Lebih dari sepuluh tahun, Jessy Monro mengenal Katrin. Persahabatan mereka dimulai sejak duduk di bangku sekolah menengah atas dan berlanjut hingga masa perkuliahan.
Hampir seluruh kepingan hidup telah mereka bagi bersama, nyaris tanpa kurang satu bagian. Bahkan bisa dibilang, Jessy termasuk orang yang paling mengenal Katrin, lebih dari siapapun. Dan hanya dia yang benar-benar tahu seberapa besar perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu.
Dulu, semasa sekolah, Katrin dikenal sebagai gadis periang, juga sangat manja. Namun semuanya berubah sejak kabar duka itu datang. Ibu Katrin, Amelia Isadora, meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker.
Jessy menyaksikan sendiri betapa terpukulnya Katrin kala itu. Namun rasa kehilangan itu masih belum seberapa, dibanding saat Mark memutuskan menikah lagi dengan Marie Anne. Sejak itu, hidup Katrin berubah total. Terlebih ketika Mark menegaskan bahwa Jeremy, anak tirinya, akan menjadi penerus bisnis keluarga.
Gadis kecil yang amat manja itu seakan dipaksa menghadapi penyisihan akhir tanpa bisa protes.
Sayangnya, Katrin menolak untuk patuh. Pemberontakan pertama dimulai dengan mengambil uang peninggalan ibunya. Lalu mulai mendirikan Ivory Bliss lima tahun lalu.
Jessy juga tahu, Ivory bukan sekedar bisnis, tapi segalanya bagi seorang Katrin.
Itulah mengapa saat mendengar pengakuan Katrin tentang Reins, d**a Jessy terasa sesak. Karena pada akhirnya, keadaan memaksa menggunakan cara seperti ini.
“Maaf, Kat. Andai aku lebih bisa diandalkan. Andai aku cukup mampu membantumu …” Suara Jessy bergetar saat memeluk Katrin. “Kau tidak perlu sampai—”
“Jess.” Katrin memotong pelan, tapi tegas. Dia menatap Jessy, “Aku tidak butuh simpati. Aku hanya butuh kau tetap di sisiku. Fokus. Kita belum kalah.”
Jessy terdiam. Tangisnya tersangkut di tenggorokan, nyaris tumpah, tapi ia mengangguk.
Katrin tersenyum tipis, sedikit getir namun tetap berdiri tegak. “Tidur dengannya bukan akhir dunia. Aku tahu yang aku lakukan. Kalau ini caraku merebut kembali kendali, maka aku tidak akan menyesal.”
Dan seperti biasa, meskipun dunia berkali-kali menghancurkannya, Katrin Raven selalu kembali berdiri, lebih tegak dari sebelumnya.
Setelah menenangkan Jessy, Katrin tidak ingin membuang waktu. Ada banyak hal yang harus ia kejar sebelum akhir tahun.
Pernikahan keluarga diplomat Belgia yang tinggal menunggu persetujuan akhir, gala dinner perusahaan teknologi asal Jerman yang baru membuka cabang di Brussel, hingga pesta pertunangan klien tetap mereka dari Italia yang terkenal perfeksionis.
Semuanya membutuhkan fokusnya.
Di meja sebelah, sebuah map biru tua terbuka. Di dalamnya, proposal yang tengah ia susun untuk mengikuti Festival Musim Panas Brussel, ajang tahunan paling bergengsi yang selalu menarik perhatian pers, influencer, dan sosialita ibukota.
Tahun ini, panitia membuka kesempatan bagi penyelenggara acara independen untuk turut serta dalam perencanaan segmentasi festival. Dan Katrin tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Dengan mengenakan syal cokelat tipis yang menutupi lehernya, Katrin menyesap kopi barunya. Ia membuka laptop, mulai merapikan draft proposalnya, mengatur budget, menggambar garis waktu produksi, dan menyesuaikan tema dengan atmosfer festival, elegan, hangat, dan bernuansa klasik Eropa.
Sesekali, Jessy menatapnya dari meja seberang. "Kau serius mau ambil bagian di festival itu?"
Katrin tidak mengangkat wajahnya. Ia hanya menjawab sambil mengetik, "Aku tidak akan selamanya jadi putri yang dibuang. Sudah waktunya dunia tahu siapa Katrin Isadora Raven."
Jessy tersenyum senang. Ya, memang begitulah Katrin, penuh semangat dan menggebu-gebu.
“Yah, ini memang peluang besar. Ivory akan naik jika terpilih, tapi kau tau siapa saja pesaing kita?”
Katrin menggeleng, “Tidak. Tapi ….” Dia menatap Jessy, “Kita akan mendapatkan ini, Jess. Raven tidak akan menekan kita lagi.”
Dan satu lagi, dia juga selalu percaya diri untuk urusan bisnis.
***
Sinar mentari senja mulai menyorot masuk, menyusup pelan melalui jendela besar yang menghadap barat. Cahaya keemasan itu menari lembut di meja kerja, memantul di layar laptop, dan menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Lantai dua sudah sepi sejak satu jam lalu. Lima anggota tim telah pulang lebih dulu. Hanya tersisa dia dan Jessy.
Katrin masih bertahan, memaksa diri menuntaskan semua laporan dan agenda hari ini. Tapi semakin sore, pikirannya makin berantakan, konsentrasinya terkikis sedikit demi sedikit.
Pergulatan semalam muncul samar-samar di benaknya, seperti kilas balik yang enggan pergi. Desahan, kulit menyentuh kulit, tatapan yang dalam namun tidak pasti.
"Harusnya ini jadi pengalaman pertama ... dan harusnya sakit. Tapi..." Ia menatap kosong ke meja, lalu memegang perut bagian bawahnya.
“Nyeri, tapi cuma sedikit. Apa ... punya dia kecil? Berapa ukurannya?”
“Delapan centi?" Katrin menggeleng pelan, mengerucutkan bibirnya.
“s**t, itu sih tak sebanding dengan badannya!”
Ia mendesah, menunduk sambil mengetukkan pensil ke meja. “Atau jangan-jangan ... aku terlalu kebal?”
Semakin dipikirkan, wajahnya makin panas, buru-buru ia mengibaskan tangannya, seolah bisa menyapu pergi pikiran-pikiran tak senonoh itu.
“Emm, Catt. Tuan Edward ingin membahas perencanaan besok. Kau ada waktu?”
Katrin tersentak, langsung menaikkan tangannya ke atas meja. “Besok? Aku sudah ada janji, bukannya aku sudah bilang?”
“Janji? Dengan siapa? Seingatku, kau belum mengatakan apapun.”
“Oh,” Katrin mengangguk pelan, seolah baru teringat sesuatu yang penting. “Sepertinya aku lupa memberitahumu. Besok siang aku ada janji ke kantor catatan sipil. Dengan Reins.”
Jessy langsung menoleh tajam, tak bisa menyembunyikan rasa kaget serta penasaran. “Untuk apa?”
Katrin menatapnya tenang. “Menikah.”
“KATRIN ISADORA!!!” jerit Jessy, nyaris membanting pulpen di tangannya.
“Dia menipumu sampai sejauh apa? Menikah?” Jessy berdiri dengan geram, melangkah cepat menuju meja kerja Katrin. “Ini bukan perkara sepele, Katty!”
Katrin hanya tersenyum tipis. Ia memutar cangkir kopinya perlahan, sebelum menatap Jessy dengan tenang.
“Harga diriku terlalu tinggi, Jessy. Aku tidak mau terlihat seperti perempuan murahan yang tidur dengan pria tanpa ikatan.” Lalu suaranya merendah. “Lagi pula, semua sudah sejauh ini. Bukankah lebih baik kita memanfaatkannya sebaik mungkin?”
Tak perlu penjelasan lebih lanjut, Jessy tahu persis apa maksudnya. Katrin tidak hanya berusaha menyelamatkan harga dirinya, tetapi juga melihat peluang besar dalam pernikahan kontrak ini. Kerja sama yang bisa didorong untuk mengangkat nama Ivory Bliss jauh lebih tinggi, mungkin lebih dari yang pernah mereka bayangkan.
Ah … ia akhirnya sadar. Kenapa Katrin bisa begitu percaya diri mengikuti festival musim panas tahunan.Ternyata, ada harga mahal yang harus dibayar untuk keberanian itu.
Jessy menggigit bibir bawahnya, rahangnya mengeras menahan emosi. Ia tahu betapa keras sahabatnya itu berjuang membesarkan bisnis ini, hingga akhirnya dipercaya oleh klien-klien besar. Tapi, dia juga tahu, tekanan keluarga Raven tidak main-main.
Dengan napas berat, Jessy menghempaskan diri di kursi di sebelah Katrin. Ia membuka laptopnya dengan gerakan cepat.
“Baiklah. Katakan apa saja isi kontraknya. Aku yang akan susun semuanya. Aku pastikan kau tidak dirugikan sedikit pun. Menikah ya menikah saja, sialan! Tapi jangan sampai dia menyentuh satu sen pun milikmu tanpa hitam di atas putih.”
Katrin hanya menanggapinya dengan senyum miring. “Mau bagaimana lagi? Apa aku perlu memakai gaun dari persiapan pernikahanku yang lama?”
Jessy langsung menoleh tajam.
“Tidak! Daftarkan saja pernikahan sialan itu di kantor catatan sipil. Tanpa upacara. Tanpa resepsi. Dan ingat, kalau dia berani macam-macam, aku sendiri yang akan turun tangan!”
Katrin cukup terhibur dengan perkataan Jessy. Setidaknya, dia masih punya seseorang yang mendukungnya, meski hanya sedikit. Namun, rasa gugup yang menggelayut di dadanya tak bisa dipungkiri.
Kesunyian malam perlahan menelanjangi semua lapisan ketegarannya. Pandangannya jatuh ke meja kerja yang persis di hadapannya. Berkas-berkas kontrak pernikahan yang baru saja disusun masih terbuka lebar. Setiap pasal dan ketentuan itu terngiang di kepalanya, menambah beban yang semakin berat di d**a.
“Kau pasti akan tertawa kalau tahu keputusan bodoh ini, Ma,” gumamnya pelan, menatap sebingkai foto remaja dirinya dalam pelukan Amelia. “Aku juga tidak bisa mundur. Suamimu itu, memang selalu egois.”
Ia mencoba memejamkan mata, mencoba melupakan segalanya. Namun hingga matahari bersinar keemasan keesokan paginya, ia tak pernah benar-benar tidur.
“Katty…” suara lembut memanggil dari pintu. Jessy sudah datang, dua jam lebih awal dari biasanya, seolah ingin memastikan Katrin tidak tertekan.
Tapi melihat sahabatnya sudah tampil dengan begitu cantik, dia tersenyum lega. “Ada mobil menunggu di bawah,” ujarnya kemudian.
“Oke, aku turun. Tolong nanti awasi venue Nona Rowena dan Tuan Fedrick. Aku sudah mengirimkan pesan semalam, dia setuju lokasinya pindah ke Golden Premier.”
“Tidak perlu khawatir tentang itu. Zane dan Samantha tidak akan mengecewakanmu.”
Katrin melangkah turun dengan gaun hijau pekat selutut, sepatu boot pendek mengikutinya tenang. Rambut cokelatnya tergerai bebas, bergerak lembut tiap langkahnya. Tak ada coat, tak ada aksesori berlebihan, cukup dirinya dan tekad yang sudah bulat.
Dia sudah membawa dokumen perjanjian, rapi dalam map kulit berwarna marun. Rencananya, Katrin akan minta tanda tangan Reins sebelum mereka bersama-sama pergi ke kantor catatan sipil. Namun kenyataannya berbeda.
“Tuan Reins akan menyusul langsung ke kantor catatan sipil, Nona.”
“Menyusul? Bukankah ….”
Katrin menghentikan pertanyaannya. Ia menangkap senyum ramah di wajah si pria, namun senyum itu terlalu kosong untuk menawarkan jawaban. Sepertinya, pria itu memang hanya ditugaskan menjemput. Bukan menjelaskan.
Katrin menghela napas, menggenggam erat map di tangannya. “Baiklah, ayo pergi.”