Kontrak Tanpa Cinta, atau sudah?

1395 Words
Brussel hari ini tak sedingin kemarin. Suhunya sedikit menghangat, di atas sepuluh derajat, tapi angin mulai berhembus membawa hawa dingin ke penjuru kota, menggesek dedaunan yang belum sempat gugur, menggerakkan tirai jendela, dan menyusup masuk hingga ke tulang. Di dalam mobil yang melaju perlahan, Katrin duduk dalam diam. Gaun hijau zamrud yang membalut tubuhnya tampak anggun, tetapi tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang ia rasakan. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, sesekali meremas pelan. Akhirnya, langkahnya sampai di titik ini. Sebuah pernikahan tanpa cinta, yang diputuskan demi kepentingan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa hidup akan membawanya ke persimpangan seperti ini. Meraih impian, dengan menukar hati. Pikiran itu membuat sudut bibir Katrin terangkat. Sebuah senyum sinis merekah tanpa sadar. Lucu, pikirnya. Takdir memang seringkali datang dengan cara yang paling tak terduga, kadang menyamar sebagai kemenangan, padahal hanya sebuah kompromi. Mobil melambat perlahan, kemudian berhenti persis di depan gedung berarsitektur klasik. Napas Katrin tercekat sesaat, jantungnya berdegup kencang saat tangannya gemetar meraih pegangan pintu. Namun sebelum ia sempat membuka pintu, seorang pria dengan jas hitam sudah lebih dulu membukanya dari luar dengan sigap. “Nona Katrin, mohon ikut saya.” Nada bicaranya terdengar sopan, tapi tegas. Ia tak memberi penjelasan lebih lanjut, hanya menunjuk ke sebuah mobil Bentley hitam yang terparkir menunggu di belakang. Katrin menelan ludah, perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Ia tak berani bertanya apa-apa, hanya mengikuti langkah pria itu menuju mobil. Begitu pintu terbuka, aroma maskulin yang familiar langsung menyergapnya. Hangat, tajam, dan selalu sukses membuat jantung Katrin berdebar. Jelas Katrin tahu aroma ini. Ia mengingatnya dengan baik, moment mereka amat dekat dan logika terlanjur lepas kendali. Wajah Katrin memerah. Ia buru-buru menunduk, menolak bertemu pandang dengan pria di sebelahnya. Untuk sesaat, ia membenci dirinya sendiri yang nyaris terbawa perasaan. Sementara Reins masih terlihat se-dingin sebelumnya, ia bahkan tidak menoleh. Tanpa basa basi membuka map hitam, menarik selembar dokumen, dan meletakkannya di pangkuan Katrin. “Tanda tangan di sini.” Suaranya datar, dingin, tidak mengandung sedikit pun empati. Seolah semua ini hanya transaksi biasa, seperti membubuhkan nama di atas laporan bank. Katrin menelan ludah. “Aku sudah membuat kontrak. Coba lihat du—” “Kita tidak dalam posisi bernegosiasi.” Nada itu tak meninggi, tapi cukup tegas untuk membanting seluruh rasa percaya dirinya ke dasar. Katrin mengulum bibir, menahan diri untuk tidak emosi. Sekali lagi, ia dipatahkan tanpa diberi kesempatan. Matanya menelusuri kontrak milik Reins. Tidak banyak pasal, tapi cukup menjelaskan bahwa kendali penuh berada di tangannya. Mulai dari ketentuan tempat tinggal, batas peran di ruang publik, hingga hak atas keputusan-keputusan penting selama pernikahan kontrak berlangsung. Katrin memejamkan mata sejenak. Tarikan napasnya terasa berat. Tapi seperti yang sudah ia tahu dari awal, kalau dia sudah terlanjur basah, satu-satunya jalan adalah berenang. “Aku tidak punya waktu banyak.” Reins berkata lagi, kali ini sambil membuka pintu mobil. “Kalau dalam dua menit kau tidak masuk ke dalam gedung itu, lupakan saja pernikahan kontrak ini.” Dia turun tanpa menunggu jawaban. Katrin menatap pintu yang kini tertutup, lalu menunduk ke berkas di pangkuannya. Genggaman tangannya mengencang. “Ini jurang, Katrin. Jurang lain yang disamarkan dalam janji legalitas!” desisnya, lalu tangannya bergerak menandatangani kontrak. Begitu ia keluar, Reins sudah berdiri menunggu, dikelilingi dua staf yang sigap. Semua berkas sudah diproses oleh asistennya. Mereka hanya tinggal membubuhkan tanda tangan resmi, menunjukkan identitas, dan menjawab beberapa pertanyaan. Dan sepuluh menit kemudian, segalanya selesai. Suara pintu kantor catatan sipil tertutup di belakang mereka seperti penanda, sepasang suami-istri baru saja keluar, terikat dalam kontrak yang tak punya cinta. Reins berhenti sejenak di sisi mobil. “Dua hari lagi, aku jemput di depan Ivory,” katanya tanpa menoleh. “Anda benar-benar seenaknya, Tuan Greyson,” lirih Katrin, tapi cukup jelas untuk membuat Reins menoleh. Sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Ia menatap Katrin tajam, lalu membalas dengan nada rendah menusuk, “Kalau aku seenaknya, kau sudah menjerit di bawah tubuhku!” Lima langkah memisahkan mereka, tapi panasnya terasa seperti menyala di udara. Katrin tersenyum tipis, menusuk balik, “Dengan milikmu yang kurang dari sepuluh senti itu?” Reins nyaris tergelak dalam emosi.“Dua hari lagi. Kau masih punya waktu selama dua hari,” ucapnya akhirnya. Suaranya serak, rendah, seperti menahan ledakan yang belum sempat pecah. Tanpa menunggu balasan, ia melirik ke samping. “Kalau butuh sesuatu, hubungi dia.” Telunjuknya menunjuk seorang wanita yang berdiri anggun di samping mobil. Louisa De Lamare. Rambut pirangnya digelung rapi, wajahnya tenang dan profesional. Mata kecoklatan itu memancarkan kesopanan yang dingin. Ia melangkah mendekat, memberi anggukan kecil. “Selamat siang, Nona Katrin. Saya Louisa, sekretaris Tuan Reins. Anda bisa menghubungi saya jika membutuhkan bantuan,” katanya sambil menyerahkan selembar kartu nama dengan gerakan elegan. Katrin sempat kehilangan fokus. Pandangannya mengejar sosok Reins yang sudah masuk ke dalam mobil, pergi begitu saja, seperti biasa, seolah tak pernah peduli. “Terima kasih, Louisa. Saya simpan ini,” katanya sambil menerima kartu itu. “Tak perlu terlalu formal, Nona,” balas Louisa ringan. “Silakan bicara dengan nyaman pada saya.” Sikap wanita itu sangat terukur, ramah tapi tak berlebihan. Katrin mengangguk kecil, lalu menghembuskan napas panjang. “Apakah Anda ingin kembali ke Ivory? Atau perlu saya antar ke tempat lain?” “Terima kasih, Louisa. Saya simpan ini.” Hari ini benar-benar kacau. Katrin nyaris tidak bisa memprediksi apa pun. Dari isi kontrak, sikap Reins, bahkan durasi seluruh proses. Ia pikir semuanya akan memakan waktu lama. Tapi nyatanya, selesai secepat kilat. Jika dihitung sejak ia keluar dari Ivory, setidaknya satu jam lebih sepuluh menit. Masih ada waktu untuk mengurus pekerjaannya. “Jika tidak keberatan, tolong antarkan aku ke Atomium.” **** Di dalam mobil Bentley, Reins menyalakan sebatang rokok. Jendela bagian belakang dibiarkan terbuka sedikit, angin musim dingin menyusup masuk, menyentuh kulitnya yang tegang dalam diam. Asap mulai memenuhi seat belakang, menyelimuti dirinya seperti kabut. “Kau yakin menikah dengannya, Reins?” tanya Hugo yang duduk di depan menemani Erza mengemudi. Reins tidak langsung menjawab. Matanya tetap menatap ke luar. Bibirnya mengapit rokok, menarik napas pelan sebelum menjawab datar, “Kau punya masalah?” “Hanya penasaran.” Hugo menoleh setengah, nada bicaranya sedikit turun. “Kau tahu dia suka Darion, bukan?” Reins menyandarkan kepala ke sandaran, menutup mata. Tentu saja dia tahu. Katrin menyukai Darion. Tapi itu dulu. Atau mungkin ... masih? “Lalu apa masalahnya? Dia menolaknya,” jawab Reins akhirnya. Terdengar helaan napas berat dari bangku depan. Hugo melirik ke arah Erza, mencari dukungan. Namun Erza hanya mengedikkan bahu, ekspresinya netral. Mereka berlima dulu teman sekampus. Reins, Hugo, Julien, dan Darion. Erza satu-satunya pengecualian, bukan dari kampus mereka. Tapi kedekatannya sudah cukup membuatnya menjadi bagian dari lingkaran itu. Sama seperti Katrin dan Jessy. Perempuan-perempuan yang pernah duduk dalam lingkar kecil mereka. Bedanya, para pria punya satu kelemahan, yaitu ego mereka terlalu besar. “Huh, aku tidak ikut kalau kalian nanti saling todong Glock!” cetus Hugo tiba-tiba. Reins menyeringai samar, rokok di jarinya menyala ujungnya. “Glock terlalu sepi. Satu tembakan, satu korban. Tidak menarik. Lempar granat lebih seru. Sekali meledak, semua mati.” Hugo menoleh cepat. “What the f**k! Kau gila!” teriaknya. “Erza, hentikan mobilnya! Aku turun!” Erza melirik ke kaca tengah, menunggu isyarat. Saat Reins mengangguk ringan, Erza langsung menepi. Hugo tak menunggu mobil benar-benar berhenti saat menarik handle pintu dan keluar. “Kau juga. Keluarlah,” ucap Reins. Sebagai asisten, Erza tahu batas. Ia tidak punya hak untuk membantah. Tidak seperti Hugo, yang bisa bicara dengan Reins tanpa filter. Ia pun keluar, menutup pintu dengan hati-hati. Keheningan segera turun, hanya disisakan suara musik jazz instrumental yang mengalun pelan dari speaker kabin. Reins kembali menyandarkan kepalanya. Rokoknya hampir habis. Tapi pikirannya baru mulai terbakar. Bayangan Katrin muncul begitu saja, gaun hijau zamrud yang membalut tubuh rampingnya, aroma tubuhnya yang khas, wangi samar dari parfum vanilla musky. Tapi yang paling mengganggu, adalah bekas kissmark yang samar di lehernya. Leher yang seharusnya bersih saat datang ke kantor catatan sipil tadi pagi. SHIT! Reins menyeringai kecil, mengangkat dagu, lalu menghisap rokoknya lagi. Panas kembali merambat di nadinya. Aroma samar Katrin yang tertinggal membakar ujung logika. “Kurang dari sepuluh senti, ya?” gumamnya rendah, suara serak di ujung tawa yang tertahan. Tangannya turun, meremas batang yang sudah tegang entah sejak kapan. Jemarinya menggurat jalur pelan, gerakan yang lebih menyiksa daripada melegakan. Satu desahan lolos dari tenggorokan Reins. Keras, tapi tertahan. “Ugh … sialan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD