Menurut pandangan seluruh siswa di Hakuseki Gakuen: ia adalah anak yang aneh. Berkacamata tebal. Namanya aneh. Ia juga menggunakan seragam yang lengannya dipanjangkan dan kerah atas kemeja yang terbuka. Mungkin ia memang pintar. Tapi, masalah mencari teman ia payah. Hanya ada satu orang yang bersedia menjadi temannya: ia adalah orang yang merasa tidak puas dengan dunia. Ia memiliki ambisi untuk menghapuskan peradaban manusia yang tak lolos seleksi alam.
Itu adalah sekilas gambaran tentang Ryukamine Ao dan Hashimoto Shuuya. Dua manusia yang berbeda. Yang menganggap satu sama lainnya berharga.
“Shuuya san, aku sangat senang,” kata Kana sambil memeluk lengan Shuuya mesra. Mereka berdua tengah berjalan-jalan di taman atap sekolah.
“Aku tidak peduli. Tapi, sejak tadi anak-anak lain memperhatikan kita. Lagipula gosipku yang dekat dengan Hatsuka Akane belum selesai. Jangan sampai aku direpotkan dengan gosip kedekatanku dengan keponakan pemilik perusahaan surat kabar infotainment paling terkenal di Jepang,” protes Shuuya.
Sebagai publik figur. Aku memang telah terdidik untuk menghadapi ancaman murahan macam ini. Tapi, tidak. Aku tak punya waktu memikirkan hal lain. Lebih baik aku ikuti permainan perempuan ini sampai Erick berhasil membuatnya pantas mati.
Bayangan ucapan Erick saat pertama mereka bertemu terlintas dalam pikirannya.
“Seorang Shinigami tidak boleh mencabut nyawa manusia berdasarkan emosi.”
Ah, s**l. Aku sudah tahu, kok. Hidupku tengah mengalami transformasi dari manusia biasa menjadi sosok penguasa kematian. Seorang dewa. Aku tahu aku lebih baik dari siapa pun dalam memutuskan kehilangan. Aku akan mengatur setiap kematian di dunia agar tak ada seorang pun yang merasakannya. Karena aku tahu kehilangan itu sangat menyedihkan. Karena itu akulah yang akan memenangkan seleksi ini.
Tiba-tiba seorang pemuda berambut pirang berlari cepat menujunya. “Shuuya san,” panggilnya.
“William kun? Ada apa?” tanya Shuuya.
“Di koran ada berita Masuka Inoue dan Takato Soichirou kemarin meninggal karena kecelakaan mobil. Kecelakaan itu sangat parah. Tubuh Inoue san terjepit badan mobil hingga tidak berbentuk lagi. Sementara tubuh Soichirou san terlempar ke mesin penghancur sampah hingga wujudnya… tak dapat dikenali lagi.” William memegang kedua pergelangan tangan Shuuya. “Shuuya san bagaimana ini? Ini pasti perbuatan Rieki Shinmei. Setelah itu kita yang akan kehilangan nyawa.”
Shuuya melepasnya. “Bicara apa kau? Itu kan hanya kecelakaan biasa. Itu bisa terjadi pada semua orang.”
“Ta, Tapi ini tidak wajar!” kukuh William.
“Asal kau tahu saja. Di dunia ini tidak ada kematian yang wajar.”
William menunjukkan layar handphone-nya pada Shuuya. Menunjukkan dua pesan yang dikirim padanya sebelum kematian mereka.
“Lihat! Lihatlah ini!”
“Kita adalah orang jahat yang tak pantas hidup.”
“Ini bukan kecelakaan biasa. Ini pasti disengaja. Dan jika dibandingkan dengan kematian yang banyak terjadi di Jepang adalah karena henti nafas ini terlalu mengerikan. Mereka seperti dikendalikan.”
Shuuya melihat pesan itu dengan raut cemas. “Masuk akal. Lalu, apa maksudmu?” tanyanya.
“Aku mencurigai Ryukamine ada di balik semua ini,” bisiknya.
“Jangan main-main.”
“Percayalah padaku. Setelah ini kita yang akan dibunuh.”
Shuuya menampik tangan William kasar. “Berhenti menjelek-jelekkan Ao kun!”
“A, Aku memiliki indera keenam. Aku bisa merasakan sejak awal. Ada yang tak beres dengan sekolah ini. Sembilan puluh sembilan persen. Aku bisa jamin bahwa terdapat Rieki Shinmei di antara murid-murid Hakuseki Gakuen.”
Shuuya melihat William sinis. A, Anak ini?
Tiba-tiba sekelompok anak yang melewati mereka berbincang mengenai berita yang baru saja mereka ketahui dari koran online.
“Kau tahu? Suster bernama Tsugumi Hida yang terkenal karena peran aktifnya dalam penanganan kasus HIV itu kemarin bunuh diri.”
“Benar. Menenggak spiritus kan?”
“Cara menghabisi diri sendiri yang sungguh tidak waras.”
Wajah William semakin pucat. Kana terlihat khawatir dan mengencangkan pegangannya pada lengan Shuuya.
“Kontraktor yang sedang membangun area pertokoan juga mati karena tubuhnya yang jatuh tersangkut pada kerangka bangunan. Keadaannya sangat mengerikan.”
“Aku sudah tahu. Masuda Ishito, 'kan?”
Nafas Shuuya tertahan. Keringat menetes perlahan melewati pelipisnya.
Shuuya melepaskan tangan Kana. Ia berlari menuju tangga dengan menggandeng lengan William. Meninggalkan Kana yang kemudian tersenyum sinis.
Di perbatasan antar tangga. William mendorong tubuh Shuuya di dinding.
“Kau lihat itu?! Rieki Shinmei selanjutnya akan menghabisi kita! Aku yakin bahwa Ryukamine ada di balik semua ini,” kukuhnya.
Shuuya melepaskan tangan William. Ia menuruni tangga dengan merapat di dinding. Sebelah tangannya menutup mulut.“Aku jadi mual. Kita bicarakan lagi nanti.”
William melihat khawatir. Masihkah hingga esok ia dapat bernafas? Apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan kecurigaannya pada Senpai yang aneh itu?
Keadaan Shuuya di kamar mandi. Ia memuntahkan cairan bercampur lendir di wastafel. Kemudian ia menatap cermin. Cermin yang merefleksikan pantulan sempurna dirinya. Dirinya yang seorang selebritis terkenal. Dirinya yang seorang Hashimoto Shuuya. Dirinya yang merupakan Rieki Shinmei yang gemar mencabut nyawa targetnya dengan cara yang tidak biasa.
“HWAHAHAHA!!!! Kalian memang pantas mati. Kematian kalian akan sangat berguna untuk score-ku. Kalian memang tidak pantas hidup.”
Tidak ada yang bisa menghalangiku. Keinginanku. Impianku akan kematian yang indah! Kehilangan yang berarti!
Shuuya pun kembali ke kelas. Menemui sahabatnya. Orang yang akan membuatnya melakukan apa pun.
“Hashimoto-san, apa kau sudah dengar kabar itu?” tanya Ao.
“Sudah,” jawab Shuuya.
“A, aku tidak tahu apa pun. Sudah kukatakan aku hanya suruhan. Mereka bukan mati karena aku. Apa yang terjadi? Apa yang akan dikatakan oleh Master jika begini? Yang paling gawat. Bagaimana jika ia sampai mengincarku?” gundah Ao.
“Tidak akan.”
“Hashimoto san?”
Sepulang sekolah. Di kelas 2 - 4 Hakuseki Gakuen. Kelas tempat Shuuya dan Ao menuntut ilmu. Kelas di sore hari yang mulai sepi. Meninggalkan kedua sahabat itu untuk obrolan yang “biasa”.
“Apa William menemuimu?” tanya Shuuya.
“Tidak,” jawab Ao.
“Ayo cepat kembali,” ajak Shuuya.
“Hari ini aku tidak bisa pulang bersamamu. Aku sangat minta maaf. Setelah ini aku… ada urusan. Tidak bisa ditunda lagi,” beritahu Ao.
“Urusan dengan IQCI? Apa kau masih mencurigaiku?” tanya Shuuya.
“Sudah kubilang. Bukan.” Wajah gugup Ao bersemu merah. Ia sangat khawatir kakaknya salah paham.
“Aku sudah tahu siapa kau.”
“Sudah kukatakan aku hanya suruhan! Aku suruhan dari agen yang sesungguhnya. Aku tak punya pilihan lain jika ingin bertahan hidup!” teriak Ao.
“Lalu apakah itu memberimu alasan untuk mengkhianati kepercayaanku? Menyelidikiku? Mencurigaiku? Mengecewakanku?!!!” teriaknya sambil menudingkan telunjuk di depan wajah Ao. Wajah gugup yang suci. Wajah gugup yang tak bersalah.
Setelahnya Shuuya menggebrak meja dan meninggalkan kelas. Meninggalkan Ao. Punggung pemuda berkacamata itu jatuh menggesek dinding. Dilihatnya bayangan dinding yang jatuh pada lantai. Warnanya jingga. Sayang perasaannya tak secerah cuaca hari itu. Ini pertama kalinya mereka berselisih. Ia merasa sangat bersalah. Air mata tiba-tiba merembes dari pelupuk matanya.
“Maafkan aku… Nii san.”
Adakah? Manusia yang kau anggap tidak pantas hidup di dunia ini?