Bulan sudah menampakkan wujudnya ketika Ansel kembali ke barak malam itu. Ia baru saja selesai mengecek persediaan senjata yang akan di bawa oleh pasukannya ke medan perang besok. Satu persatu, ia memastikan setiap pedang sudah terasah dan setiap tameng dalam keadaan sempurna siap untuk digunakan.
Gregory sebenarnya menghadiahi Ansel sebuah rumah di kota seperti panglima yang lain. Tapi, bagi pria lajang macam dirinya, Ansel lebih memilih tinggal bersama anak buahnya daripada harus tinggal sendirian di rumahnya yang luas.
Suasana di barak sudah sepi ketika Ansel masuk. Kebanyakan para prajurit anak buahnya sudah terlelap di atas kasurnya masing-masing, menuruti perintahnya untuk tidur karena besok subuh mereka sudah harus bergerak. Beberapa yang masih terjaga terlihat berkerumun di dekat perapian yang ada di tengah lapangan, dengan gelas minuman di tangan mereka masing-masing.
“Selamat malam, Panglima!” sapa mereka bergantian menyapa Ansel ketika pemuda itu berjalan menuju kamarnya. Salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri dan menghampiri Ansel dengan menggaruk kepala.
“Uhm… Ada yang menunggu di kamar anda, Panglima,” bisik Simon. Berkulit putih dan berambut merah, wajahnya yang pucat terlihat merah di hidung dan pipinya entah karena kedinginan atau efek dari minuman yang ada di tangannya.
Ansel mengerutkan dahinya kebingungan, “Siapa yang mencariku malam-malam begini?”
“Ehh…” Simon mendekatkan bibirnya ke telinga Ansel, “Anak Panglima Hugon.”
“Nona Tilda?” tebak Ansel.
Simon mengangguk, “Saya sudah mencoba memintanya untuk pulang, tapi Nona Tilda memaksa dan mengatakan akan menunggu. Maafkan saya, Panglima.”
Pria itu merasa bersalah karena membiarkan seorang wanita memasuki kamar atasannya yang adalah sebuah larangan di dalam pasukan yang dipimpin Ansel. Dari semua armada Illia, hanya armada Ansel lah yang melarang prajuritnya membawa wanita masuk ke barak. Ansel beranggapan bahwa barak adalah tempat untuk beristirahat, dan persaudaraan. Wanita hanya akan memperkeruh suasana dan mengalihkan perhatian dari tujuan mereka,yaitu membela bendera Illia.
“Baiklah, tidak apa-apa. Akan aku urus. Terima kasih Simon.” Ansel menepuk bahu pemuda itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar paling ujung yang ada di barak.
Dari luar kamar, nampak cahaya kuning dari perapian di kamarnya menyala menembus celah di bawah pintu, menandakan adanya orang di dalamnya. Ansel menarik nafas dan menarik gagang pintunya terbuka. Ia melangkah masuk dan menoleh ke sekeliling kamarnya.
Kelambu yang tergantung di atas ranjangnya tertarik menutupi kasur, tapi kain tipis itu tidak bisa menghalangi pandangannya akan siluet seorang wanita yang duduk diatas matras.
“Tutup pintunya, Panglima. Aku tidak ingin udara dingin diluar masuk,” seru sebuah suara.
Ansel tidak bergerak dan masih berdiri di dekat pintu masuk.
“Kau perlu keluar dari sini, Nona Tilda. Wanita dilarang untuk masuk kemari.”
Tilda merangkak keluar dari balik tirai dan kini berdiri si sisi ranjang. Satu tangannya memegang salah satu tiang kelambu ranjang sementara satunya memainkan rambutnya yang terurai.
Ansel baru sadar bahwa wanita itu hanya memakai gaun tidurnya yang tembus pandang. Ingin melindungi Tilda dari tatapan prajuritnya yang mungkin ada di luar, buru-buru ia menutup pintu kamarnya.
“Nona, apa yang kau lakukan disini?” Ansel berjalan meraih mantel milik Tilda yang tergeletak diatas lantai dan berjalan mendekati wanita itu.
“Menunggumu, Panglima.” Tilda menarik ujung gaunnya naik, memperlihatkan pahanya yang mulus dan putih, membuat Ansel menghentikan langkahnya.
Tilda memainkan jemarinya mengelus pahanya sendiri sambil melanjutkan, “Kau akan berangkat ke medan perang subuh, aku ingin memberimu pelepasan yang layak.”
Sebagai seorang pria, Ansel paham betul apa maksud dari Tilda. Wanita itu menginginkannya. Mata Ansel menatap ke paha Tilda yang tanpa cacat. Wanita itu memang tidak sememikat Ossena. Tidak ada yang mampu mengalahkan kecantikan Ossena. Tapi Tilda memiliki kulit yang putih dan terawat, bukan paha w************n yang kotor. Tapi paha wanita dari keluarga terpandang, paha anak seorang panglima kerajaan.
Ini bukan pertama kalinya Ansel menatap paha seorang wanita, atau apa yang bersembunyi di balik balutan kain tipis yang menutupi se-langkangan wanita itu.
Bagaimanapun ia adalah pria normal, ia pernah meniduri wanita. Sebelum bertemu dengan Ossena, dan bahkan sesudah bertemu dengan Ossena. Sebesar apapun cintanya pada Ossena, ia tahu bahwa ia memerlukan pelampiasan untuk hasratnya. Kini dihadapannya berdiri seorang wanita bertubuh sintal dengan paha tersingkap. Da-danya yang membusung dan runcing terlihat jelas dibalik gaun yang dipakainya. Mengundangnya untuk mendekat.
Dilepaskannya mantel yang ada di tangannya jatuh kembali ke lantai dan tanpa memberi kesempatan bagi otaknya untuk menolak, Ansel meneruskan langkahnya mendekati Tilda.
Satu tangannya meraih lengan gadis itu dan mencengkeramnya keras, sementara tangan yang lain menarik kepala Tilda ke dalam ciuman penuh naf-sunya.
Dengan nafas yang mulai memburu, Tilda membalas ciuman Ansel. Ketika cengkeraman Ansel mulai melonggar, tanpa melepaskan tautan bibirnya, tangan Tilda mulai bergerak me-lucuti pakaian pria itu. Satu persatu dengan gerakan tidak sabar, hingga pria itu berdiri polos didepannya.
Lidah wanita itu menyambar dan meliuk di dalam rongga mulut Ansel, menjelajah. Sementara kedua jemarinya menyapu da-da dan perut pria itu, meremas dan mencakar tubuh yang terasa keras oleh otot dan panas oleh gairah. Denyutan pelan terasa di sela kaki Tilda setiap ‘benda’ milik Ansel menggores perutnya ketika mereka berhimpitan. Tidak bisa menahan dirinya lebih lama, ia pun meraih batang tubuh Ansel yang dari tadi sudah berdiri tegak.
Cengkeraman tangan Tilda membuat nafas Ansel memberat. Ia melepaskan ciumannya dan menggeram menatap mata Tilda yang rupanya juga mengamatinya. Tanpa melepaskan pandangannya dari mata Ansel, perlahan tubuh Tilda melorot kebawah dan berlutut di hadapan pria itu.
Satu tangannya yang masih berada di tubuh Ansel, mengarahkan benda itu ke mulutnya dan menjilat ujungnya, menggodanya dengan ujung lidahnya sendiri. Membuat geraman Ansel semakin keras.
Pria itu meremas rambut Tilda bersamaan dengan terbukanya mulut wanita dan mendorongkan kepala Tilda dalam-dalam ke batang tubuhnya. Beberapa saat ia menahan kepala wanita itu di sela kakinya, membiarkan kehangatan mulut Tilda mencengkeram tubuhnya yang kini mulai terasa panas dan berdenyut.
Ketika dirasanya nafas Tilda mulai tercekik, akhirnya Ansel mengendurkan genggamannya dan membiarkan wanita itu menggerakkan kepalanya sendiri maju dan mundur, keluar dan masuk, menggesek dan melumuri batang tubuhnya dengan cairan dari mulutnya yang terasa hangat dan licin.
Ansel bisa merasakan bahwa dirinya tidak lama lagi akan menyelesaikan permainannya. Ia menutup matanya dan kembali meraih rambut Tilda. Menggerakkan kepala wanita itu agar bergesek lebih cepat… lebih cepat… lebih cepat…
Hingga…
“Mhhh….” Ossena…, jerit benaknya bersamaan dengan perasaan ekstasi akan sesuatu yang menekan sela pahanya.
Ansel mengerang tertahan bersamaan dengan keluarnya cairan yang tidak lagi bisa di tahannya, yang kini dibiarkannya masuk ke dalam mulut wanita yang masih berlutut di hadapannya itu.
Ketika sapuan perasaan itu berakhir, masih dengan nafas memburu, Ansel membuka matanya. Ia mengeraskan rahangnya ketika menunduk dan melihat wajah Tilda yang masih menikmati tubuhnya. Seketika itu pula otaknya kembali berfungsi dan membuatnya menyesal.
Tidak tahan untuk secepatnya menyingkirkan Tilda yang masih menjilati tubuhnya, ia menarik rambut wanita itu agar menjauh. Diraihnya mantel coklat milik Tilda yang tadi di lemparnya dan dialungkannya benda berbulu rubah itu ke bahu Tilda yang polos.
“Kau perlu pulang, Nona. Aku akan menyuruh salah satu prajuritku mengantarmu,” perintah Ansel sambil meraih pakaiannya sendiri dan mulai berbenah.
“Apa?! Kau akan mengusirku begitu saja?”jawab Tilda dengan mata terbelalak. “Setelah aku menelan benih mu?”
“Maafkan aku, tapi ini tidak bisa terjadi lagi. Kau adalah anak dari seorang Panglima yang terpandang. Bukan tempatmu berada di antara kakiku seperti ini.”
Ansel membuka pintu kamarnya dan berteriak memanggil Simon, meminta prajurit itu mengantar Tilda pulang.
“Pastikan Nona Tilda sampai di rumah dengan selamat, atau kepalamu menjadi gantinya.”
“Te… Tentu saja, Panglima.” Simon menunduk memberi hormat pada Ansel lalu menjulurkan tangannya mempersilahkan Tilda berjalan terlebih dahulu.
“Pria breng-sek!” geram Tilda dengan nafas tertahan. “Tidak akan kumaafkan apa yang sudah kau lakukan padaku, Panglima,” lanjutnya sambil berjalan keluar dibuntuti oleh Simon.
=====
Note:
Dih kelakuan laki kan.. ck ck ck
Ayo siapa yang mau marah?
Waktu dan tempat di persilahkan di kolom komen.
Marahin aja Ansel, jangan otornya ya.
Buat yang kepo sama visual-visual, otor akan up di sosmed. Yang belum follow bisa follow ya.
Instagram: dragonflyeternal
FB: Deef e
Yang belum tap love, silahkan tap love dulu, jangan lupa follow akun D.F.E