang buas dengan kekuatan yang besar. Naga. Troll. Monster. Ditangkap dan dijinakkan oleh manusia. Digunakan sebagai senjata dalam peperangan. Termasuk salah satunya,mahkluk yang ada di penjara bawah tanah. Tidak ada yang tahu jenis binatang atau monster apakah ia, tapi ia adalah satu-satunya yang tersisa di bumi. Orang menyebutnya Irukandji. Paling kuat dari semua mahkluk yang ada di bumi, paling mematikan, dan paling tidak terkontrol. Satu sentuhan dari kulitnya mampu melepuhkan kulit manusia. Sementara darahnya yang mendidih terasa bagaikan asam, yang membakar hingga ke tulang. Belum lagi dengan kemampuan dan kekuatannya dalam perkelahian. Jauh diatas manusia biasa. Menurut yang kudengar, Raja Frederic, ayah dari Raja Gregory, mengerahkan ratusan pasukan pembawa sihir api hanya untuk memisahkannya dari pedang yang menjadi sumber kekuatannya. Satu-satunya alasan mengapa ia kini berada di penjara bawah tanah." Ossena termenung mendengar penjelasan Ansel. Bingung, bagaimana mungkin mahkluk seseram cerita Ansel menyukai nyanyiannya? Menghabiskan semalaman memintanya untuk terus bercerita? "Jika kalian menganggapnya monster, sebuah senjata. Lalu mahkluk apakah aku? Monster sepertinya kah? Itukah mengapa kalian mengurungku?" "Tentu saja tidak, O. Kau adalah sesuatu yang berbeda. Murni dan baik. Dikirimkan dari tempat lahirnya para peri, untuk mengendalikan Irukandji. Tahukah kamu bahwa Raja Venzor gemar memperbudak wanita-wanita muda di istananya? Sementara Raja Eelry, memaksa troll berperang untuk kepentingan mereka? Sudah saatnya Raja Gregory menguasai Dataran Hijau, O. Demi kebaikan semua manusia, sudah saatnya kita membasmi kejahatan." Ossena mengerutkan keningnya, "Mempersatukannya? Bagaimana?" "Hanya ada satu cara untuk mempersatukan wilayah. Lewat perang. Dengan Irukandji ikut berperang di sisi prajurit Illia, bisa dipastikan bahwa seluruh kerajaan di Dataran Hijau akan berada di kekuasaan Raja Gregory dengan mudah. Bayangkan kegembiraan keluarga para prajurit yang bisa diselamatkan dengan adanya Irukandji dipihak kita. Nyawa orang-orang seperti diriku." Ossena menatap pria itu. Rambut gelapnya menutupi sebagian dahinya membuat Ossena ingin menjulurkan tangannya dan merapikannya. Tapi ia sadar, sentuhan darinya adalah sesuatu yang tidak diinginkan dari Ansel. Karenanya ia menahan diri. Ia memikirkan ucapan Ansel, tidak paham akan peperangan, atau perebutan kekuasaan. Atau mana pihak yang baik dan jahat. Ossena bahkan tidak paham apa itu kebaikan dan kejahatan. Tapi ia tahu satu hal. Ia mempercayai Ansel. Dan ia ingin menyelamatkan nyawa Ansel. "Baiklah. Apa yang harus kulakukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD