Part 10 Kecewa
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku.
Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah.
"Sejak kapan, Mas, di sini?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?"
Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya.
"Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung.
Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya.
"Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat.
"Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calon anak kita."
Apakah aku harus percaya ucapan penyesalannya? Sementara dulu ia tidak antusias saat aku mengandung anak pertama kami. Lalu sekarang, kenapa dia begitu tampak kehilangan. Genggamannya kulepaskan.
"Kata Miya sudah dua bulan, ya?"
"Hmm."
Aku meraih botol air mineral untuk minum. Dengan cepat Mas Ilham membantuku. Setelah itu perlahan aku turun dari brankar.
"Mau ke mana?" tanya Mas Ilham sambil berjaga agak aku tidak jatuh.
"Aku mau mandi."
"Kamu bisa sendiri?"
Kujawab dengan anggukan kepala. Dia mengantar sampai depan pintu kamar mandi.
Di dalam sana bukannya aku segera mandi, tapi bersandar pada dinding dan menangis. Sisi hatiku yang lain ingin mempercayai bahwa hubungan ini pasti akan membaik, sedangkan sisi hati yang lain berontak. Bagaimana kalau Mas Ilham seperti ayahku dulu. Diam-diam meniduri selingkuhannya hingga hamil. Bukankah awalnya Mas Ilham sama perempuan itu memang saling mencintai? Cinta mereka berakhir karena terhalang restu. Bukan karena ketidak cocokan seperti yang dia katakan dulu.
Jika cinta telah mengambil peran, maka dilemanya tidak berkesudahan.
"Vi, kamu tidak apa-apa, 'kan?" teriak Mas Ilham sambil mengetuk pintu.
"Enggak," jawabku lemah.
Terpaksa aku mandi tanpa ganti baju. Yang sekarang kupakai ini bajunya Miya. Dia masih sempat membawakan aku pakaiannya, sebelum mengantar ke klinik. Untung juga tadi Miya sempat membelikan celana dalam sekali pakai dan pembalut. Mandi hanya sebentar, karena kebanyakan merenung.
Mas Ilham kembali memapahku ke brankar.
"Habis ini nanti, Mas ambilkan baju ganti dan beli makan."
"Enggak usah repot-repot. Besok pagi aku sudah boleh pulang. Mas, pulang saja. Aku sudah enggak apa-apa."
Rona kecewa tampak di wajahnya. Dia merasa kalau ucapanku baru saja seperti sedang mengusir secara pelan.
"Mau makan roti, tadi Mas belikan di kantin klinik."
Aku menggeleng.
Hingga malam Mas Ilham tidak pulang. Dia mandi di klinik dan kembali memakai baju kerjanya tadi siang. Kemeja warna navy dan celana bahan warna hitam.
Jam tujuh tadi Miya dan suaminya datang.
"Maaf, kalau aku memberitahu Mas Ilham, Vi. Karena kamu butuh teman. Tadi aku minta bantuan suster untuk full menjagamu tapi tidak ada suster yang longgar. Karena ini klinik bukan rumah sakit. Jadi tenaga perawat terbatas."
"Ya, enggak apa-apa. Maaf, aku merepotkanmu."
"Enggak usah bilang begitu. Kita ini sudah seperti saudara. Apa Ibu sudah kamu kabari?"
"Belum. Tadi sempat telepon, aku bilang lagi nginap di rumahmu. Nanti pulang saja aku kasih tahu."
Miya memelukku sebelum pamitan pulang tadi.
"Makan dulu, ya. Mas suapi. Tadi kamu makan cuman sedikit," kata Mas Ilham sambil meraih nasi kotak di meja.
"Aku sudah kenyang."
"Mau buah?"
"Enggak, terima kasih."
Mas Ilham meletakkan kembali kotak nasi di atas meja. Kemudian menggeser kursi lebih mendekati brankar.
"Mas tadi sudah bertemu sama dokter, besok pagi kita sudah boleh pulang."
Aku mengangguk.
"Kita pulang ke rumah, ya? Nanti setelah Syifa pulang liburan kita jemput dia."
"Aku pulang ke rumah Ibu saja."
Mas Ilham mengangguk pasrah meski terlihat kecewa. Kutarik selimut dan tidur membelakanginya. "Aku tidur dulu, Mas."
Dia menyelimuti kakiku, kemudian mengusap punggung seperti lima tahun yang lalu ketika aku susah tidur saat masih menjadi pengantin baru.
Setelah lena panjangnya, dia baru melakukannya lagi sekarang.
Maaf Mas, saat ini bukan segaja aku abai atau bermain-main demi membalas sakit hati. Bukan aku mengada-ada melakukan ini agar kamu perjuangan. Aku hanya ingin bangkit setelah berani membuat keputusan pergi. Waktu lima tahun ini bukan masa yang singkat untuk Mas bermain hati.
* * *
Aku terjaga saat jarum jam menunjukkan pukul satu malam. Kulihat Mas Ilham tertidur di sofa. Badannya yang panjang tampak tersiksa meringkuk di sana.
Dia pasti kedinginan. Tanganku meraih remote untuk menaikkan suhu AC.
Aku memandang langit-langit ruangan. Ada bayangan Syifa di sana. Pasti dia lagi bersenang-senang dengan nenek dan teman-teman kecilnya.
Setiap kali kuajak menjenguk Ibu dari teman sekolahnya yang baru melahirkan, Syifa langsung mengajak pergi ke mall untuk membeli adik seperti adik temannya.
"Ayo, Ma, kita pergi ke mall beli adik seperti adiknya Sisi."
Aku tertawa mendengar ucapannya. Mas Ilham yang mendengar hanya tersenyum biasa. Padahal masa-masa seusia Syifa sedang lucu-lucunya. Rasa penasaran akan hal baru, menyebut sesuatu sebatas pemahamannya saja, dan pertanyaan yang kadang membuat geli tidak menarik perhatian Mas Ilham. Dia berinteraksi dengan caranya sendiri.
Sekarang dia bersedih saat aku keguguran, apa ini sandiwara, Mas?
Aku kembali memejam. Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Semuanya nanti hanya tinggal kenangan.
* * *
Dokter wanita berperawakan sedang itu tersenyum saat masuk ruang perawatanku. Di belakangnya ada suster yang mengikuti.
"Selamat pagi, Bu Vi Ananda. Selamat pagi Pak Ilham," sapanya ramah.
"Pagi, Dok," jawabku hampir bersamaan dengan Mas Ilham.
"Sudah lebih baik, 'kan, sekarang? Jangan lupa di minum obatnya, Bu. Biar cepat pulih dan lekas dapat dedek lagi."
Aku tersenyum menanggapi doa dokter setengah baya itu.
Hanya sebentar dokter itu visit, karena kondisiku secara medis sudah membaik. Tentang hati? Hanya aku yang tahu. Dokter dan perawat itu pasti menilai kegundahan kami hanya karena baru saja kehilangan calon anak.
Mas Ilham keluar untuk membereskan p********n. Ponselnya yang tertinggal di meja berpendar. Aku menahan diri untuk tidak melihat siapa yang menelepon. Cukuplah, aku tidak harus tahu lagi.
Aku membenahi jilbab milik Miya yang dibawakan kemarin. Mas Ilham menunggu sambil duduk di depanku.
"Mas, enggak masuk kerja hari ini?"
"Ini kan hari Sabtu, Vi. Sudah lupa, ya?"
Aku tersenyum. "Oh, iya, baru sebulan lebih saja sudah lupa," jawabku ringan.
Mas Ilham memandang dengan tatapan tidak suka. Mungkin kecewa, secepat ini aku lupa. Padahal sebenarnya aku berjuang untuk bisa melupakan kebersamaan kita lima tahun ini. Andai menjadi kenangan, biarlah kenangan yang tidak menyesakkan tiap aku mengingatnya.