Part 11 Rumah yang Sama

1039 Words
"Ayo, Mas!" ajakku sambil berdiri. "Kita pulang ke rumah dulu, ya. Mas, mau ganti baju." "Bukannya lebih baik Mas ngantar aku dulu. Nanti sekalian langsung pulang." "Mas mau nemenin kamu. Tidak ada siapa-siapa, 'kan, di rumah Ibu." "Aku sudah sehat, enggak usah ditemeni." Mas Ilham tidak menjawab, di ambilnya ponsel di nakas dan dimasukkan ke saku celananya dan meraih goodie bag besar berisi tas tangan dan baju kotor. Kemudian meraih lenganku untuk diajak keluar. Dari klinik ke rumah hanya butuh waktu dua puluh menit. Kami tidak membahas apa-apa di perjalanan. Hingga aku sampai kembali di rumah yang kami tempati lima tahun ini. Kami pindah ke sini setelah tiga bulan menikah. Sebelumnya kami tinggal di rumah Mamanya Mas Ilham, terkadang juga di rumah Ibu. Mas Ilham mengambil perumahan ini dengan bantuan papanya. Enam bulan setelah kami menikah papa mertuaku meninggal dunia. Aku masuk rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Semua masih sama, hanya terlihat berantakan saja. Debu hinggap di mana-mana. Tanaman bunga di depan banyak ditumbuhi rumput. Apalagi musim penghujan begini, rumput akan tumbuh subur di pot-pot bunga. Ada satu plastik pakaian di sudut sofa yang tampaknya baru diambil dari laundry. "Vi, kamu tidak mau ke belakang. Tidak kangen sama istana kita yang masih menunggumu pulang ini?" tanya Mas Ilham berdiri di pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku menjawab dengan senyuman. "Mas tidak sempat membereskan sejak kamu tinggal. Sesekali saja menyapu sebelum berangkat kerja. Jadinya berantakan begini." "Nanti kalau ada nyonya baru, pasti rapi lagi." Mas Ilham tidak menjawab, ia segera masuk ke kamar. Rasanya tanganku gatal ingin membereskan yang tampak berantakan ini. Yang dulu selalu kujaga dan kubersihan. Tidak lama kemudian Mas Ilham keluar. "Mas, coba lihat itu, pakai kaosnya kebalik," selorohku saat kaos warna merah maroon yang dipakainya terbalik. Mas Ilham melihat ke arah lengan bajunya. "Oh, iya. Astaga, tidak perasan tadi." Dengan santainya Mas Ilham membuka kaos di depanku dan membaliknya. "Kamu benar-benar tidak ingin menyambangi bagian belakang istana kita, Vi. Panci-panci di belakang rindu sentuhan tanganmu." Aku tertawa sebentar mendengar ucapannya. Kami dulu sering bercanda hal-hal ringan. Semua dibawa senang meski kita memulai dari nol setelah menikah. Namun semua berubah bersamaan pertemuannya dengan cinta lamanya. Saat itu karier Mas Ilham sedang berada di puncaknya. Dia di angkat jadi Branch Manager di kantornya. Kesibukannya dengan tugas baru serta kenyamanan dengan kisah lamanya, membuat hubungan kami berubah. Aku segera berdiri. "Sepertinya mau turun hujan, Mas. Aku ingin pulang sekarang." Mas Ilham mengangguk. Sesampainya di luar dia mengeluarkan sandal dari rak sepatu. Sandal kulit itu sudah lama sekali dibeli. "Ingat sandal ini, Vi. Dulu kita beli saat bulan madu." Mendengar kata bulan madu dadaku berdesir. Waktu itu kami menghabiskan lima hari di resort. Memadu cinta yang seolah tidak akan terpisahkan sampai kapan pun. Dua bulan kemudian di susul bulan madu kedua bersamaan dengan acara di kantornya. Kebersamaan yang membuatku hamil di bulan depannya. "Awet, ya, Mas. Lebih awet sandalnya daripada hubungan kita." Mas Ilham memandangku. Aku tersenyum. "Sudah, enggak usah mandang kayak gitu. Ayo, kalau jadi ngantar kita berangkat sekarang." Kami melangkah menuju mobil yang terparkir di garasi. Gerimis mulai turun saat mobil meninggalkan rumah. Beberapa saat setelah kami masuk rumah Ibu, hujan turun dengan lebat padahal ini baru jam sebelas siang. Aku membuatkan teh panas untuk Mas Ilham. Kemudian mandi dan ganti baju. "Kapan Ibu dan Syifa pulang?" "Besok sore." "Mas akan menemanimu malam ini," katanya. "Aku sudah lebih sehat sekarang. Enggak apa-apa sendirian." * * * Mas Ilham benar-benar tidak pulang malam itu. Kami duduk di teras depan, sambil makan bakso yang kami beli di penjual bakso keliling yang kebetulan lewat depan rumah. Gerimis belum berhenti sejak tadi siang. Kami sama-sama menoleh saat mendengar suara orang yang bertengkar di sebelah rumah. Kebetulan rumah Ibu dan rumah Bu Joko hanya dibatasi oleh pagar setinggi dadaku. Jadi memudahkan kami berkomunikasi dari halaman rumah masing-masing. "Kenapa Bu Joko itu?" tanya Mas Ilham. "Suaminya enggak pernah pulang ke rumah," jawabku santai. "Memangnya Pak Joko pergi ke mana?" "Tinggal di rumah perempuan lain. Makanya sekarang jarang pulang. Perselingkuhan sekarang tidak memandang usia. Meskipun telah berjuang bersama puluhan tahun, bisa lupa sekedip mata karena pesona wanita lain di luar sana." Mas Ilham tercekat. Mungkin dia menyesal telah menanyakan hal itu padaku. "Yang baru beberapa tahun mendampingi saja sakit hati, apalagi yang sudah bersama puluhan tahun. Anak-anak pun sudah besar. Tinggal menikmati hidup, akhirnya bercerai berai." Aku diam sejenak. Mas Ilham hanya mengaduk-aduk bakso di mangkuk. Padahal tadi sangat menikmatinya. "Tapi menyikapi hal itu kita harus bersikap objektif. Melihat dari segala sisi. Mungkin istrinya tidak bisa melayani dengan baik hingga suami cari kepuasan di luar. Kebetulan yang di luar lebih luar biasa." Sengaja aku menyindirnya. "Makanya aku mundur, karena aku sadar. Mungkin aku bukan istri yang sempurna untuk, Mas. Bukan istri yang bisa melayani suaminya dengan sempurna. Buktinya lima tahun ini tidak bisa membuat Mas berhenti memikirkan yang lain." Mas Ilham meletakkan sendok begitu saja di mangkuk. Gemeletaknya membuatku kaget. Menatapku dengan mata memerah. "Mas yang salah, Vi. Selama sebulan ini Mas sudah berusaha membuatmu kembali. Mas minta maaf." Baru sebulan sudah bangga, bagaimana aku yang sudah empat tahun ini. Menunggunya sadar sendiri dengan cara aku memperbaiki diri. Mulai mengurus rumahnya, pakaiannya, memasak apa pun yang disukainya, dan memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cinta yang luar biasa. Mendampingi ke acara tertentu dengan bersikap sopan dan menjaga penampilan, agar Mas Ilham tidak malu menggandeng istri sepertiku. "Vi, maafkan Mas." Aku tersenyum. "Sudah aku maafkan. Biar kita enggak bermusuhan sekali pun harus berpisah. Enggak sampai seperti Pak Joko dan Bu Joko yang melampiaskan kemarahan sampai terdengar oleh tetangga." Aku menarik napas sejenak. "Supaya enggak seperti ayah dan ibuku yang berpisah dan saling menyimpan dendam," lanjutku dengan mata memandang pada gerimis. Mas Ilham menunduk. Biarlah dia berpikir, karena sejak awal dia tahu semuanya. Ingin sekali aku bertanya, sudahkah dia meniduri wanita itu? Tapi aku tidak sanggup melakukannya. Jika jawabannya tidak, mungkin aku tidak akan percaya karena empat tahun bukan waktu yang sebentar. Sementara mereka sering ke luar kota bersama dan jalan bersama. Tidak mungkin juga Mas Ilham akan mengaku akan bilang yang sebenarnya. Ponsel Mas Ilham berdering, membuyarkan lamunan kami. Sontak kami menoleh pada benda pipih yang berpendar di meja. "Kekasihmu telepon, Mas," ucapku lantas berdiri meninggalkan Mas Ilham di teras. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD