Prolog

901 Words
Malam itu, langit tampak terlalu tenang. Angin hanya berbisik lembut di balik tirai jendela, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di antara sunyi yang menggantung, suara langkah terdengar di lantai marmer—pelan, berirama, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui dunia. Zaskia berdiri di sana, di tengah ruangan remang, tubuhnya kaku seolah kehilangan arah. Dalam d@da mudanya yang rapuh, ada gelombang resah yang tak mampu ia bendung. Matanya menatap lantai, sementara bayangan tinggi Danu perlahan mendekat dari belakang. “Zaskia…” suaranya berat, mengandung getar halus yang pernah membuat gadis itu kehilangan kemampuan menolak. “Kita sudah ditakdirkan bersama, sayang…” Nada itu—penuh kuasa, namun lembut. Menenangkan sekaligus menjerat. Gadis itu menggigit bibirnya, mencoba melangkah mundur, tapi dunia di sekelilingnya seolah lenyap, meninggalkan hanya napas mereka yang berpadu dalam ruang sempit itu. “Paman Danu…” suaranya bergetar, lirih, seperti doa yang tak sempat diucapkan sepenuhnya. Namun, sebelum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan hangat itu sudah lebih dulu menemukan jemarinya. Sentuhan itu terlalu familiar, terlalu lama menjadi bagian dari hidupnya hingga Zaskia lupa bagaimana rasanya hidup tanpa itu. Danu menatap wajahnya, sorot matanya seperti bara yang menyala dalam kegelapan. Ada janji di sana, tapi juga bahaya. Ada cinta, tapi juga kepemilikan yang menakutkan. “Berhentilah memanggilku begitu,” katanya lembut, namun mengandung tekanan yang membuat Zaskia terdiam. “Aku sudah bilang, sebut saja namaku. Aku milikmu, dan kau milikku, Zaskia.” Nafas Zaskia tercekat. Kata-kata itu bagai mantra yang menumpulkan logika. Ia tahu, setiap kali pria itu berbicara seperti itu, nuraninya akan berteriak keras—tapi tetap kalah oleh suara lembut yang menenangkan dari bibir Danu. Ia tahu ini salah. Tuhan tahu, hatinya tahu. Tapi bagaimana mungkin ia menolak seseorang yang selama ini menjadi bintang dalam langit hidupnya? Sejak usianya tujuh belas tahun, Danu telah menjadi dunia kecil yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Ia bukan hanya seorang pria dewasa yang mempesona, tapi juga satu-satunya orang yang membuatnya merasa istimewa—walau dalam cara yang menyesakkan. Danu mendekat, jarak mereka kini tak lebih dari sehelai napas. Tatapan mata itu membuat jantung Zaskia berdetak lebih cepat. “Suatu hari nanti,” bisik Danu di telinganya, “aku akan menikahimu. Aku akan datang kepada orang tuamu, dan memintamu secara resmi. Percayalah padaku.” Kata-kata itu menusuk lembut ke dalam hatinya, menghapus semua keraguan yang baru saja tumbuh. Zaskia menutup mata. Ia ingin percaya. Ia ingin berpura-pura bahwa semua ini bukan dosa, bahwa cinta mereka bisa dibenarkan karena tidak ada darah yang mengikat. Namun setiap kali pikirannya mencoba melawan, bibir Danu selalu menemukan cara untuk membuatnya bungkam. Dan malam itu, sekali lagi, ia terperangkap dalam pusaran yang tak bisa ia lawan—pusaran yang membungkusnya dengan kehangatan hasrat yang ingin dipuaskan. Zaskia meleleh dalam pelukan tangan kekar pria itu. Selalu begitu. Dan begitu tangan hangat itu mulai menyentuh titik-titik sensitif di tubuhnya, hanya desahan yang lolos dari bibir ranumnya. Hubungan ini sudah memasuki tahun ke-dua, dan dia sudah terbiasa dengan pola ini. Mereka melewati batas moral, bersama meraih kenikmatan yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami istri sah. Ada bisikan lembut di antara jeda deru napas dan erangan mereka. “Kau tahu, Zaskia, aku tidak pernah memperlakukan wanita lain seperti ini,” kata Danu, suaranya parau, namun teduh. “Kau berbeda. Kau satu-satunya alasan aku selalu ingin terbang ke sini.” Dan entah mengapa, kalimat itu membuat air mata Zaskia menetes. Ia menangis, tapi tak tahu mengapa. Mungkin karena bahagia. Mungkin karena takut. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya seperti kehilangan kemampuan untuk berkata tidak. Hanya sekejap, pria itu menguasai tubuhnya, mendorongnya ke dinding dan tak sabar memasukinya, memenuhi relungnya yang sudah menanti dengan penuh damba. Bergerak ritmis, menghadirkan rasa nikmat yang membuai. Dalam cahaya remang kamar, ia memejamkan mata. Berusaha berpegangan erat agar tidak jatuh. Ia membiarkan dirinya hanyut, karena melawan hanya akan melukai dirinya sendiri. Mengabaikan suara kecil yang terus memohon jauh di dalam lubuk hatinya. ‘Berhenti, Kia. Ini salah. Ini bukan cinta yang seharusnya.’ Tapi suara itu terlalu lemah, tertelan oleh lembutnya janji-janji yang berputar di sekelilingnya, juga sentuhan yang telah menjadi candu baginya. “Aku mencintaimu,” ucap Danu, napas tersengal, seolah dunia hanya terdiri dari mereka berdua. “Kau tujuan hidupku. Suatu saat nanti, aku akan membuktikannya.” Zaskia membuka matanya perlahan, menatap wajah pria itu. Ada hasrat yang membara, tapi juga obsesi. Ada kehangatan, tapi juga bayangan gelap yang menelan kewarasannya. Zaskia hanya ingin berhenti berpikir. Ia membiarkan dirinya larut dalam apa yang disebutnya cinta, walau di relung hatinya, ia tahu itu lebih mirip penjara yang indah. Namun ia terus lebur dalam kenikmatan yang diberikan Danu, yang terus berulang hingga mereka terkapar kelelahan di atas ranjang king size itu. Dan ketika pagi hari datang, ketika cahaya pertama menyentuh tirai yang berayun pelan, Zaskia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Danu masih tertidur pulas setelah pertarungan panas mereka. Napasnya teratur dan tenang, seolah sudah sepatutnya mereka di sana dan melakukan apa yang sudah mereka jalani selama tiga tahun ini. Zaskia menatap wajah itu dengan pandangan yang tak dapat dijelaskan—antara cinta dan ketakutan, antara harapan dan kehilangan. ‘Suatu hari nanti…’ bisiknya dalam hati. ‘Kalau semua ini salah, aku harap Tuhan mau memaafkan aku.’ Namun dia tahu, kesalahan ini sudah terlalu dalam untuk dihapus hanya dengan air mata. Dan cinta yang ia yakini suci, perlahan mulai berubah menjadi labirin tak berujung—tempat di mana setiap langkah akan membawanya semakin jauh dari cahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD