Bab 2

1668 Words
Stella Pov Menjadi keturunan terakhir Mc Carty adalah suatu kebanggaan tersendiri dan juga beban besar yang harus aku pikul seumur hidup. Umurku saja belum menginjak tujuh belas tahun tapi aku bisa menggerakkan benda dan menghancurkan batu besar dan keras hanya dengan mengucapkan mantra yang entah dari mana bisa muncul begitu saja di otakku. Seharusnya aku senang dengan hanya menggerakkan tangan dan merapal mantra, apapun yang aku inginkan bisa selesai dengan cepat tapi membaca situs itu membuatku bergidik ngeri. Aku takut nasibku akan sama seperti nenek Arabella, dimusuhi warga kota hanya karena ilmu sihir yang kami miliki. “Ya ampun! Sepuluh menit lagi supir keluarga Ferguson akan datang dan pesanan mereka belum juga selesai, ya Tuhan aku butuh bantuan-Mu!” Aku menengadahkan kepalaku ke langit dan meminta Tuhan menurunkan bala bantuan supaya pekerjaan melelahkan ini cepat selesai dan aku bisa melihat pesta kembang api di taman kota bersama Eduardo. Tinnnnnnn Sepuluh menit berlalu dan supir keluarga Ferguson sudah datang untuk mengambil pesanannya. Aku semakin panik dan berusaha untuk mengingat mantra yang tadi membantuku, aku berjalan mondar-mandir dan mencoba sekali lagi mengingat mantra. Aku janji ini terakhir kalinya aku merapalkan mantra. Aku tidak mau dicap sebagai penyihir jahat dan setelah semua pekerjaan ini selesai aku tidak akan pernah lagi merapalkan mantra, ujarku dalam hati. “Ah iya.” Aku mencoba untuk berkonsentrasi dan mulai merapalkan mantra yang aku ingat. “Stalademima amora … amora.” Ya ampun! Kenapa aku sampai lupa mantra itu. Beberapa kotak makanan beterbangan dan akhirnya jatuh di lantai. Untungnya tidak ada kotak yang rusak ataupun tumpah. “Permisi, saya supir keluarga Ferguson.” Ketukan di pintu membuatku semakin panik. “Iya sebentar Tuan.” Aku mencoba mengingat sekali lagi dan setelah pikiranku tenang barulah aku mencoba merapalkan kembali mantra tadi. “Stalademima amoranata.” Kotak-kotak itu langsung tersusun rapi sesuai dengan keinginanku. Kardus-kardus kosong mulai terisi dan aku tinggal mengikatnya supaya supir keluarga Ferguson tidak kesulitan saat memasukkan kardus- kardus ini ke dalam mobilnya. Tok tok tok “Nyonya Mc Carty.” Panggilan supir keluarga Ferguson semakin membuatku panik. Aku kembali merapalkan mantra yang sama dan kotak-kotak itu mulai tersusun lebih cepat dibandingkan saat aku merapal mantra yang pertama. “Iya sebentar.” Setelah yakin semua pekerjaanku beres barulah aku membuka pintu dan melihat laki-laki berusia beberapa tahun di atasku sedang menunggu dengan raut muka masam. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan mempersilakan supir itu mengambil pesanannya. “Maaf atas keterlambatannya dan tolong sampaikan pesan ke Sir Ferguson kalau malam ini saya sangat senang bisa membantu beliau memberi makan warga kota.” Aku berusaha meminta maaf tapi supir itu membalasnya dengan gerutuan dan ocehan yang tidak terlalu aku dengar. Bahkan dia mengabaikan pesan yang tadi aku minta sampaikan ke majikannya. “Sombong sekali dia,” gumamku pelan sambil menutup pagar. Saat akan masuk, aku melihat seorang laki-laki asing sedang menatapku dengan sorot mata tajam. Matanya yang biru memancarkan kebencian dan juga dendam. “Tuan kenapa melihat saya seperti itu?” tanyaku dengan berani. “Penyihir,” balasnya singkat sebelum pergi. Tubuhku langsung bergetar hebat dan takut rahasia tentang aku memiliki ilmu sihir akan mengancam jiwa dan keselamatanku. “Ah, mungkin saja laki-laki itu sedang mabuk.” Aku mencoba berpikir lebih positif dan melanjutkan rencanaku untuk melihat pesta kembang api di taman kota. **** Biasanya taman kota tidak seramai malam ini. Perayaan hari Kemerdekaan tahun ini berbeda dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu hanya ada festival tapi tahun ini Sir Ferguson sebagai walikota mengadakan pentas seni yang menampilkan seniman- seniman ternama. Termasuk mengundang Alexander Tyler salah satu model ternama yang berasal dari kota ini. Model yang dulunya merintis karier dari bawah, namanya masuk ke dalam daftar model kelas atas dan menurut majalah yang aku baca sebentar lagi Alexander Tyler akan mulai merambah dunia modeling internasional. Jujur aku menyukai Alexander yang menurutku memiliki tubuh proporsional untuk ukuran laki-laki zaman sekarang. Tubuhnya atletis, wajahnya keras, dan mata dark grey yang jarang dimiliki warga Long Island semakin menambah kesan maskulin. “Stella, apa yang kau lakukan di sana?” Lamunanku tentang Alexander Tyler buyar saat mendengar suara Rachel memanggilku. Rachel Ferguson, sahabat karib dan putri satu-satunya Sir Ferguson. Kami sudah bersahabat sejak kecil bahkan dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku dan Mommy dibanding bersama Daddy-nya. “Hai Rachel.” Aku menyapa lalu mendekatinya. “Aku dengar selentingan kabar kalau malam ini Alexander Tyler akan hadir dan memberi selamat hari Kemerdekaan untuk kota kita ini,” sambungku dengan antusias. “Alexander Tyler?” “Kau tidak mengenalnya?” tanyaku tidak percaya. Zaman sekarang siapa yang tidak mengenal Alexander Tyler. Wajahnya selalu terpampang di cover majalah dan iklan-iklan di televisi dan Rachel si gadis kutu buku ini tidak pernah melihatnya, ah tentu saja tidak. Rachel selalu berkutat dengan diktat dan buku pelajaran. “Seharusnya kau lebih banyak membaca majalah atau menonton televisi, jangan hanya berkutat dengan buku pelajaran. Alexander Tyler model ternama dan paling ganteng yang pernah aku kenal.” Rachel mendengus dan mendorong kepalaku dengan tangannya. “Pantasan nilai ujianmu selalu buruk, kau terlalu santai dan melupakan kalau pelajar seperti kita seharusnya lebih banyak membaca buku pelajaran bukan majalah yang menampilkan model- model setengah telanjang,” bisik Rachel pelan. “Kau menyebalkan Rachel!” Aku menjentik keningnya dan kami berdua tertawa riang sambil menunggu pesta kembang api segera dimulai. Kami berbincang tentang pekerjaan kedua orangtua kami, membicarakan Eduardo, dan aku baru tahu kalau ternyata Rachel sedang jatuh cinta walau dia masih menutupi siapa laki-laki beruntung itu. “Siapa laki-laki beruntung itu Rachel?” tanyaku penasaran. Rachel menggeleng dan menatap panggung yang mulai ramai dipenuhi seniman-seniman ternama. “Ayolah, kenapa kau menutupi siapa laki-laki beruntung itu,” pintaku dengan wajah memelas. “Sttts jangan berisik, bisa-bisa botol minuman nantinya akan berakhir di kepala kita,” balasnya dengan senyum menyebalkan. Baiklah, aku akan balas dan jangan harap aku akan memberitahunya tentang apapun termasuk ilmu sihir yang aku miliki. Suasana tiba-tiba menjadi gelap gulita, musik berhenti, dan lampu tower yang menyinari taman kota tiba-tiba berhenti bersinar. Aku meraba tempat duduk di sampingku untuk mencari Rachel. Kursi di sampingku kosong dan hanya meninggalkan botol bekas minuman yang tadi dipegangnya. “Rachel! Kau di mana?” Aku mengeluarkan senter dari dalam tas. “Rachel! Kau di mana?” Aku menyusuri jalan setapak menuju danau yang ada di dekat taman kota. Suasana taman masih kacau dan panitia berusaha menghidupkan listrik agar acara perayaan ini tidak berakhir menyedihkan. Sumpah serapah terdengar dari mulut para seniman yang datang dan Sir Ferguson berusaha menenangkan warga yang kadung marah. “Rach … el.” Aku melihat Rachel sedang berdiri di pinggir danau. Aku bersyukur akhirnya bisa menemukan Rachel, entah kenapa perasaanku tidak enak menyangkut dirinya. “Rachel, apa yang kau lakukan di sana?” tanyaku. Rachel memutar kepalanya dan melihatku dengan tatapan kosong. “Penyihir.” Pelan tapi aku yakin kalau dia baru saja mengatakan kata penyihir kepadaku. “Rachel …” “PENYIHIRRRRRR.” Rachel semakin berteriak dan di saat bersamaan lampu hidup. Beberapa warga kota melihatku dengan tatapan menuduh. Aku berusaha memberi tahu mereka kalau Rachel sedang berhalusinasi. “Rachel, aku bukan penyihir.” Aku kembali melihatnya dan entah dari mana aku melihat sebuah cahaya muncul dan membuat Rachel jatuh ke dalam danau. Aku berteriak sambil berusaha menarik tangan Rachel ke atas. Grasak grusuk semakin terdengar jelas di belakangku, aku tidak peduli dengan warga kota yang akan mengadiliku nanti. Keselamatan Rachel lebih penting dari apapun, Rachel berusaha menjangkau tubuhku. “Help me,” ujarnya pelan. “Pegang aku, aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Aku berusaha menariknya dengan sisa tenaga yang aku miliki. Sayangnya, berat badan Rachel sedikit membuatku kewalahan. “Hei, tolong aku!” teriakku agar warga kota membantuku. Bukannya membantuku para warga kota menatapku takut dan mundur selangkah demi selangkah. Aku menutup mata dan mencoba menciptakan mantra agar air danau ini surut dan aku bisa menyelamatkan Rachel. Sebuah mantra langsung muncul di otakku.“Stabilima rasdypenisooooo.” Aku merapalkan mantra sekali lagi dan dalamsekejap air danau mulai mengering. Beberapa warga kota mulai menyingkir dan takut aku menyakiti mereka. Rachel berhasil aku selamatkan dan aku memeluknya tapi dia langsung mendorongku agar menjauh darinya. “Penyihir! Ternyata keluarga Mc Carty masih menyisakan satu penyihir.” Aku mendengar salah satu warga kota menghina keluargaku. Aku berusaha menjelaskan kalau aku mendapatkan anugerah ini tanpa aku minta. “Sir Ferguson kami sebagai warga kota Long Island meminta anda mengusir keturunan terakhir keluarga Mc Carty dari kota ini. Penyihir hanya akan mendatangkan malapetaka bagi kota kita, masih jelas di ingatan kami saat Arabella Mc Carty menghancurkan kota ini demi ambisinya.” Aku meneteskan air mata dan berusaha membela diri. “Ya Tuhan, keluarga Mc Carty tidak sejahat itu. Kalian seharusnya mengerti kalau kami tidak pernah minta dianugerahi ilmu sihir,” kataku membela diri. “Cuihhhhh, sekali penyihir tetap penyihir. Kalian hanya akan membawa malapetaka buat kota ini. Beruntungnya gadis itu bisa selamat, dasar pembawa sial!” teriak ibu tua memakai baju aneh, aku melihat senyum licik di wajah wanita tua itu. “Berhenti merusak suasana Madam dan berhentilah mengadu domba warga kota.” Aku masih berusaha membela diri walau itu pekerjaan sia-sia. Entah siapa yang memulai, aku melihat seseorang melempar tomat dan telur busuk ke arahku. “PERGI KAU PENYIHIR! ENYAH DARI KOTA INI.” Aku diam dan membiarkan warga kota menghina, mempermalukan, dan melemparku dengan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Air mata rasanya berhenti keluar dari mataku, aku benci ketidakadilan ini. Seharusnya mereka mendengar penjelasanku dulu baru menghakimi. “BERHENTI! Jahakimanna Amoranataaa.” Aku muak dan kembali merapalkan mantra. Benda-benda yang dilemparkan warga kota berbalik arah mengejar mereka. Suasana bertambah ricuh dan aku sadar amarahku tadi akan semakin membuat posisiku tersudut. Aku melihat Alexander Tyler menatapku dengan bola mata bulatnya, tatapannya berbeda dengan tatapan warga kota. “Tangkap penyihir jahat itu,” teriak Madam itu. “Saya bukan penyihir jahat. Kalian yang membuatku merapalkan mantra itu, berhentilah menghina keluarga Mc Carty.” Aku menatap Madam itu. Aku mencoba membaca pikirannya dan sialnya aku tidak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Madam itu. “Sir, anda harus percaya kalau saya bukan penyihir jahat.” Aku berusaha meminta Sir Ferguson membelaku. Selama ini dia tahu kalau aku dan Rachel adalah sahabat karib dan selama ini aku tidak pernah menyakiti siapa pun terutama menyakiti Rachel. Sir Ferguson melihat ke arah Rachel dan entah kenapa Rachel melihatku dengan tatapan aneh, “Daddy harus mengusirnya dari kota ini, aku sangat takut Dad.” Aku tersudut dan tidak ada satu warga kota mau membela dan mendengar penjelasanku. Mungkinkah ini takdir keluarga Mc Carty? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD