Keesokan harinya, pertemuan untuk membicarakan stategi melawan Eelry di mulai.
Ossena berdiri sedikit tersembunyi di belakang. Terhimpit oleh tubuh Irukandji dan Ansel yang menjulang di hadapan gadis itu. Kepalanya hanya bisa melongok diantara bahu kedua pria itu, berusaha mengintip apa yang sedang di bicarakan oleh gerombolan pria yang ada di ruang pertemuan. Banyaknya orang di dalam ruangan ditambah perapian yang menyala membuat tubuh Ossena terasa gerah. Tapi Ansel mencegah Ossena ketika ia mengatakan hendak membuka mantel dan memaksa agar terus memakai penutup wajah walaupun mereka sedang berada di dalam.
Didalam ruang pertemuan, selain Gregory, Ishmenia, Ansel, dan Irukandji, ada 3 pria lain yang berkerumun di meja kotak, para panglima kepercayaan Raja Gregory. Hugon, Arnet, Isac.
Ossena ingat Hugon, pria yang mengepalai pasukan panah Illia sekaligus ayah dari Tilda, gadis yang semalaman mengerumuni Ansel bak seekor semut yang mencium gula.
Ketiganya panglima perang Illia jauh lebih tua dari pada Ansel. Jauh lebih berpengalaman dalam medan perang, adan sama-sama mempertanyakan posisi Ansel sebagai tangan kanan Raja Gregory yang menurut mereka seharusnya jatuh pada salah satu diantara mereka bertiga.
Ke enam orang itu saat ini sedang mempelajari peta Kerajaan Eelry yang terbentang diatas meja kayu. Eelry sebenarnya adalah kerajaan kecil. Raja Eelry, Wiliame adalah pria yang mementingkan perdamaian diatas segalanya dan tidak memiliki armada perang yang kuat. Satu-satunya pertahanan mereka ada pada barisan Troll yang mengabdi dengan setia pada Wyliame.
Troll adalah mahkluk raksasa yang memiliki 2x lipat besar badan Irukandji dan 4x lipat ukuran manusia normal. Satu Troll akan cukup untuk mengalahkan satu batalion prajurit biasa, sementara Eelry memiliki ratusan Troll sebagai pasukannya.
Sementara mereka masih memikirkan tentang Eelry dan Trollnya, Ansel mengingatkan semuanya akan kapal berbendera Dragontail yang dilihatnya beberapa hari yang lalu.
“Kapal itu pasti menuju ke Venzor,” timpal Gregory. “Dragontail dan Venzor bersekutu setelah raja mereka menikahkan kedua anaknya, Sagar dan Sarah.”
“Sepertinya mereka juga mulai resah,” imbuh Hugon. “Jangan-jangan mereka berniat menyerang setelah pasukan kita lemah gara-gara menyerang Eelry. Bukankah raja tua Dragontail sudah lama ingin menguasai Illia yang lebih subur.”
Gregory mengangguk, setuju dengan ucapan Hugon. Jika sampai Dragontail dan Venzor bersekutu untuk menyerang Illia, ketika Illia lemah. Bisa dipastikan mereka akan kalah. Beberapa saat tidak ada satupun yang bersuara, hingga Ansel tiba-tiba memecah keheningan dengan sebuah usul.
“Hm…Aku mungkin memiliki solusinya, Yang Mulia.”
Gregory mendongak, menatap ke arah pria itu.
“Jelaskan,” perintahnya.
Ansel mengungkapkan rencananya di hadapan semua orang yang langsung di sambut oleh geraman dan protes ketidak setujuan dari ketiga Panglima Gregory.
“Semuanya! Diam!” sentak Gregory, membungkam suara ketiganya sebelum kemudian meletakkan tangannya ke dagunya sambil menatap ke arah peta yang terbentang diatas meja.
“Hm…” Ia menganggukkan kepalanya, “Menyerang ketika mereka tidak menantikannya. Rencana yang bagus, Ansel. Aku setuju. Kita jalankan!”
Ossena menghempaskan tubuhnya dengan keras ke atas kursi yang ada di belakangnya, menyerah berusaha untuk memahami ucapan para pria di dalam ruangan itu.
Suara helaan nafasnya yang keras, membuat semua orang berhenti dan menoleh ke arahnya. Canggung karena merasa diperhatikan, Ossena langsung menegakkan tubuhnya.
Hugon berdeham membersihkan tenggorokannya. Sudah kesal karena lagi-lagi Raja Gregory memuji Ansel, ia mengarahkan kemarahannya pada gadis yang dari tadi bersembunyi di belakang tubuh saingannya itu.
“Yang Mulia….” Suara berat Hugon terdengar. “Perlukah kita membawa peri ini ke medan perang? Kita tahu apa yang bisa dilakukannya. Bagaimana bila ia berbalik berkhianat dan meminta monster ini untuk menyerang kita?”
Ossena mengerutkan keningnya merasa tersinggung oleh ucapan Hugon. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melakukan hal yang dituduhkan padanya. Ia menyayangi Ansel, dan Ansel menyayangi Illia.
“Yang Mulia sudah menjanjikan aku boleh ikut kemanapun Irukandji pergi. Lagipula, dengan aku satu-satunya yang didengarkan olehnya, tidakkah menurutmu akan lebih aman bila aku ikut?” celetuk Ossena ketus.
Hugon tergelak mengejek. “Yang kita datangi adalah medan perang, Peri. Bukan tempat untuk bermain. Jika kami harus bertarung dan memikirkan keselamatanmu di saat yang sama, akan sangat menghabiskan tenaga untuk kami bukan?”
Ossena mendecak kesal. Ia tidak menyukai aura yang di keluarkan oleh pria itu. “Aku bisa menjaga diri, Panglima. Jika kau lupa, aku mampu mengubah alur pikiran seseorang.”
“Cih… dengan sentuhanmu. Apa jadinya bila musuhmu memenggal kepala mungilmu sebelum kau sempat mendekat?“
Hugon mengeluarkan pedang yang ada di pinggangnya. Menghunuskannya ke arah Ossena yang berdiri diantara Ansel dan Irukandji.
GRRTT! CLANG!
Belum sempat Ossena bereaksi akan ancaman Hugon, Irukandji sudah menangkap ujung pedang dengan telapak tangannya yang lebar dan meremasnya. Kekuatan mahkluk itu mematahkan benda berwarna perak menjadi dua bagian.
Tidak berhenti disitu, Ansel ikut menarik pedangnya keluar dari sarung dan mengarahkan benda itu pada leher Hugon.
“Panglima Hugon,” geram Ansel tertahan. “Tugasku menjaga Nona Ossena, berani kau mengancamnya lagi, aku tidak akan segan-segan memenggal kepalamu.”
Sesaat tidak terdengar suara apapun di dalam ruangan kecuali hembusan nafas dari Hugon. Hingga Gregory Kane menggebrakkan tangannya ke atas meja.
“Tujuan kita adalah Eelry, bukan satu sama lain. Hugon, turunkan pedangmu. Berani-beraninya kau mempertanyakan keputusanku?”
Mendengar jawaban Gregory, Hugon langsung menyarungkan pedangnya yang sudah patah dan membungkukkan kepalanya.
“Tentu saja tidak. Maafkan saya Yang Mulia,” jawabnya.
“Baiklah, jika sudah tidak ada yang perlu di bicarakan. Kalian siapkan pasukan masing-masing. Kita berangkat 3 hari dari sekarang!”
Perintah Gregory membubarkan pertemuan siang itu.
Baru saja Ansel hendak menarik tangan Ossena keluar, Gregory memanggil mereka.
“Kalian bertiga, ikuti aku!” tunjuknya ke arah Irukandji, Ossena, dan Ansel.
Sang Raja berjalan keluar dari ruangan diikuti oleh Ishmenia. Irukandji, Ossena, dan Ansel saling bertukar pandang sejenak sebelum kemudian mengekor di belakang.
Kelimanya terus berjalan melewati lorong istana berbatu yang berliku-liku hingga sampai di depan sebuah ruangan berpintu kayu tebal dengan bingkai besi. Dua prajurit yang berjaga di depannya menunduk memberi salam melihat kedatangan Gregory lalu menyingkir ke samping, memberi jalan.
Gregory menggeluarkan sebuah kunci dari dalam jubahnya dan membuka pintu. Begitu pintu terpentang lebar, pria itu melangkah masuk.
Pandangan mata Ossena langsung tertuju pada kotak kaca yang diletakkan di tengah ruangan. Didalam kotak kaca, berpendar biru terang, tersimpan sebuah pedang dengan ukuran dua kali lipat pedang yang biasa di lihatnya. Simbol-simbol kuno terukir di sepanjang sisi pedang, menambah keindahan benda itu.
Seolah tersihir, Ossena melangkah hendak mendekat ketika tiba-tiba lengan Ansel terjulur di depannya, menahannya untuk maju. Pria itu menghentikan langkahnya dan mendorong Ossena ke belakang tubuhnya. Membiarkan Irukandji berjalan duluan ke depan.
“Itukah pedang Irukandji?” bisik Ossena ke Ansel yang di jawab oleh anggukan dari pria itu.
“Tetaplah di balik badanku, kita tidak tahu apa yang terjadi ketika ia meraih kembali kekuatannya.”
Raja Gregory pun melangkah menjauh dari tengah ruangan ketika di lihatnya pedang itu bersinar makin terang semakin Irukandji berjalan mendekatinya. Mahkluk berperban itu meraih penutup kotak kaca dan mengangkatnya terbuka. Gerakannya perlahan, tapi membuat semua orang yang ada di dalam ruangan menahan nafas.
Irukandji menjulurkan tangan kanannya ke dalam dan mencengkeram gagang pedang. Seolah merespons sentuhan dari Irukandji, pedang itu berpendar makin terang. Bukan hanya itu, cahaya yang keluar kini terlihat berdenyut, berdetak mengikuti detak jantung Irukandji.
Dari balik tubuh Ansel, Ossena bisa melihat Irukandji yang memainkan pedangnya dan mengayunkannya seakan sedang bermain dengan anak yang sudah lama tidak di temuinya. Bibirnya tertarik ke samping sementara matanya bersinar menyipit seolah ia sedang tersenyum di balik balutan perban yang mengelilingi kepalanya.
“Halo, teman lama!” bisiknya sambil meluncurkan telapak tangan kirinya ke permukaan pedang yang halus dan dingin. Yang dijawab oleh denyutan dari pedang yang berpendar lebih lama dari sebelumnya.
Irukandji terdiam sesaat mengamati pedang di tangannya sebelum kemudian meraih sarung pedang yang masih ada di dalam kotak kaca dan menyelipkan pedangnya ke dalamnya, menutup pertunjukan cahaya biru di dalam ruangan itu.
Dengan langkah santai, Irukandji berjalan ke arah pintu keluar melewati Ansel yang dari tadi mencengkeramkan tangannya ke gagang pedangnya sendiri.
Pria bertubuh raksasa itu menepukkan tangannya ke pundak Ansel sambil mencibir, “Dan apa yang hendak kau lakukan dengan ranting kecilmu itu, Teman?” sebelum kemudian berlalu keluar ruangan meninggalkan yang lain.
***
KERAJAAN EELRY
Kerajaan terkecil, satu dari 5 kerajaan yang tersisa di Dataran Hijau.
Dipimpin oleh Raja Wyliame Oberon. Diusianya yang sudah berusia 50 tahun, Raja itu tidak memiliki ambisi besar selain kesejahteraan dan perdamaian bagi rakyatnya. Wyliame adalah raja yang adil, bijaksana, dan dicintai oleh semua orang, baik penduduk ataupun prajuritnya.
Siang itu, Wyliame sedang duduk di ruang pertemuannya bersama dengan anak perempuan satu-satunya, Aelina Oberon, dan panglima perang nya, seorang Trol yang bernama Trolgar. Pengawal pribadi Aelina yang bernama Tobias, berjaga di dekat pintu masuk.
Pria itu melipat kedua tangannya yang tersandar di kursi yang di dudukinya dan menarik nafas dalam-dalam. Rambutnya yang coklat sebahu dan sudah dihiasi oleh uban, tersisir rapi di bawah mahkota kecil yang melingkari kepalanya.
Didepan Wyliame, berdiri Trolgar. Dengan tubuh 4 kali lipat tubuh manusia biasa, mahkluk itu menunduk menatap sebuah peta yang terbentang diatas meja. Jenggotnya yang panjang menjuntai hingga ke d**a bergerak setiap kali mahkluk itu menarik nafas. Dua buah tanduk mirip dengan tanduk domba, tampak terlihat menyembul dari sisi kanan dan kiri kepalanya.
Suara dengusan Aelina mengalihkan perhatian keduanya.
“Yang Mulia, sebaiknya kita mulai mengungsikan penduduk kita ke pegunungan.”
Aelina menunjuk ke arah perbukitan Gunung Tundurn yang membentang dari timur ke barat membelah Dataran Hijau menjadi dua. Tidak memiliki anak laki-laki, gadis itulah yang kelak akan meneruskan tahta Eelry. Itupun jika Eelry masih ada.
Wyliame mengalihkan pandangannya ke wajah putrinya yang masih menunduk mengamati peta dihadapannya.
“Jika kita mulai evakuasi malam, ini, mereka bisa sampai ke batas hutan sebelum subuh. Cukup waktu untuk menyembunyikan diri,” lanjut Aelina. Jemarinya menelusuri permukaan peta, membuat garis yang menghubungkan antara Eelry dan pegunungan Tundurn.
Masih berusia 23 tahun, Aelina berbeda dengan putri kerajaan lainnya. Aelina bukanlah putri yang manja, atau lemah lembut, atau putri yang bergantung pada orang lain.
Bukan, ia adalah seorang prajurit. Seorang panglima perang. Sejak kecil, Aelina dididik oleh Wyliame untuk menjadi penerusnya. Sosok yang tangguh, ulet dan tidak kalah oleh pria manapun di Eelry. Tanpa pakaian perang, Aelina mungkin terlihat seperti layaknya putri kerajaan lain. Tinggi, ramping, cantik dengan mata lebar dan rambut coklat yang di kepang panjang ke punggung. Tapi semua orang di Eelry tahu untuk tidak menyepelekannya, karena keganasan pedang yang dipakainya. Tidak kalah cepat dan mematikannya dibandingkan pria.
“Bagaimana menurutmu, Yang Mulia?” Aelina menolehkan wajahnya ketika ayahnya masih terdiam tidak menjawab.
Wyliame mengangguk, “Aku setuju. Bawa beberapa prajurit dan kawal penduduk hingga sampai ke Tundurn.”
“Tidak! Tobias bisa melakukannya!” Aelina menunjuk ke pengawal kepercayaannya. “Aku tidak akan meninggalkan Eelry. Aku akan berjuang bersama kalian!”
Wyliame menarik nafas panjang, sudah bisa menebak jawaban anaknya. Kekerasan kepala Aelina adalah satu satu watak yang disukai dan juga di benci Wyliam dari putrinya.
“Aelina—“
“Yang Mulia! Tolong, jangan perintahkan aku untuk meninggalkan Kerajaanku sendiri. Jika Eelry jatuh, maka aku akan jatuh bersamanya. Di darahku mengalir darah pejuang Eelry. Sudah sepantasnya aku mengucurkannya untuk Eelry.”
Wajah Aelina memerah berusaha menahan amarah yang sebenarnya lebih ditujukan kepada Gregory Kane daripada ayahnya. Ia tidak paham akan keinginan Raja Illia itu untuk menguasai Eelry yang sebenarnya tidak memiliki sumberdaya alam apa-apa dan tidak menarik untuk dikuasai. Selama bertahun-tahun Eelry hidup dengan damai. Tanpa peperangan. Mengapa kini muncul berita bahwa Gregory berniat menyatukan Dataran Hijau dibawah kekuasaannya?
Hal itu tentu saja membuat Aelina khawatir. Kurangnya pengalaman dalam berperang, membuat pasukan militer Eelry lemah. Selama ini mereka hanya mengandalkan kekuatan dari pasukan raksasa yang dipimpin Trolgar untuk bertahan.
Wyliame menoleh ke arah Trolgar sebelum menjawab.
“Bagaimana menurutmu Trolgar? Kau lah yang pernah berhadapan dengan Irukandji sebelumnya. Sekuat apakah mahkluk itu?”
Trolgar mengelus jenggot panjangnya sambil berusaha mengingat kejadian yang terasa sudah terhapus dalam kenangannya. Troll adalah mahkluk yang simpel. Mereka melihat segalanya dalam dua warna hitam dan putih. Benar dan salah. Trolgar terpikat pada kebijaksanaan Wyliame, yang kemudian menjadi alasannya untuk setia pada Eelry selama ini.
“Sudah lama sekali kejadiannya, Yang Mulia. Diumurku yang panjang ini, aku hanya pernah bertemu dengan mahkluk semacam Irukandji sekali. Tapi… jika memang mahkluk itu yang datang… aku pun mungkin tidak akan sanggup menghentikannya.”
Wyliame menyandarkan punggugnya ke belakang.
“Sekuat itukah?” balasnya pelan.
“Mereka adalah mahkluk yang tidak memiliki rasa takut. Mereka akan mati-matian menjalankan perintah Peri nya. Yang pernah kutemui adalah pelindung Peri Api. Entah siapa namanya, ”
“Jadi ada lebih dari satu Irukandji?” Aelina memotong ucapan Trolgar.
“Irukandji hanyalah nama yang diberikan oleh manusia untuk memanggil pelindung Peri Air. Masih ada tiga mahkluk berbeda lainnya. Masing-masing bertugas menjaga Peri Api, Peri Tanah, dan Peri Udara. Ke empatnya adalah penguasa di dunia ini, sebelum manusia mengusir ke empatnya,” jelas Trolgar.
Raksasa itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Saran saya. Bagaimana bila kita semua mengungsi ke pegunungan. Biarkan Eelry jatuh ke tangan Illia. Kita masih bisa—“
BRAKKK!!!
Aelina menggebrak meja memotong ucapan Trolgar.
“Para pengecut!!” desisnya. “Lakukan yang bisa kalian lakukan dari dulu ketika hal menjadi terlalu berbahaya, Trolgar. Kabur …”
“Aelina!” gertak Wyliame. “Trolgar sudah banyak mengorbankan pasukannya untuk membantu kita. Jika bukan karenanya Eelry pasti sudah jatuh ke tangan Illia atau Venzor sejak lama.”
Wyliame lalu menoleh menatap Panglima Raksasanya.
“Tapi aku setuju dengan putriku, kita tidak akan kabur. Jika ini adalah akhir dari Eelry, maka aku akan jatuh bersamanya.”
Raja itu mendongakkan kepalanya ke arah putrinya. “Aelina, atur pengungsian. Jika dirimu bersikeras untuk tinggal, aku tidak bisa menghalangi. Tapi pastikan Tobias mampu mengantarkan penduduk Eelry dengan selamat melintasi hutan menuju pegunungan Tundurn. Dan Trolgar, jika kau ingin ikut bersama Tobias, aku paham.”
Mendengar perkataan Wyliame, Trolgar langsung menekuk satu lututnya kelantai.
“Kami mungkin bangsa yang hampir punah, tapi kami bukan bangsa pengecut. Aku sudah bersumpah menjaga Eelry, dan aku berencana untuk menepati janjiku. Aku dan pasukanku akan bertahan berjuang bersandingan dengan prajurit Eelry. Selama yang kami mampu.”