The Ice Man

1523 Words
            Dunia seolah berhenti berputar saat itu juga bagi Freya. Ia sudah tamat. Harga dirinya jatuh sudah, jatuh sedalam-dalamnya sampai lapisan tanah ke tujuh. Hening, tak ada tanggapan apapun dari Pak Reza. Jadi perlahan-lahan Freya membuka matanya. Sekarang ia hanya harus minta maaf dan mengatakan kalau itu hanyalah tantangan ToD semata,             Namun, betapa kagetnya dia saat membuka matanya. Ia mendapati Pak Reza tak lagi di depannya. Laki-laki itu tampak sedang berbincang dengan ayahnya tak jauh dari tempatnya berdiri.             Jadi sedari tadi gue ngomong sama angin?             Paling tidak kini ia bisa lega karena menyadari harga dirinya masih utuh. Pak Reza tidak mendengar apa yang ia ucapkan barusan karena sedang ngobrol dengan ayahnya.             “Freya!”             Deggg             Gadis itu menoleh dengan cepat. Ayahnya memberi isyarat untuk mendekat. Ia bisa mencium aroma sesuatu yang buruk bakal terjadi.             “Ada apa, Pak?” tanya Freya setelah mendekat.             “Kamu bilang apa sama Pak Reza tadi? Kalian berdua ada hubungan apa? Cepat jelaskan!”             Glekk             Kalau Papah denger ucapan gue barusan, berarti Pak Reza juga dong. Freya menggigit bibirnya panik.             “Sa-saya tidak bilang apa-apa kok. Itu hanya...”             “Ooh, jadi selama ini kalian berdua menjalin hubungan khusus lebih daripada hubungan dosen dan mahasiswa.” Pak Farhan langsung mengambil kesimpulan dengan geram sebelum Freya menuntaskan kalimatnya. Freya semakin panik.             “Kami nggak ada hubungan khusus. Ya kan, Pak?” Freya meminta dukungan Pak Reza tapi sepertinya laki-laki itu hanya cuek tanpa berusaha menyangkal sedikitpun.             Freya menghentakkan kakinya kesal. “Kok Bapak nggak ikut menyangkal sih? Ayo dong Pak. Bukannya Bapak biasanya paling jago menyanggah kok sekarang malah diam saja? Kita lagi kena fitnah nih!”             “Maafkan kami.” Pak Reza akhirnya buka suara, tapi tidak seperti yang diharapkan Freya. “Maafkan kami. Hal seperti ini saya pastikan tidak akan terulang lagi.”             Freya melotot tak habis pikir. “Kok Bapak malah minta maaf sih? Kita kan memang nggak ada hubungan apapun!”             “Cukup Freya!” Gertak Pak Farhan.             Freya memandang ayahnya takut. Pak Farhan melihat sekitar untuk memastikan tak ada orang lain ketika ia memarahi Freya sore ini.             “Papah nggak mau kamu buat skandal di kampus yang suci ini. Nama baik Papah, Pak Reza, juga universitas bisa tercoreng gara-gara tindakan ceroboh kamu!”             “Tapi, Pah. Freya kan hanya....”             “Apalagi kamu ini masih berstatus mahasiswa, Freya. Bisa-bisa kamu difitnah menggoda dosen untuk mengambil keuntungan!”             Freya menjambak rambutnya frustasi. “Justru Papah yang ngefitnah Freya, gimana sih!”             “Tidak apa-apa kalau kalian benar-benar saling mencintai. Papa malah lebih suka kalau kalian menjalani hubungan yang sah dan tidak sembunyi-sembunyi. Nha, lebih baik kita pulang dan bicarakan pertunangan di rumah!”             Sabda ayahnya bagaikan petir yang menyambar kepala Freya. Pertunangan? Dengan dosen killer yang sebelas duabelas dengan ayahnya? Dosen killer yang selama ini menjadi bahan kejulidannya. Lengkap sudah penderitaan Freya hari ini.             “Pah, nggak bisa gitu dong, Masak gini aja harus tunangan sih. Freya kan masih mau lanjut S2!” gadis itu tidak terima.             “Malah bagus kan? Pak Reza bisa membantumu belajar untuk mendapatkan beasiswa S2!”             Pak Farhan langsung pergi dengan mengendarai mobilnya. Freya dan Pak Reza ditinggal begitu saja. Arghhh, sialan! *** “Dasar ToD maut! ToD berbuah petaka!” Freya tak hentinya menyumpahi permainana ToD siang tadi. Ayahnya benar-benar menganggap serius ungkapan cinta Freya pada Pak Reza dan bahkan malam ini orang tua Pak Reza akan berkunjung ke rumahnya. “Fre, jangan ditarik-tarik dong dandanannya. Kakak kan udah susah-susah ngerias kamu!” ujar Fanya, kakak perempuannya. “Biarin aja, kalau orang tua Pak Reza tahu Freya sedikit nggak waras pasti mereka langsung batalin pertunangannya!” “Hushh!!! Jangan gitu ah. Kak Reza itu baik kok, cuman emang agak kaku aja. Percaya deh sama kakak, dia dulu kan katingnya Kak Fanya.” Kakaknya berusaha menghibur tapi tidak berpengaruh sama sekali dengan mood Freya. “Tauk ah, pusing!” Tak lama kemudian bel rumahnya berbunyi. Kak Fanya segera menggandeng Freya untuk turun. “Senyum dong.” Freya menaikkan sebelah bibirnya. “Senyum yang ikhlas. Awas kalau kayak gitu ntar nggak bisa balik lho!” Freya duduk di sofa, sebelahnya Papah. Ia duduk dengan tak nyaman. Pikirannya tak karuan. Bahkan kini perutnya mendadak melilit persis ketika ia akan maju presentasi di depan kelas. Sementara itu Kak Fanya duduk di samping suaminya. Malam ini Pak Reza tampak rapi dengan kemeja berwarna navy. Ia benar-benar datang bersama kedua orang tuanya dan betapa shocknya Freya saat melihat sosok ayah Pak Reza. “Pak Rektor!” pekik Freya lalu membekap mulutnya sendiri. Pasalnya, rektor di universitas Freya terkenal ramah dan gokil. Begimana bisa anaknya dingin kayak es batu seperti Pak Reza. “Selamat malam,” sapa ayah Pak Reza  ramah. Freya segera menjabat dan mencium tangan rektornya. Ia benar-benar merasa terhormat bisa bersalaman dengan Pak Rektor mengingat Freya bukan salah satu mahasiswi berprestasi dan ia bahkan juga belum wisuda. Selanjutnya, Freya lebih banyak diam saat membahas acara lamaran itu. Hanya para orang tua yang saling berembug dan mengusulkan pendapat. Freya udah merasa seperti patung penghias ruangan saja. Sesekali ia melirik Pak Reza yang tampak duduk dengan tenang. Pak Reza bahkan juga mengeluarkan pendapatnya, terlihat sangat dewasa di mata Freya. Apaan sih. Sekali es batu tetap es batu! Freya menepuk pipinya sendiri. “Kalau begitu acara tukar cincinnya bisa dilakukan minggu depan. Bagaimana?” usul Papah. “Lebih cepat lebih baik,” sahut ibu Pak Reza. “Saya rasa tidak perlu mewah dan besar-besaran, yang penting semua sanak famili bisa hadir,” sambung Mamah yang langsung disambut anggukan setuju dari ibu Pak Reza. Freya menghembuskan napas berat. Pasrah dengan nasibnya. Jelas sudah bahwa ia akan menghabiskan sisa umurnya dengan manusia es itu. *** Pagi ini Freya sengaja ke kampus lebih awal untuk bimbingan. Ia mengendap-endap di jendela berharap seseorang juga sedang bimbingan di ruangan Pak Reza. Jadi, ia tidak sendirian jika harus kena amuk Pak Reza karena skripsinya yang amburadul. Sayangnya, ia memang sendirian. Lagipula sudah kepalang tanggung karena Pak Reza sudah melihat kepalanya dari balik jendela dan memberinya isyarat untuk segera masuk. Freya duduk di kursi lalu dengan hati berdebar-debar menyerahkan proposal skripsinya yang sudah ia buat sekuat tenaga serta menghabiskan terlalu banyak chakranya. Pak Reza hanya membaca judul itu sekilas dan langsung terdengar suara sreeeettt panjang dari pulpennya. Sakiittt... “Tidak usah pakai in the academic year of 2018/2019 di judul!” ujarnya dingin tanpa menatap Freya. “Baik Pak.” “Kenapa kamu tidak gunakan bahasa baku? Kamu pikir Bahasa Indonesia saja yang punya bahasa baku? Kamu pikir skripsi ini lirik lagu?” Pak Reza mencoret-coret skripsinya lagi. “Lain kali gunakan only bukan just.” “Maaf Pak.” “Background of the problem kamu masih terlalu luas dan juga jangan terlalu banyak menggunakan kata the researcher!” komentarnya dingin. Baru bimbingan aja udah nyiksa, gimana kalau gue jadi istrinya ya lord. “Lihat ini, problem identification dan limitation of the problem kamu perlu direvisi. Significance of the problem juga perlu ditambah!” Pak Reza lalu membuat beberapa catatan yang lebih mirip oret-oretan anak balita di proposal Freya. Freya bahkan tidak yakin ia bisa membaca kembali catatan yang ditulis Pak Reza nantinya. “Structure kamu masih amburadul. Nilai grammar kamu berapa sih?” Ini dosen emang lupa apa sengaja ngehina sih? Bukannya dia yang ngasih nilai D sampai gue nge repeat dis emester khusus kemarin! “Ya sudah, segera direvisi. Besok lusa kembali menghadap saya.” Pak Reza mengembalikan proposal Freya yang sudah penuh dengan coret-coretannya bersamaan dengan debit card yang ia selipkan di atasnya. “Ini apa Pak?” tanya Freya sambil mengamati kartu itu. “Itu debit card.” “Saya bingung, bukannya nggak tahu ini benda apa!” tukas Freya kesal. “Beli saja cincin yang kamu suka. Saya nggak bisa nganter kamu. Sore nanti saya ngajar bimbingan TOEFL di P2B LPPMP.” Whattsss? Dia waras? Dasar es batu. Mana ada pihak cewek yang harus beli cincin, sendirian pula. Dia niat nikahin gue nggak sih woy plis! “Tapi, saya kan nggak tahu ukuran cincin Bapak.” Pak Reza mengambil selembar sticky note dari mejanya lalu menuliskan sesuatu. “Kamu bisa beli di sini, saya sudah tulis alamatnya. Salah satu karyawannya adalah teman saya.” Freya menerima sticky note itu dan membungkuk berpamitan. “Oh ya sebentar,” sahut Pak Reza. Freya menoleh kembali dan mendapati Pak Reza yang sudah bersiap untuk mengajar. “Ada apa, Pak?” “Kartu itu jangan sampai hilang! Jangan gunakan untuk beli hal lain! Jangan lupa juga untuk menyerahkan nota pembeliannya pada saya! Sekalian suruh buat LPJ! Pak Reza segera berlalu. Sementara itu Freya baru teringat sesuatu yang penting. “Tunggu Pak. Nomor pinnya berapa nih?” *** Freya melihat koleksi cincin di toko yang dimaksud Pak Reza. Benar saja, saat ia menyebutkan nama Pak Reza, karyawan toko itu langsung paham dan mengambilkan beberapa koleksi cincin couple. Rupanya kemarin Pak Reza sudah mengukur ukuran cincinnya sendiri, ia juga bertanya ukuran cincin Freya pada Mamah karena semua cincin yang disodorkan karyawan itu sangat pas di jari manisnya. Mau romantis aja kok susah! “Jadi yang mana, Kak?” tanya karyawan itu. Freya berdeham. “Yang ini, ini, sama ini kira-kira paling mahal yang mana ya, Kak?” tanya Freya. Karyawan itu mengambil salah satu cincin. “Ini adalah yang paling mahal, permatanya dari batu safir asli dan desainer cincin ini adalah salah satu desainer yang diberi kepercayaan untuk mendesain mahkota keluarga kerajaan Inggris.” Freya tersenyum penuh arti. “Saya ambil yang paling mahal, Kak.” Rasain, rasain, rasain. Siapa yang nyuruh gue beli cincin sendiri! Tiba-tiba suara dentingan piano Canon in D terdengar dari tasnya. Freya mengorek isi tas itu, hartinya mendadak ngilu saat melihat nama pemanggil yang tertera di layarnya. “Halo, Dannis.” “Halo, Fre. How’s life?” Suara dannis terdengar serak dari seberang. “Better without you. Why?” “Kamu dimana? Masih di kampus? Aku jemput ya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” sahut Dannis dari seberang. “What do you want?” “Ayo kita bicara dulu, Baby.” “Gue gaada waktu. Kalau gak ada yang penting gue tutup nih telfonnya!” tukas Freya kesal. “Wait, wait. Please forgive me, Baby. Aku pengen kita balik kayak dulu lagi. Aku nyesel putus sama kamu. Kamu mau kan ngasih aku kesempatan lagi?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD