Panji dan Uang Haram

2166 Words
"Selamat siang, Mas Ded." "Selamat siang, loh Mas Panji? Ada apa sampean ke sini, Mas? Tumben," sapa seorang polisi berseragam rapi yang tengah duduk di depan komputer ruangan Reskrim salah satu Polsek di kota Gandrung, Banyuwangi. "Loh, yo ndak tau, kok tanya saya? Hahaha. Enggak, Mas Ded, ini aku mau tanya soal anakku. Sampean yang ngurus kasuse anakku gak sih?" sahut seorang pemuda yang berusia sekitar seperempat abad, berambut ikal dan tinggi sekitar 175 cm kepada seorang penyidik kepolisian bernama Dedi. "Loh, sampean wes nikah tah? Kapan? Kok aku ga tau? Gimana sampean itu nikah kok gak kabar-kabar? Eh bentar, anake sampean kena kasus? Iyo kah aku yang pegang? Siapa nama anake sampean?" Dedi terlihat bingung dengan Panji yang berkata jika ia memiliki seorang anak. Pemuda seusia Panji, sangat tidak mungkin memiliki anak yang dapat tersangkut masalah hukum, kecuali jika... "Ya Tuhan, enggak Mas Ded, iku loh, aku kan jadi guru BK di SMK tempatku sekolah dulu toh, nah ada anak didikku yang kemarin kena masalah dan masuk ke polsek sini." "Loh iyo tah? Cewek tah, Mas Panji?" jawab Dedi sambil memeriksa berkas pada komputernya dengan segera. "Hooh, Celine namanya. Kalo bukan cewek aku ga bakal belain ke sini, Mas Ded. Hahaha." celetuk Panji. "Sampean iku dari dulu ga pernah berubah ya, Mas. Kalo urusan cewek langsung gercep. Iya itu ada anaknya di belakang, di sel. Kalo mau aku panggilin ya gapapa, nanti aku minta tolong sama sipir buat bawa ke sini," sahut Dedi sambil terkekeh mendengar ucapan Panji. "Gausah, Mas. Biarin aja. Aku cuma mau ngobrol aja sama sampean. Anak itu ga bisa tah kalo ditangguhin gitu penahanannya?" tanya Panji dengan wajah serius. "Gimana ya, Mas? Agak susah sih soalnya kasusnya dia kan narkotika toh, Mas Panji..." sahut Dedi dengan wajah agak memelas. "Masa sih ga bisa, Mas Ded? Orang barang buktinya juga cuma ganja ae loh, Mas. Lagian kasusnya belum naik ke pengadilan, toh? Kalo anak itu main sabu baru wes aku angkat tangan. Masa ganja ga bisa ditoleransi, Mas? Bisa lah ini kita uruskan..." "Susah, Mas Panji, lawanku itu..." Dedi menghentikan kalimatnya ketika melihat Panji mengeluarkan amplop coklat yang terlihat cukup tebal. Mata Dedi langsung berbinar ketika amplop coklat yang berisi uang itu meluncur ke atas meja kerjanya. "Sampean kek ga kenal aku ae loh, Mas Ded. Gimana? Kira-kira kapan anakku bisa dipulangkan?" ucap Panji tersenyum sambil mengulurkan amplop coklat tersebut kepada Dedi. "Wah, sampean ini emang paling bisa loh, Mas Panji. Dari dulu selalu baik hati sama temen. Nanti sore wes mas anaknya tak urus surat penangguhannya." Dedi ikut tersenyum ketika menerima uang dari Panji. "Gak usah ditutup wes kasusnya, Mas Ded. Peti es ae, kalo suatu saat anak itu ketangkep lagi kan lumayan barang bukti jadi tambah banyak." "Wah, ini namanya win-win solution, Mas. Suka aku tuh sama sampean, hahaha." Tidak lama setelah itu, Panji keluar dari kantor polisi menuju ke salah satu kedai kopi di kecamatan yang terkenal dengan tradisi kebo-keboan. Di sana, Panji menelepon seseorang sambil menunggu kopi yang ia pesan. "Halo, Pak Panji. Gimana anak saya?" ucap seorang pria dari seberang telepon. "Selamat sore, Pak. Iya, ini anakya Bapak paling beberapa jam lagi udah bisa pulang." "Bener, Pak? Wah saya berterima kasih banget loh sama Pak Panji, udah bantu kasusnya anak saya. Itu barusan ada uang masuk ke rekeningnya Pak Panji, anggep aja itu sebagai ucapan terima kasih." Panji menutup sambungan telepon dengan perasaan senang, namun juga kesal. Senang karena ia mendapat uang kaget, saat keadaan ekonominya tengah mampet karena gaji sebagai guru BK di sekolah tidak mencukupi untuk makan sehari-hari. Kesal karena di usianya yang ke-26 tahun dan belum beristri, ia telah dipanggil 'Pak' Oleh orang yang lebih tua darinya. Panji tahu, panggilan itu adalah panggilan hormat dari wali murid kepada dirinya, namun status lajang yang ia emban saat ini membuat harga dirinya terusik ketika dipanggil 'Pak' oleh orang lain. Panji tersenyum semakin lebar ketika melihat jumlah uang yang masuk ke dalam rekening melalui ponselnya, SMS Banking lah istilahnya. Jumlah tidak sedikit, mungkin lebih besar dari gajinya sebagai guru BK selama tiga tahun. Di dalam lubuk hati Panji, ia merasa sangat kesal karena negara seakan tidak peduli dengan nasib guru honorer seperti dirinya. Namun rasanya ia tidak tahu kepada siapa harus mengeluh tentang hal itu sementara banyak rekan sejawatnya di sekolah yang mengalami nasib serupa. Panji kembali menggulir satu persatu kontak di ponselnya, hingga ia menemukan sebuah kontak dengan nama 'Bli Gung'. Tidak menunggu waktu lama, Panji segera menghubungi Bli Gung yang sedang berada di luar pulau tersebut. "Halo, Panji. Swastiastu! Wah enken kabare? Lama sekali loh kamu ga telepon ke saya?" sapa Bli Gung dengan suara yang sangat nyaring dan aksen bali yang kental terdengar dari seberang telepon. Sepertinya Bli Gung sangat senang saat Panji Meneleponnya. "Swastiastu, Bli Gung! Astungkara saya baik, Bli. Bli Gung sendiri gimana kabarnya?" jawab Panji dengan aksen Bali yang terkesan dipaksakan karena Panji memang bukan berasal dari Bali. (Swastiastu = Salam dalam bahasa Bali atau agama hindu, Astungkara = ungkapan rasa syukur) "Baik selalu lah, Panji. Enken neh? Ada apa kamu nelepon? Mau main ke Bali kamu ni ya? Terus cari tempat nginep gratis? Ngomong aja kamu gak usah basa basi, Hahaha! Sudah terbaca dari nada suaramu itu loh." Bli Gung terdengar sangat antusias. "Miih, kek tau-tau aja Bli Gung nih. Tapi ga salah sih, Bli, aku baru dapet duit soalnya kan, kebetulan lagi liburan semester makanya sesekali pengen lah aku main ke Bali. Nanti kita main-main lah ke Sky Garden atau Akasaka gitu, Bli. Suntuk aku di sini." Panji menyeret nada bicaranya untuk mengambil rasa iba dari Bli Gung. "Ga usah melas gitu nak e, kek kamu kurang perempuan aja di sana loh! Mai main sini, nanti saya cariin perempuan buat kamu, saya siapin kosan yang paling nyaman buat tamu agungku ini." "Asli baik hati sekali memang Bli Gung nih, sangat pengertian ke seonggok besi tua macam aku." "Besi tua? Kamu udah karatan ya, Panji?" "Kleee, enak aja kalo ngomong! Gini-gini aku lelaki perkasa pemuas wanita loh, Bli. Hahaha." (Klee, atau kleng, atau naskleng, adalah kata umpatan dari Bali) "Gig*lo kamu? Pemuas wanita tuh..." Bli Gung semakin gencar mengolok Panji. "Pokoknya besok aku mau berangkat ke sana, Bli Gung siapin semua di sana pokoknya." Keesokan harinya, Panji pun meluncur menuju ke Bali seperti yang telah dibicarakan bersama Bli Gung. Di sana, Panji mendapat sambutan yang luar biasa karena sebelumnya sekitar dua tahun Panji tidak mengunjungi pulau dewata. Seperti yang direncanakan sebelumnya, ketika malam hari tiba, Panji dan Bli Gung meluncur ke salah satu club malam yang terkenal di kawasan Kuta. Gemerlapnya sorot lampu berpadu dengan gelapnya ruangan menjadi perpaduan pas kala para penari tengah berlengak lenggok bersama dengan tiang yang mereka pegang. Tarian sensual, wajah nakal, riasan tebal serta pakaian minim menjadi perpaduan yang apik digunakan para penari untuk menarik pengunjung dari kalangan kaum adam, termasuk Panji dan Bli Gung yang ikut menikmati sajian surga dunia yang ada di depannya. Panji dan Bli Gung membuka meja, memesan beberapa minuman keras beralkohol sedang ditemani beberapa perempuan berpakaian minim yang duduk di kanan dan kirinya. Bli Gung, pria asli Bali bertubuh gempal dan berkulit coklat eksotis menggandeng tiga perempuan untuk menuangkan minuman ke gelasnya. Tidak lama setelah itu, Bli Gung berpamitan kepada Panji sambil menggandeng salah satu perempuan menyingkir dari keramaian club malam. Panji hanya tersenyum tipis karena paham dengan tujuan Bli Gung membawa perempuan itu. Perempuan pekerja malam memang cukup mudah untuk diajak melakukan sesuatu yang menyenangkan. Setelah Bli Gung menyingkir dari meja, dua perempuan yang lain segera mendekat ke arah Panji dan menyandarkan kepalanya pada da*a bidang Panji. Panji memang memiliki tubuh yang ideal, meski dia tidak sering berolahraga, tetapi tubuhnya tetap terlihat menggoda. Tidak gemuk, tidak juga kurus. Jenis tubuh yang sangat diidam-idamkan oleh semua orang. Tidak salah jika panji mendapat lirikan menggoda dari banyak perempuan yang mengunjungi club tersebut meskipun terlihat jika Panji tengah menggandeng dua orang bidadari malam. Panji sangat senang bercanda, bercengkrama, dan sesekali memainkan tangan nakalnya untuk menyentuh bagian-bagian tubuh dua perempuan di sampingnya yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh orang lain. Tapi, tanggapan dari dua perempuan tersebut terlihat tidak ada penolakan dan justru mereka terlihat menikmati setiap sentuhan tangan panji pada bagian terlarang tersebut. Tawa lepas panji mengabaikan tatapan banyak orang di sekelilingnya. Tatapan iri dari para lelaki di sana yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari para wanita malam, atau tatapan iri para perempuan yang juga ingin berada dalam dekapan Panji, tidak berhasil mengalihkan perhatian Panji dari dua bidadari di sampingnya. Di tengah suasana yang sangat mendukung untuk Panji melakukan sesuatu yang menyenangkan, tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk ke ponsel miliknya. Panji merasa kesal karena waktu pribadinya terganggu. Awalnya Panji mengira jika itu adalah panggilan dari Bli Gung, tetapi ternyata Panji salah. Sesuatu yang membuat ponsel di saku celananya bergetar adalah sebuah panggilan video dari seorang kawan lama. Akhirnya Panji menyingkir dari meja miliknya menuju ke toilet karena tidak ingin kawan lamanya terganggu oleh kebisingan club malam. "Halo, Panji. Kamu ada di mana nih? Berisik banget di sana!" Seru kawan lama panji dengan wajah bingung karena suara club malam yang terdengar hingga ke seberang telepon. "Aduh, maaf Mas Jo, aku lagi ada acara nih sekarang. Ada apa nih, Mas?" Sahut Panji kepada orang yang ia panggil dengan sebutan Mas Jo. Mas Jo adalah kakak tingkat ketika Panji mengenyam pendidikan perguruan tinggi di Banyuwangi. Mas Jo adalah seorang guru di salah satu sekolah internasional yang ada di Bali. Nasib Mas Jo dalam segi ekonomi benar-benar berbanding terbalik jika dibandingkan dengan Panji. Namun, Panji sedikit merasa heran karena ketika jam telah berangsur malam seperti hari ini, Mas Jo masih terlihat berada di kantornya, terlihat dari latar belakang panggilan videonya yang berupa buku-buku yang tersusun rapi di atas rak. "Eh, Panji. Kamu Masih kerja di SMK yang dulu?" tanya Mas Jo. "Iya nih, Mas. Gimana? Ada kerjaan buat aku kah? Mumet aku, Mas. Bayaran di sana dikit buanget, ga bisa dipake buat makan, makanya aku mumet. Kadang mau resign dari sana, tapi ga ada kerjaan lain. Mas Jo ada kerjaan buat aku, kan?" Panji menunjukkan wajah melas kepada Mas Jo. "Hahahaha, wes ga usah melas gitu lah, Panji. Sini sini sini sini, kamu mending kerja bareng aku sini. Kebetulan ada lowongan nih di sekolahku, aku yakin kamu pasti suka. Gajinya 20 juta per bulan, gimana?" Mas Jo menggoda Panji dengan wajah sumeringah. "Walah, 20 juta per bulan? Uenak iku, Mas. Hahaha." Tiba-tiba mata Panji terbelalak, nafasnya sesak, mulutnya terkunci, dan tangannya bergetar hebat karena melihat sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di belakang Mas Jo. Terlihat dari panggilan video yang tengah berlangsung, dari sela-sela buku yang terjejer rapi di belakang Mas Jo, sebuah tangan yang berlumuran darah dan berkuku panjang berwarna hitam tiba-tiba menjulur ke depan, berusaha meraih baju Mas Jo. Mulut Panji bergetar, berusaha memperingatkan Mas Jo atas apa yang ia lihat. Namun sekeras apapun Panji mencoba membuka mulut, suaranya tetap tidak dapat keluar. Mas Jo yang terlihat tidak peduli dengan hawa aneh yang ada di sekitarnya, merasa bingung dengan Panji yang tiba-tiba membeku. Berkali-kali Mas Jo memanggil Panji, tetapi tidak mendapatkan tanggapan dari pria yang masih terkejut dengan apa yang ia lihat. "Panji! Panji! Panji!" "Eh, i-iya, Mas. Gimana?" Akhirnya Panji kembali mendapatkan fokus, namun keringat dingin mengucur deras dari keningnya. "Kamu kenapa? Kok kelihatan pucat gitu? Kamu tuh kek lihat penampakan aja, tau ga?" ucap Mas Jo yang terlihat bingung dengan Panji. "E-eh, iya maaf, Mas Jo. Sampean tadi bilang apa?" "Kamu mau ga kerja di sini? Nanti soal resign dari kerjaanmu yang lama biar aku ae yang ngurus, pokoke kerja di sini tuh enak, gajinya gede, muridnya juga sedikit." "Tapi, Mas..." "Wes, deal ya pokoke? Aku nanti yang ngurus semua wes, termasuk soal surat resign-mu, kamu tinggal berangkat aja." Mas Jo menutup sambungan telepon tanpa memedulikan Panji yang masih tampak gemetar dengan apa yang baru saja ia lihat. Akhirnya Panji kembali ke mejanya setelah menenangkan diri beberapa saat di toilet. Di sana, Bli Gung telah kembali dari urusan pribadinya dan dua bidadari yang tadi menemani Panji tengah menuangkan minuman ke dalam gelas milik Bli Gung. Panji masih terlihat pucat dan berkeringat. Bli Gung yang cukup peka dengan hal itu, bertanya kepada Panji dengan nada bercanda, "he kenapa kamu itu, Panji? Seperti habis lihat penampakan aja kamu itu nok, pucat sekali mukamu." Panji yang merasa ketakutan, seketika melongsorkan diri ke kursi nyaman dan disambut oleh salah satu bidadari yang langsung menyandarkan kepala ke bahunya. "Bli Gung tau ga? Barusan aku lihat penampakan, seram sekali nok..." Ucapan Panji menandakan ia tidak fokus dengan Bli Gung, terlihat jika Panji tanpa sadar mengulang kalimat Bli Gung yang berarti ia tidak mendengar apa yang Bli Gung ucapkan. "Di mana ada penampakan? Orang di sini penuh sama bidadari gini, stres kamu ya, Panji?" "Hadeh, ga tau lah, Bli. Aku mau menikmati malam aja di sini, daripada tambah setres kepalaku." Malam pun berlanjut, semakin malam semakin liar, dan Panji mulai larut dalam keramaian malam dan melupakan apa yang telah ia lihat ketika berada dalam panggilan telepon. Tapi, apakah Panji sadar jika ada sosok yang mengikutinya ketika ia keluar dari toilet?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD