“Ziya, bangun, Ziya.” Mahesa mengguncang tubuh Ziya. Jantungnya berhenti berdetak ketika darah dari lubang hidung Ziya dan kepalanya mulai mengucur. Mahesa mendekap tubuh Ziya erat. Bercak darah Ziya kini menempel dan membasahi bagian depan kemejanya. Hanya berselang beberapa menit, suara derap langkah beberapa kaki terdengar olehnya. Enah terperangah melihat kondisi Ziya yang berada dalam dekapan Mahesa. Ia menutup mulutnya karena sengatan rasa kaget lalu bertanya, “Ya, Allah! Ada apa ini, Pak?” Mahesa masih terhipnosis rasa panik dan bersalah. Tubuhnya membeku memeluk Ziya dan ia hanya diam tidak bisa berkata apa-apa. Napasnya masih terengah-engah karena rasa takut kehilangan begitu kuat melilit dirinya. “Pak.” Didi berhenti berjalan beberapa puluh sentimeter di samping Mahesa. Ia