Keheningan kamar masih lekat saat cahaya tipis menyusup dari celah tirai. Reins belum bergerak. Katrin juga tidak. Pembicaraan tentang pernikahan masih menggantung di udara, belum sempat dibalas, seolah waktu ikut menahan napas, menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Namun sebelum keheningan itu pecah oleh suara siapapun, ketukan pelan di pintu tiba-tiba menyela, memotong ketegangan yang belum sempat mencair.
Reins bangkit perlahan. Langkahnya tenang, seakan tidak terburu-buru meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab. Ia membuka pintu, lalu menerima beberapa paper bag dari seorang pria berseragam hotel. Tak ada dialog, hanya tukar pandang singkat dan anggukan sopan sebelum Reins menutup pintu.
“Kompensasi. Bajumu kotor,” ucap Reins santai.
Katrin menoleh cepat. Tatapannya tajam, curiga. “Apa maksudmu?”
Reins tidak menjawab langsung. Dia mengenakan kembali kemejanya yang semalam terlepas entah ke mana. Satu per satu kancing tertutup rapat di balik jemarinya yang terlalu tenang untuk pria yang baru saja bangun dari ranjang wanita.
“Tawaranmu ... aku pertimbangkan.”
Katrin sontak berdiri, kaget dan kesal bercampur jadi satu. “Apa maksudmu dipertimbangkan? Kita sudah tidur—maksudku ... ah, sialan! Lalu semalam untuk apa?”
Reins menaikkan satu alis, seolah pertanyaan itu terlalu sederhana untuk dibahas pagi-pagi.
“Semalam?” Ia mengancingkan kemeja pelan-pelan, lalu melangkah mendekat.
“Kau sendiri yang merengek, minta aku membawamu pergi dari para sampah itu? Atau ....”
Bibirnya tersenyum miring, “... ini semua memang sudah kau rencanakan sejak awal? Pura-pura tersudut, menggodaku, lalu menawarkan pernikahan.”
Mata Katrin membelalak. Rahangnya mengeras. Hatinya membuncah, ingin meledak, membakar, menghancurkan.
“Reins! Kau gila!” Suaranya bergetar.
“Memang serendah apa aku di matamu?!”
“Kau selalu saja menggebu-gebu.” Nada suara Reins tetap datar.
Dia memang begitu, terlalu tenang, terlalu santai. Seakan apa yang terjadi semalam tak lebih dari pemuasan hasrat antar orang dewasa.
Katrin tertegun. Napasnya memburu. Ia masih berdiri di sisi ranjang, nyaris telanjang. Kulitnya penuh jejak kissmark, bekas gigitan, juga sisa hasrat.
“Kita sepakat!” katanya keras. Tapi suaranya malah terdengar rapuh. “Kau sendiri yang bilang semalam ...”
Reins meraih sabuk, mengikatnya tanpa tergesa. Tatapannya masih menusuk Katrin. Seolah tubuh perempuan itu hanya latar belakang percakapan pagi yang membosankan.
“Sepakat?” Alis Reins terangkat sedikit. “Kita sepakat kerja sama. Bukan pernikahan.”
Sungguh, Katrin hampir kehilangan kendali. d**a dan pikirannya berkecamuk hebat. Dia bukan anak kecil yang bermain-main dengan harga diri. Pernikahan itu bukan permintaan tanpa alasan.
Kerja sama dengan Reins jelas bukan hal sederhana. Cepat atau lambat, pria itu pasti akan mendorongnya melewati batas lagi. Dan Katrin tidak sudi menjadi perempuan yang tidur dengan pria tanpa ikatan, seperti p*****r murahan.
“Kontrak,” ujarnya pelan, nyaris patah. Bibirnya bergetar, seperti hendak menelan keputusasaan itu bulat-bulat.
“Pernikahan kontrak. Hanya antara kita. Tidak akan ada yang tahu.”
Suara Katrin lirih, tapi tegas. Ini bukan sekadar kompromi. Ini pertahanan terakhir dari harga dirinya yang tersisa.
“Aku ... bisa memuaskanmu, kapan pun.”
Kalimat itu keluar dalam satu hembusan napas. Tidak genit. Tidak menggoda. Hanya sebuah pengakuan yang getir, dari seseorang yang tahu betul dirinya berada di ujung tebing.
"Anda ... hanya perlu melepas jerat keluarga Raven dari jalan bisnis saya." Dia bicara dengan sopan, setengah memohon.
Hanya itu yang dia inginkan, dia hanya ingin menyingkirkan kekuasaan ayahnya dari bisnisnya. Soal bagaimana dia menjalankan perusahaan, dia bisa mengatur semuanya.
Reins terdiam, cukup lama. Memperhatikan tangan Katrin mengepal, bahunya berguncang. Air matanya jatuh menetes di atas lantai.
"Besok jam sepuluh pagi. Kujemput di Ivory!"
Hanya itu. Lalu Reins melangkah pergi, meninggalkan bau parfum mahal dan sisa panas tubuh di udara.
Begitu pintu menutup, Katrin jatuh terduduk di lantai, tangisnya pecah, terisak-isak.
Cukup lama ia duduk di sana, nyaris menyesali keputusannya. Namun setelah berpikir berulang kali, ia bangkit, menghapus air mata, lalu meraih paper bag yang diberikan Reins.
Gaun rajut berlengan panjang berwarna netral membungkus tubuh Katrin dengan elegan, sementara syal tipis menutupi lehernya, menyembunyikan bekas-bekas yang tidak ingin ia lihat, apalagi orang lain.
Semua tampak begitu pas, seolah Reins tahu persis ukuran tubuhnya.
“Oh, kebetulan apa ini?”
Katrin berdecak, tapi tak punya waktu memikirkan semuanya, memutuskan segera pergi dari hotel dan bekerja. Ini sudah hampir makan siang, Jessy pasti mengomel.
Musim gugur di Brussels memang tak pernah main-main. Suhu pagi itu nyaris menyentuh sepuluh derajat. Ia bersyukur Reins juga menyertakan coat panjang dalam tas belanja.
Begitu memasuki ruang utama Ivory Bliss, suara Jessy langsung menyambut kedatangan nya.
“Dari mana saja? Ini sudah hampir jam makan siang,” tegurnya.
Katrin melepaskan coat dengan perlahan, menggantungnya di rak dekat pintu, berusaha tetap tenang meskipun tubuhnya masih sedikit gemetar, entah karena dingin atau perhelatan semalam masih membekas.
Kantor Ivory Bliss hanya terdiri dari tiga lantai sederhana tapi cukup fungsional. Lantai pertama dirancang untuk menyambut pelanggan, dengan ruang konsultasi bernuansa hangat.
Sedangkan tempat diskusi konsep, menyusun agenda, dan menggelar rapat kecil di tempatkan di lantai dua. Lalu lantai tiga … bisa dibilang markas kecil Katrin. Dia bekerja dan mengamati semuanya dari sana.
Dulu, di lantai itu juga ada gudang kecil tempat menyimpan sisa barang, tapi sejak sebulan lalu tempatnya berubah menjadi kamar darurat.
“Katrin! Jawab dulu,” tegur Jessy, kesal sudah diabaikan.
“Di luar dingin, Jess. Aku butuh kopi panas,” sahut Katrin sambil berjalan ke arah pantry.
Jessy menghela napas panjang, lalu menyusul di belakangnya. Ia memilih diam, menahan diri untuk tidak langsung mengomel, meski banyak yang ingin ia katakan.
“Bagaimana dengan venue Nona Rowena? Dia menyetujui konsep dari Zane?” tanya Katrin, tangannya meraih cangkir.
“Jadwal mereka siang ini. Zane akan pitching langsung,” jawab Jessy singkat.
Ia tahu Katrin sedang menghindari topik lain, tapi tetap meladeni. Jessy cukup profesional untuk urusan pekerjaan, tidak peduli selama apa mereka bersahabat, tapi di kantor, mereka adalah rekan kerja.
Tapi melihat Katrin tidak membicarakan pekerjaan lagi, dia akhirnya bertanya. “Mau sampai kapan menghindar? Kau pergi minum semalam?”
Katrin hanya menyeruput kopinya pelan, mencoba menenangkan pikirannya.
Kedatangan Mark kemarin memang menarik perhatian para staf, termasuk Jessy. Entah sudah jadi kebiasaan atau apa, setiap kali bertemu Mark, Katrin akan pergi minum. Jessy pasti menebak itu.
Sambil menoleh, Katrin menjawab. "Jess ... aku tidur dengan Reins."