Malam harinya di hari yang sama. Ruang rapat di lantai dua puluh satu tengah dicekam oleh ketegangan yang luar biasa. Tidak seperti biasa di mana sang chief Ao memasuki ruangan yang cukup besar itu dengan wajah yang tampak ditekuk beberapa kali. Ia duduki kursinya dengan raut kesal maksi. Menatap semua anggota yang sedang duduk anteng tak mau cari ribut di sana dengan aroma permusuhan yang sangat kental.
“Seseorang mendatangiku di sekolah kemarin. Apa itu ada hubungannya dengan kalian?” tanya Ao.
Wedding Nehl menjawab, “Benar.”
Keenam temannya langsung menengok dan menghardik dalam hati, bodoh sekali, untuk apa langsung menjawab seperti itu.
Wedding melanjutkan seolah tak miliki ketakutan, “Friederich sama yang meminta kami lakukan semua itu. Sedikit sulit membuka cabang organisasi ini di Jepang yang konservatif. Friederich sama adalah sosok yang telah memuluskan langkah dan banyak beri bantua pada kita selama ini. Sudah sepantasnya kami membalas kebaikan tersebut.”
“Benar, Chief Ao,” tambah Himeji, “Akihara jadi anggota IQCI bersamaan dengan Anda. Jadi, kami pikir tidak masalah.”
“Aku rasa kalian tahu kalau Akihara dimasukkan kemari oleh Ayah untuk mengawasiku. Sekarang kalian malah buat dia terus menempel di sisiku bahkan saat sekolah dan kehidupan normalku saat jadi anak SMA biasa. Agen kelas rendah seperti dia.” Ao melepas kacamatanya dan menunjuk ketujuh pria itu dengan jari tengah dan tampang yang sangat pongah. “Apa yang kalian inginkan sebenarnya?” ia bertanya dengan nada bicara berat penuh intimidasi. Ketujuh, tidak, keenam pria di sana seperti tidak melihat sosok Ao. Memang hanya Wedding yang memahami Ao baik dari luar maupun dari dalam.
Sonda dengan gugup berusaha menjelaskan, “Sebenarnya…”
“Atau kalian semua juga sudah menaruh rasa curiga terhadapku?” tanya Ao lagi dengan tatapan yang makin sinis.
Meski kedua mata Ao masih menatap mereka tajam. Sonda tetap melanjutkan kalimatnya dengan lantang. “Tidak, Chief Ao. Dengarkan kami!”
Tatapan Ao semakin tajam.
“Ini semua perintah Master. Master yang meminta kami untuk mengawasi dirimu. Saat rapat beberapa hari yang lalu usai dan kau meninggalkan ruangan ini seorang pegawai datang mengantarkan sebuah pesan video dari Master. Perintahnya untuk melakukan ini semua.”
Ao menutupi mulutnya yang spontan terbuka. Ia melangkah mundur-mundur hingga menabrak dinding. Ia tak bersedih. Tapi, air matanya menetes dengan deras. “Tidak mungkin… tidak mungkin… semua itu tidak mungkin… sangat mustahil…!!!”
Wedding langsung berlari keluar dari mejanya. Ia terlihat sangat khawatir. “Ao kun, Ao kun?!”
Mustahil. Diriku sendiri mencurigaiku? Tidak, dia bukan aku. Mustahil. Mustahil. Mustahil. “Kalian pasti bohong…”
Sonda berteriak lantang dari kursinya, “Aku tidak bohong. Tujuh pasang mata dan telinga kami adalah saksinya.”
“Diam, Akihiru san!” Ia kembali menatap Ao yang tubuhnya terjatuh di lantai. Tak berdaya. “Ao Kun, jangan dengarkan dia.”
Ao terjatuh tak sadarkan diri beberapa saat kemudian. Tak urung dirinya langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Suhu tubuhnya melonjak tinggi. Detak jantungnya melemah. Kulitnya yang seputih lilin memucat. Dirinya yang selalu hangat kini dingin.
Di bangku yang berjejer di depan ICU. Ketujuh pria itu mengganti dari ‘rapat’ menjadi ‘obrolan’.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Tomomi dengan raut cemas. Tanpa Ao ketahui. Sebenarnya dirinya yang merupakan anggota Majelis Tingkat Tinggi Jepang adalah saudara sepupu berjarak tiga keturunan dengan Kazuki Ryukamine. Tak ayal selama ini ia telah mengaggap Ao sebagai putranya sendiri. Apalagi di usianya yang keempat puluh enam tahun ia masih belum berkeluarga.
“Aku akan mengatakan yang sesungguhnya pada kalian.” Ucapan Wedding membekukan situasi diantara mereka. Merasakan bahwa suara detak jantung terdengar begitu kencang. Merasakan aliran darah menggesek pembuluh. Merasakan begitu berharganya nafas. Karena tak ada yang tahu hingga kapan nafasnya dapat terhembus.
“Apa?” tanya seorang dari mereka.
“Ao kun…” Ucapan bak diucapkan di suatu kedalaman gua. Terdengar begitu kencang. Dan menggema.“…adalah Master.”
Ucapan bak kiriman dari neverland. Dari negeri yang tak pernah ada. Ucapan terdengar bagai khayalan. Semakin lama berpikir ucapan Wedding terdengar bagai sebuah lawakan. Keenamnya terdiam dalam masing-masing pikiran. Mengusahakan putaran terhebat untuk mencerna ucapan Wedding hingga lumat.
“Tolong tunggu sebentar!” sergah Jun yang paling cepat tersadar dari semua situasi tak menguntungkan itu.
“Kalian pasti ingin menanyakan bagaimana mungkin. Bagaimana bisa.” Beberapa masih tertelan oleh alam bawah sadarnya. Tak ada yang menjawab.“ Ia adalah satu-satunya korban yang selamat dari peristiwa p*********n s***s di sebuah gereja Katolik tiga tahun lalu. Bersamaan dengan itu kasus-kasus kematian yang misterius sudah dimulai. Tapi, belum separah sekarang. Dulu aku adalah polisi yang menyelidiki kasus p*********n itu.”
Saat aku membuka pintu yang tertutup itu terdapat seorang anak di dalamnya. Matanya hampa dan kosong. Ia memandangi benda bercahaya di tangannya. Sebuah rosario yang memantulkan cahaya pagi.
“Setelah itu kami mencari data dirinya dari arsip gereja dan menghubungi suatu nomor yang kiranya dapat menghubungkan kami dengan orangtua kandung anak itu.”
“Aku tidak kenal dengan kalian semua!”
“Tapi, Ao tidak mengakui hal itu. Sebagai gantinya ia meminta pada kami untuk memasukkannya kedalam Divisi Penyelidikan yang secara khusus mengusut kasus kematian itu. Dalam pikiran kami pasti ada jawaban logika untuk semua ini. Tapi, berbeda dengan dirinya. Ia menggolongkan semua kematian itu sebagai Queer Case dan mengajukan permohonan untuk mendirikan IQCI atau International Queer Case Investigation yang mana miliki misi khusus untuk menyelidiki berbagai macam kasus aneh serta misterius di seluruh dunia. Tapi, karena ia khawatir dengan statusnya yang secara usia masih anak di bawah umur. Akhirnya ia pun memilih untuk menggunakan samaran sebagai Master selama ini,” lanjut pria itu.
Yazae mulai memahami ucapan Wedding. Berkata, “Jadi… yang kau maksud adalah bahwa selama Master dan Chief Ao sesungguhnya adalah 1 orang yang sama?” ia bertanya.
Wedding tak menjawab. Berharap keenam temannya telah memahami maksud kediaman itu tanpa tambahan kata. “Ini adalah informasi yang tidak boleh diketahui oleh staf lain dan hanya diketahui oleh para petinggi. Aku harap kalian tidak mengungkit ini di depan Ao kun. Ia bisa merasa sangat takut.”
Keenam pria itu berkata bersamaan, “Ia takut pada dirinya sendiri. Ia membohongi kenyataan. Kehilangan fragmen jiwanya.”
“Tepat sekali,” sahut Wedding.
Wedding melihat ke pintu Intensive Care Unit. Masalah kejiwaan yang Ao alami selama ini sendiri sudah cukup parah. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak remaja malang dengan kehidupan yang cukup rumit itu. Jika terjadi sesuatu pada Ao maka Shuuya akan bersedih. Shuuya. Keponakannya sendiri.