Mobil hitam meluncur pelan menyusuri jalanan basah menuju sebuah restoran di dekat Atomium. Di dalam kabin yang sunyi, hanya terdengar deru halus mesin dan sesekali suara gesekan ban di aspal.
Katrin duduk di bangku belakang, diam. Kepala bersandar pada jendela, menatap kosong pada siluet bangunan-bangunan kota. Syalnya dibiarkan menggantung, rambutnya sebagian tergerai menutupi leher, dan jemarinya tampak mengepal di atas pangkuan.
Di kursi depan, Louisa sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion. Ia tidak bicara, tidak menoleh berlebihan. Profesionalismenya sebagai sekretaris utama sebuah perusahaan besar tak mengizinkannya bersikap terlalu akrab.
Namun, sebagai orang yang terbiasa bekerja dengan berbagai karakter pemimpin, Louisa cukup peka menangkap suasana hati seseorang.
Mobil perlahan melambat dan akhirnya berhenti di depan sebuah restoran yang tenang. Daun-daun kering berguguran, berputar lembut di trotoar sebelum jatuh diam.
Louisa menoleh perlahan ke kursi belakang. Suaranya dijaga, lembut dan sopan. “Sudah sampai, Nona Katrin. Apa Anda ingin saya jemput juga nanti?”
Butuh beberapa detik sampai Katrin bereaksi. Ia menoleh, menatap Louisa sejenak seperti lupa siapa yang bicara, lalu menggeleng pelan.
“Tidak perlu. Terima kasih.”
Tangannya sudah menyentuh handle pintu, bahkan sempat membukanya dan bersiap turun. Tapi suara Louisa membuatnya terhenti.
“Jika Anda ingin menanyakan sesuatu, saya bisa menjawabnya, Nona,” ucap Louisa tiba-tiba.
Katrin mengerjap. Mungkin karena kaget, mungkin juga karena merasa kedoknya terbaca. Ia menatap Louisa dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya bicara, lirih namun jelas.
“Sebagai sekretaris, kamu pasti tahu semuanya, Louisa. Ini hanya pernikahan kontrak. Selain ada perjanjian yang menguntungkan kami berdua, ada juga batas privasi.”
Louisa menanggapi dengan senyum tipis penuh pengertian. “Saya rasa tidak sesederhana itu, Nona Katrin.”
Katrin terdiam. Kata-kata Louisa menggema, pelan tapi menghantam bagian terdalam dari pikirannya yang selama ini mencoba tetap rasional.
“Jika Anda penasaran …” Louisa menambahkan dengan nada netral yang sama, “Saya siap menjawab pertanyaan Anda kapan pun.”
Katrin belum sempat menjawab. Tangannya masih menggenggam handle pintu, satu kaki sudah turun menyentuh tanah. Tapi ucapan Louisa tadi menggema di kepalanya, menahannya di ambang pintu.
Lalu, suara familiar memotong kekosongan itu.
“Katty? Kenapa kau masih di situ? Bukannya—”
Jessy berdiri beberapa langkah dari mobil, tampak baru saja hendak masuk ke restoran saat pandangannya tak sengaja menangkap sosok Katrin yang masih setengah di dalam kendaraan.
Refleks, Katrin menoleh. Sejenak ia tampak kehilangan pijakan, sebelum akhirnya dia menjawab, “Urusanku sudah selesai,” potongnya cepat.
Ia turun sepenuhnya dari mobil, membenarkan letak syal di leher dan menarik napas panjang. “Ayo masuk. Nona Rowena pasti sudah menunggu.”
Sebelum menutup pintu, Katrin sempat menoleh ke dalam. Matanya bertemu dengan Louisa, dan untuk sesaat, ekspresi keras yang tadi sempat muncul memudar sedikit.
“Terima kasih, Louisa.”
******
Interior restoran dipenuhi aroma citrus dan kayu manis. Terasa hangat, tapi anehnya tak membuat tenang.
Katrin duduk di sisi paling ujung meja bundar, tempat yang biasanya disediakan untuk tamu VIP membicarakan bisnis. Tapi hari ini, dia merasa seperti bayangan, ada, tapi nyaris tak terasa.
Sungguh, perkataan Louisa membebaninya.
"Saya rasa tidak sesederhana itu, Nona."
Nada suaranya netral, tapi tidak kosong. Seolah Louisa tahu sesuatu. Atau sedang menebak sesuatu yang nyaris benar.
Katrin mengusap sisi gelas kosong di depannya, matanya tertuju pada Zane yang sedang menjelaskan sesuatu dengan tablet di tangannya. Di sampingnya, Jessy duduk dengan ekspresi serius, sesekali mengangguk dan sesekali menyela untuk menambahkan detail.
Rowena, wanita pekerja keras berusia awal tiga puluhan, dikenal sebagai sosok yang selektif dan sangat berhati-hati dalam memilih partner kerja, terutama untuk acara formal berskala besar seperti ini.
Namun kali ini, Ivory Bliss kembali berhasil membuatnya terkesan. Bahkan, ia tampak tercengang.
Di atas meja, tersaji dengan rapi, gambar-gambar venue, contoh tata panggung, skema pencahayaan, hingga daftar tamu potensial. Semua tersusun nyaris sempurna, seolah telah dipersiapkan jauh-jauh hari tanpa celah.
“Jadi, di ballroom utama nanti, akan ada dua akses masuk. Satu untuk tamu VIP, satu lagi untuk media. Kami juga pastikan keamanan ekstra, karena kabarnya akan ada tamu dari kedutaan.”
Zane berbicara dengan cekatan dan percaya diri. Tak sedikit pun ia tampak canggung saat memaparkan konsep bernilai ratusan ribu Euro itu.
Katrin tidak menanggapi. Ia hanya mendengarkan—merekam setiap detail, menimbang semuanya dalam diam.
Di sisi kanan, Jessy sibuk mencatat. Sesekali ia menyela untuk menambahkan hal-hal teknis.
“Catering juga akan disesuaikan dengan permintaan khusus,” ujarnya. “Ada opsi tanpa gluten, dan pilihan menu vegan yang lengkap.”
Hampir dua jam mereka duduk diskusi, membahas detail satu persatu. Apa yang tidak diinginkan Rowena juga langsung diganti saat itu juga. Jessy dan Zane memang selalu menyiapkan plan lain sebagai cadangan.
Sampai akhirnya, Rowena bersandar ke kursinya dan mengangguk.
“Saya setuju,” katanya tegas. “Tim kalian cukup solid. Saya suka presisinya. Jalan terus.”
Dia mengangkat ponselnya dan menelepon asisten pribadinya. Tak lama kemudian, notifikasi transfer masuk ke ponsel Jessy.
“Sudah dibayar lunas,” bisik Jessy pelan, sedikit terkejut tapi tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.
Pekerjaan mereka selesai setelah itu. Zane tidak langsung kembali ke kantor—seperti biasa, dia memilih tinggal lebih lama untuk memastikan semua permintaan Nona Rowena terpenuhi hingga ke detail terkecil. Perfeksionis, tapi justru itulah yang membuat Ivory Bliss disukai klien.
Sementara itu, Katrin kembali ke kantor bersama Jessy, naik mobil yang dikemudikan oleh sopir perusahaan. Jalanan siang itu agak lengang, tapi sunyi di dalam mobil terasa lebih pekat dari biasanya.
Jessy duduk di sebelahnya, membuka ponsel, membalas beberapa pesan dengan cepat, lalu mendesah pelan.
“Padahal Nona Rowena hampir tidak pernah bayar penuh di awal. Apalagi ini acara kantor. Biasanya dia minta sistem cicilan, atau pakai invoice mundur.”
Katrin tetap menatap ke luar jendela. Diam, tapi mendengarkan.
Jessy melirik sekilas. “Apa ini ada hubungannya dengan Reins?” ucapnya sambil menjeda, tatapannya kini tertuju pada Katrin. “Maksudku, kalian baru saja menikah. Mungkin saja dia mulai membatu?”
“Menurutmu dia sebaik itu?” Katrin balik bertanya, nada suaranya terdengar hambar.
Jessy mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin saja.”
Tapi itu bukan sesuatu yang mungkin bagi Katrin.
Melihat Reins yang tampak cuek, seolah tak peduli, Katrin tak yakin jika Reins bergerak lebih dulu. Sikapnya terlalu tenang, terlalu dingin, seperti tembok marmer yang tak mudah retak.
Pernikahan juga hanya sebatas formalitas kecil di antara rapat-rapat pentingnya yang lain. Tidak ada perhatian, tidak ada ketertarikan. Hanya interaksi fungsional.
Dan sesuai kesepakatan, Reins hanya bertugas menghalau Raven jika Mark menghalangi jalannya.Titik. Di luar itu, semuanya abu-abu.
“Lalu bagaimana dengan kontrak kalian? Dia bersedia tanda tangan?” Jessy bertanya lagi.
Katrin menghela napas pelan. Matanya masih menatap ke jendela, mengikuti bayangan gedung-gedung yang berlarian seperti pikirannya—riuh, tapi tetap diam.
Ia tahu pertanyaan itu akan datang. Dan Jessy berhak menanyakannya. Mereka berdua menghabiskan malam menyusun draft kontrak dengan teliti, menimbang setiap kata, mengatur klausul-klausul dengan rapi dan legal. Semuanya telah disusun untuk melindungi dirinya.
Namun Reins bahkan tidak menyentuhnya.
Katrin tersenyum getir, menahan rasa sesak yang tidak semestinya ada. Dia tidak tega melihat wajah Jessy jika harus bicara jujur. Tidak ingin menyakiti perasaan sahabat yang sudah membantunya bekerja keras semalam.
“Kontraknya dirombak,” ucapnya akhirnya. “Reins menambahkan beberapa hal.”
Jessy tidak bertanya lebih jauh. Ia menangkap sesuatu dalam nada suara Katrin, tapi memilih diam. Ia bukan tipe yang memaksa orang bicara saat hatinya sedang rapuh.
Hening menyelubungi mereka. Hanya bunyi mesin mobil yang terdengar, dan lalu lintas yang perlahan padat.
Beberapa menit kemudian, Katrin sendiri yang akhirnya bicara.
“Dua hari lagi, aku pindah ke rumahnya.”
Dunia memang kadang suka bercanda, terutama jika menyangkut hidup seorang Katrin Isadora. Padahal hidupnya dulu seperti tuan putri. Berkecukupan, tidak pernah pusing memikirkan apapun.
Tapi sekarang, semua jungkir balik.
“Dia yang menambah pasal kalian tinggal serumah?” tanya Jessy, yang kemudian mendapat anggukan kepala dari Katrin.
“k*****t! Dia mengambil kesempatan - Ah sialan!”
Jessy melirik Katrin yang duduk di sebelahnya. Wajah Katrin tampak lesu, pandangannya kosong menembus kaca jendela. Padahal, setiap kali proposalnya disetujui klien, dia selalu jadi orang pertama yang tersenyum puas dan langsung sibuk membuat daftar to-do.
Tapi sekarang, seolah semua itu tidak lagi berarti.
“Aku kira dia sebaik Darion, atau paling tidak … Julien?” Jessy mencoba mengingat siapa saja teman Darion selain Reins.
Hening sejenak. Tidak ada respon dari Katrin. Sebenarnya selain Reins, masih ada pilihan lain. Tapi pastinya Katrin tidak akan mau ke sana.
Di Belgia, selain keluarga Greyson yang mengambil alih dunia bisnis, masih ada keluarga Moretti.
Bisa dibilang, kekuatan keluarga Greyson dan Moretti nyaris seimbang, hanya saja, bisnis berbeda bidang. Andai mereka satu bidang, mungkin kedua keluarga ini bisa menjadi rival yang saling menjatuhkan. Sayangnya, keduanya justru berteman.
“Katty … andai jika bisa … apa tidak ingin membuat kerjasama dengan keluarga Moretti?”
Katrin langsung menoleh skeptis.
“Aku dengar, lusa depan, dia kembali dari Los Angeles.”