Istana Illia
"Hm... Ia memimpikan monsternya lagi huh?"
"Benar Yang Mulia." Ansel menjawab dengan satu lutut tertekuk diatas lantai yang dingin.
"Seperti yang kukatakan, Ia semakin kuat, Yang Mulia."
Suara seorang wanita membuat Ansel melirik ke belakang. Dari ujung matanya bisa dilihatnya Ismenia berjalan mendekat. Rambut merahnya terikat ke dalam kepangan rapi terlihat sangat kontras dengan kulit putihnya yang mulus.
Berbeda dengan Raja Gregory yang menua, penampilan Ishmenia tidak berubah sejak pertama Ansel bertemu dengan nya. Puluhan tahun yang lalu. Sihir Peri Api, itulah penyebab bertahannya kecantikan Ishmenia.
Ujung gaunnya menggesek lantai menimbulkan satu-satunya bunyi yang terdengar dari gerakan tubuhnya.
Srttt..srtt...srrtt...
Suaranya terdengar nyaring membelah kesunyian ruangan tahta kerajaan Illia pagi itu. Apalagi kini hanya mereka bertiga ada di dalam nya.
"Dua hari lagi ulang tahunnya yang ke 20, bukan?" Ismenia melanjutkan sambil membungkuk memberi salam. Hanya sekilas sebelum ia kembali menegakkan tubuhnya. "Sudah waktunya kita mempertemukan keduanya, Yang Mulia."
Gregory yang dari tadi duduk di kursi singgasananya menghempaskan punggungnya ke belakang. Tangan kanannya tertekuk mengelus dagunya seolah sedang berpikir.
"Aku sudah menunggu waktu ini selama 20 tahun. Apakah kau yakin rencanamu akan berhasil?"
"Percayalah. Peri Api sudah menyampaikan rencananya padaku semalam lewat mimpiku. Irukandji akan melakukan apapun yang diminta gadis itu. Dan gadis itu akan melakukan apapun yang diminta pria ini."
Ismenia meletakkan tangannya ke pundak Ansel, membuat pria itu tersentak kaget dan mendongak menatap wajah wanita itu.
"Dan kau akan melakukan apapun yang diminta oleh Rajamu bukan, Prajurit?"
Pertanyaan Ismenia membuat Ansel tercekat. Sebelum kemudian kembali menundukkan wajahnya dan menjawab, "Tentu saja, Yang Mulia. Ucapanmu adalah perintahku."
Gregory bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Ansel. Tangannya meraih pundak pria itu dengan kedua tangan dan menarik badannya berdiri.
"Tidak salah aku memungut dan menyelamatkanmu ketika kecil, Ansel. Menyekolahkanmu dan mendidikmu. Hingga kini kau tumbuh sebagai salah satu jendral yang paling handal di kerajaan Illia. Kemampuanmu di medan perang selama ini selalu membawa kebanggaan tersendiri. Aku bahkan sudah menganggapmu seperti anak ku sendiri."
Ansel mengangkat pandangannya dari lantai menatap wajah Gregory. Sedikit lebih pendek darinya, uban dan kerutan di wajah rajanya itu sudah tampak kentara di usianya yang kini 45 tahun.
Ia tidak begitu ingat akan hari ketika Gregory menyelamatkannya, karena ia masih berusia 3 tahun kala itu. Tapi Ansel tidak pernah lupa akan apa yang sudah diberikan rajanya kepadanya. Masa depan. Tanpa bantuannya, ia mungkin sudah meninggal di jalanan, kelaparan seperti ratusan anak tanpa orang tua yang sering ditemukannya di sepanjang kota Illia.
"Terima kasih Yang Mulia. Tentu saja saya tidak akan pernah lupa akan apa yang sudah Yang Mulia lakukan untuk saya selama ini. Selamanya saya berhutang budi pada Yang Mulia. Nyawa ini adalah milik Yang mulia."
Ansel hendak berlutut lagi, yang langsung ditahan oleh tangan Gregory yang malah mendekapnya. Pria itu menepuk punggung Ansel sambil berkata, "Tentu saja. Kau tidak pernah mengecewakanku selama ini."
Gregory melepas pelukannya dan melanjutkan, "Kembalilah ke post jagamu di Menara Hitam. Kabari aku jika terjadi sesuatu pada gadis itu."
Ansel membungkuk ke arah Gregory dan Ismenia sebelum kemudian membalikkan badan dan berjalan keluar.
"Menurutmu ia akan berkhianat kepadaku?" tanya Gregory ke arah peramalnya ketika detak sepatu Ansel sudah tidak terdengar lagi.
"Ramalanku belum sampai sejauh itu, Yang Mulia. Kurasa bahkan Peri Apipun tidak bisa memprediksi akan pilihan manusia yang berubah-ubah. Tapi jangan khawatir, jalan apapun yang akan di tempuh nya, kita sudah siap."
"Hm..." Gregory menghembuskan nafasnya memandang tajam ke arah Ismenia.
Tangannya terjulur ke arah leher jenjang wanita itu, sebelum kemudian mencengkeramnya dengan kuat. Menekan ke saluran pernafasanya.
Ismenia mulai mengerang tercekik, tapi tidak meronta. Ia biarkan cengkeraman tangan Gregory semakin mengeraskan, tanpa melawan.
"Ingat, apa yang bisa kulakukan padamu, Ismenia. Jangan mengecewakanku..." desis nya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Ismenia. Menunggu wanita itu mengangguk, sebelum kemudian perlahan melepaskan cengkeraman tangannya dari leher wanita itu. Dan meraup bibir Ishmenia dengan ciumannya yang kasar.
***
Menara Hitam
Ossena mencengkeram ujung meja dengan tangannya hingga ujung jarinya memutih. Ansel meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Setiap kali ia menanyakan asal usulnya, atau alasan mengapa Ismenia mengurungnya sejak kecil.
Siapa mahkluk yang terus menghantui mimpinya? Di mana ia berada? Mengapa muncul di keinginan yang kuat untuk mencarinya? Mahkluk itu... seolah memanggilku.
Ketika kecil mimpi itu datang hanya sekali-kali. Kebanyakan ketika mendekati hari ulang tahunnya. Suara mahkluk itu bergetar di kepalanya. Rendah tapi menenangkan. Geramannya seolah ingin ikut mengucapkan ulang tahun kepadanya. Memberinya kekuatan untuk melalui tahun berikutnya.
Tapi akhir-akhir ini, geraman itu terdengar hampir setiap malam. Bahkan kadang ketika ia masih belum tertidur pun, ia mampu mendengarkan geramannya. Yang semakin lama semakin dekat. Seolah berasal dari bawah kakinya.
Ossena menunduk menatap lantai kamarnya yang lapis kayu. Ia mengerutkan keningnya sambil berlutut. Mengelus permukaan kayu yang kasar dengan jemarinya.
Apakah kau ada di bawahku?
Gadis itu menunggu sesaat, tapi ketika tidak muncul juga balasan, ia tertawa kecil sambil menggumam.
"Mungkin aku terlalu lama sendiri di kurung. Membuat otakku semakin tidak waras." Baru saja ia hendak berdiri ketika didengarnya suara bisikan,
'Ossena...'
Ossena tersentak diatas kakinya yang kini berdiri tegak. Satu tangannya mendekap dadanya berusaha mengontrol detak jantungnya yang kebingungan.
Apakah aku bermimpi?
'Apakah kau tidur?' Balas suara itu.
Ossena tertawa kecil mendengar jawaban mahkluk itu.
Tidak setahuku. Apakah kau benar-benar ada? Atau hanya buatan kepalaku? Nyatakah dirimu?
Didengarnya gelak tawa mahkluk itu mendengar pertanyaannya yang diikuti sebuah jawaban. Entah kenapa nada suaranya terdengar sedih di telinga Ossena.
'Aku juga sering menanyakan hal yang sama tentangmu. Nyatakah dirimu? Ataukah hanya ada di dalam kepalaku. Tapi aku yakin kau ada. Karena jika tidak, maka akupun tidak nyata. Karena sebagian dari darahku mengalir dalam dirimu. Melindungimu adalah menjadi tujuanku. Kau tidak bisa membayangkan betapa lama aku menantikan kedatanganmu, Ossena.'
Kau tahu siapa aku? Mengapa aku ada di sini? Mengapa mereka mengurung kita?
'....'
Tidak ada jawaban dari mahkluk itu, membuat Ossena mengerutkan keningnya. Keberadaan mahkluk itu makin menambah lebih banyaknya pertanyaan di benaknya daripada jawaban. Hingga ia tidak tahu lagi yang mana yang ingin diketahuinya.
Tapi satu hal yang pasti, ia ingin mengenal mahkluk itu. Yang sama kesepiannya dengannya. Menemukannya jika perlu. Karenanya ia bertanya,
Siapakah namamu?
'Nama...?' Terdengar kesunyian sejenak sebelum mahkluk itu melanjutkan. 'Hm... Aku sudah tidak ingat lagi siapa namaku. Penyihir itu mengambil buku harianku. Tapi kini, semua orang menyebutku Irukandji.'
Irukandji... bisik Ossena dalam hati.
'Nyanyikan aku sebuah lagu Ossena...'
Lagu?
'Lagu yang sering kau senandungkan setiap waktu.'
Ossena tersenyum sebelum menjawab, "Baiklah, Iru."