Perempuan Berambut Panjang

1578 Words
“Mas… Mas… Mas… Mas… apa itu mas di belakangmu?” Mata panji melihat punggung Jonathan dengan tatapan gemetar, keringat dingin yang sejak memasuki ruangan kepala sekolah sudah mengucur deras, semakin menjadi-jadi saat melihat sosok perempuan dengan wajah tertutup rambut panjang yang saat ini sedang menoleh ke arah Jonathan yang duduk di kursi kepala sekolah. Sosok mengerikan dengan kulit keriput yang busuk dan membiru itu terlihat sedang mengendus-endus leher Jonathan, membuat Panji ingin melangkah kabur dari tempat ini. Sejak awal datang ke Tumimbal, Panji sudah merasakan hawa yang tidak enak. Ia tidak menyangka, secepat ini hawa tidak enak itu menjadi kenyataan. “Kamu kenapa sih, Panji?” Jonathan menoleh ke arah kanan, di mana tatapan Panji tertuju. Sedetik kemudian, Jonathan kembali memutar wajahnya ke arah Panji seraya menatapnya dengan mata bingung dan heran, seakan ia tidak melihat apapun di sana. Padahal sedari tadi, Panji tidak mengalihkan pandangannya dari bagian bahu kanan Jonathan. Perempuan berbaju putih lusuh di samping Jonathan menoleh ke arah Panji, hendak berkenalan dengan orang yang baru ia lihat sejak menghuni sekolah internasional tersebut. Dari balik rambut panjang yang menutupi wajah, Panji bisa melihat taring-taring yang mengkilap merah, dengan darah busuk yang membasahi mulut. Samar-samar dari arahnya, Panji dapat melihat menembus lebatnya rambut hitam panjang yang tampak kusut itu, di mana perempuan itu tampak tersenyum ke arah Panji. Sesaat kemudian, sosok itu menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah Panji dengan jari telunjuk, lalu melambaikan telunjuknya, meminta Panji mendekat. Jantung Panji semakin tidak bisa diselamatkan ketika ia tanpa sengaja melihat kelopak mata yang tampak kosong, tanpa ada bola mata di baliknya. Di balik senyum mengerikan yang ditunjukkan, sosok perempuan itu rupanya tengah menangis. Bukan air mata, melainkan darah busuk yang juga ikut menetes dari kelopak mata kosongnya. Melihat pemandangan mengerikan itu, membuat perut Panji terasa mual, ia benar-benar ingin kabur dari ruang kepala sekolah. Namun sayang, tiba-tiba kakinya terasa berat untuk digerakkan. Entah karena takut atau ada sesuatu yang mengunci pergelangan kakinya, ia tidak tahu dan tidak ingin tahu. Panji tidak berani melihat ke bawah. Panji berusaha sekuat tenaga untuk membuka mulut, mengatakan semua hal aneh yang ia lihat selama memasuki Tumimbal kepada Jonathan yang tampak terlalu tenang. Namun ketika ia ingin membuka suara, mulutnya terasa berat untuk digerakkan. Rasanya, Panji dilarang protes oleh sosok perempuan yang ada di samping Jonathan. Seakan tidak sadar jika Panji tengah berjibaku dengan ketakutan di dalam dirinya setelah melihat sosok mengerikan yang dari tadi menemani mereka di ruang kepala sekolah, Jonathan justru terlihat tidak peduli dan melanjutkan urusan pekerjaannya dengan Panji, mengingat ini adalah kali pertama teman kuliahnya itu memasuki Tumimbal. Mungkin memang Panji gugup, atau mungkin juga merasa tidak nyaman dengan sekolah barunya tersebut. Tapi Jonathan pun yakin, Panji tidak akan bisa menolak tawaran gaji menggiurkan yang diajukan oleh pihak Tumimbal. “Jadi gini, Pak Panji,” ucap Jonathan sambil mengambil sebuah map dari laci meja. Ini juga kali pertama Jonathan memanggil Panji dengan sebutan “Pak” sejak mereka bertemu di sekolah ini. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin diucapkan oleh Panji, namun ia saat ini hanya bisa berdiri mematung tanpa bisa berbuat apapun. Sekilas, Jonathan melirik ke arah Panji. Dengan keringat dingin yang mengucur deras meski di dalam ruangan ber-AC, tidak mungkin Jonathan tidak menyadari jika ada sesuatu yang aneh dengan sahabatnya itu. Melihat keadaan Panji yang tampak aneh, Jonathan justru hanya tersenyum tipis, sangat tipis sehingga Panji tidak menyadari perubahan ekspresi dari kepala sekolah Tumimbal tersebut. “Ini ada kontrak kerja dari Tumimbal. Dengan sampean yang menyetujui tawaranku semalam untuk ngajar di sini, berarti sampean udah deal sama aku. Kontrak kerja ini sifatnya mengikat, sampean ga bisa serta merta membatalkan. Gaji udah sesuai sama yang kita omongin semalem, tapi kalau sampean membatalkan kontrak atau melarikan diri, berarti sampean siap kita proses di pengadilan perdata.” Jonathan menyodorkan map yang ada di atas meja kepada Panji yang masih berdiri mematung. “Sampean ngapain tetep di situ aja sih, Pak Panji? Sini loh duduk.” Jonathan tetap mengukir senyum ramah seakan tidak ada sesuatu yang aneh di dalam ruangannya. “Gimana aku mau ke sana? Orang melangkah aja kakiku rasanya berat!” batin Panji. Dengan terpaksa, Panji mencoba melangkahkan kakinya mendekat, hendak duduk di kursi yang ada di depan meja kepala sekolah. “Eh, kok?” Panji merasa aneh. Saat ia ingin keluar dari ruangan kepala sekolah, kakinya terasa sangat berat untuk digerakkan. Namun saat Panji ingin duduk, kakinya terasa sangat ringan. Rasanya, ada sosok yang menginginkan Panji untuk menetap di tempat ini. Pelan-pelan Panji melangkah dari tempatnya menuju kursi. Jarak yang hanya dua meter, terasa sangat jauh karena sepanjang langkah, perempuan menyeramkan itu menatap ke arah manapun Panji bergerak. Lelaki berambut ikal itu berusaha sekuat tenaga mengabaikan penampakan tersebut, namun tidak bisa. Sosoknya yang terlihat menyeramkan, membuat Panji secara otomatis berfokus kepadanya. Setelah perjuangan panjang, akhirnya Panji pun duduk dan membuka lembar demi lembar kontrak kerja yang ia terima. Mata Panji terbelalak ketika membaca apa yang tertulis di sana. Tidak, Panji tidak berfokus kepada isi dari kontrak kerja yang ia terima. Ia lebih terkejut melihat ada tanda tangannya yang terbubuh di atas lembar terakhir kontrak tersebut, dilengkapi dengan materai yang membuat surat kontrak itu memiliki kekuatan hukum. Panji menoleh ke arah Jonathan dengan jantung yang semakin berdebar. Ia ingin marah, karena kewenangannya untuk menentukan pilihan telah diambil alih. Tanda tangan yang terbubuh di atas kontrak itu bukanlah miliknya, Panji sangat yakin akan hal itu, karena ia tidak pernah menandatangani apapun dalam kurun waktu dekat. Tapi, tanda tangan yang ia lihat, sangat identik dengan miliknya. Jelas sekali tanda tangan itu telah dipalsukan. “Mas Jo!” Panji mengangkat kepala, melihat Jonathan yang menatapnya dengan serius. “Pak Jonathan! Selama di Tumimbal, aku ini atasanmu, Pak Panji!” jawab Jonathan tegas. Sejenak, Jonathan terkesan ingin mendominasi, dihormati, dan diperlakukan secara profesional, bukan lagi seperti teman seperjuangan ketika kuliah yang bisa dipanggil “Mas” seenaknya. “Ah, sorry… sorry… Pak Jonathan. Tapi ini kok ada tanda tangan, ya? Aku ga pernah merasa ngasi tanda tangan di sini seingatku, deh?” Panji mengangkat lembar terakhir surat kontrak itu, menunjukkannya tepat di depan muka Jonathan. Panji berusaha mengalihkan perhatiannya dari sosok perempuan yang masih berdiri di samping kanan Jonathan, namun tingkah aneh sosok itu terus saja mencuri perhatian Panji. Apakah Panji jatuh cinta pada sosok itu? Tentu saja tidak! Hanya orang bodoh yang akan jatuh cinta dengan sosok buruk rupa tanpa bola mata dan penuh darah sepertinya. Namun melihat dari tingkahnya, sosok itu seakan ikut memperhatikan lembar surat kontrak yang Panji tunjukkan kepada Jonathan, seolah ia paham apa yang tertulis di sana. Hal itu membuat Panji semakin gemetar, tapi ia juga tidak bisa menghindar dari situasi ini. Panji harus menahan rasa kesal, karena Jonathan bersikap seperti tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Padahal Panji ingin segera melarikan diri dari tempat ini. “Ah, itu…” Jonathan mengalihkan pandangan dari Panji, menandakan jika memang ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. “Itu sudah keputusan dari pihak Tumimbal, Pak Panji. Saat sampean setuju sama tawaranku semalam, itu sudah merupakan bentuk kontrak. Kita kan cuma memperkuat kontrak itu dengan legalitas. Kita ga salah kan?” Jonathan mengatakan itu seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali. “Tapi, Mas–eh, Pak, itu kan tindakan ilegal,” protes Panji. “Ilegal? Sampean bisa buktikan kalau itu ilegal? Coba buktikan wes!” tantang Jonathan. Ia tahu, Panji tidak akan bisa membuktikan jika tanda tangan itu palsu, karena goresan yang ada di sana sangat identik dengan milik Panji, bahkan hingga ke detail terkecil. Mendengar tantangan Jonathan, Panji hanya terdiam, ia tidak bisa protes apapun. Ucapan Jonathan memang benar, sekeras apapun ia protes, jika bukti mengatakan bahwa tanda tangan itu asli, maka Panji tidak bisa berbuat apapun. “Jadi sekarang gimana? Aku harus ngajar di tempat berhantu ini?” sahut Panji ketus. “Berhantu? Kurang ajar banget sampean, Pak Panji! Menyebut sekolah internasional ini berhantu!” Jonathan menggebrak meja. Panji sangat terkejut dengan tindakan Jonathan. Ia tidak menyangka, rekan seperjuangan ketika kuliah yang bahkan bisa lulus karena bantuan darinya, saat ini sedang bersikap semena-mena dan bahkan merendahkan harga dirinya. Panji yang merupakan lulusan dari jurusan bimbingan dan konseling sangat paham, jika apa yang dilakukan Jonathan saat ini adalah bentuk dari pertahanan diri karena ia sedang berada di posisi yang salah. Sebagai orang yang sama-sama berasal dari BK (singkatan dari bimbingan dan konseling) seharusnya Jonathan tahu cara bersikap dengan baik. Jonathan yang bertindak seolah-olah sedang berperang dingin dengannya pun menimbulkan tanda tanya besar, apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Dua pria yang tengah bersitegang itu saling tatap, sementara sosok perempuan mengerikan yang sedari tadi menemani perbincangan mereka tidak terlihat lagi. Panji yang menyadari jika perempuan itu sudah pergi, perlahan berangsur tenang. Kakinya tidak lagi gemetar, detak jantungnya perlahan berangsur normal. Tapi ia masih tidak bisa menerima perlakuan semena-mena dari Jonathan. Meski Jonathan berdalih jika apa yang ia lakukan atas permintaan dari Tumimbal, namun Panji beranggapan jika Jonathan adalah perwakilan dari Tumimbal. Apa yang Jonathan katakan, merupakan perpanjangan dari Tumimbal. Sehingga Panji merasa berhak apabila ia protes kepada Jonathan. Baru beberapa menit Panji berada di Tumimbal, semua hal berjalan tidak seperti yang dipikirkan. Ia sudah membayangkan, mengajar anak-anak internasional yang memiliki attitude baik karena dididik oleh orang tua yang memiliki standar tinggi. Jauh di dalam pikiran Panji, ia sudah berfantasi menghadapi murid-murid yang bertolak belakang dengan apa yang ia hadapi selama ini di Banyuwangi, di mana anak-anak daerah terkenal lebih susah untuk diatur. Tetapi ketidaknormalan yang ia alami beberapa menit terakhir, membuatnya berpikir dua kali untuk masuk ke dalam Tumimbal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD