Bab 1 Janji yang Retak

1154 Words
Sudah hampir setahun sejak ibunya dikuburkan di bawah langit kelabu musim semi Osaka. Waktu yang terasa sangat lama sejak aroma bunga sakura tak lagi membawa ketenangan, melainkan perih yang menyesak di d@da. Zaskia menatap jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari sore menyentuh wajahnya. Di luar sana, angin meniup ranting pohon sakura yang baru bermekaran. Helaian kelopak jatuh satu-satu, seperti potongan kenangan yang tak bisa dihapus begitu saja. Ia menatap foto ibunya di meja belajar—dr. Mariam Hendrawan, dengan jas putih dan senyum hangatnya. Wanita itu selalu tampak kuat, bahkan ketika penyakitnya mulai mengambil alih tubuhnya perlahan. Kini, hanya hening yang tersisa di rumah mereka. “Mom, aku lulus,” bisiknya lirih, jemarinya menyentuh bingkai foto itu. “Aku sudah diterima di maskapai besar. Seharusnya kau ada di sini melihatku.” Air mata jatuh begitu saja. Tapi Zaskia segera menyekanya dengan punggung tangan. Ia tak mau larut. Ibunya pernah berkata: "Kamu boleh sedih, Kia, tapi jangan berhenti berjalan." Dan hari ini, ia ingin berjalan. Menemui seseorang yang selama ini menjadi bayangan di balik setiap langkahnya—Danu Hendrawan. * Hotel itu berdiri megah di pusat kota Osaka. Posisinya menghadap langsung ke Teluk yang menawarkan pemandangan indah dari jendela kaca raksasa yang memantulkan cahaya sore. Zaskia menatap bangunan itu sambil menenangkan degup jantungnya. Danu, kembali mendapat jadwal terbang ke Osaka, dan setiap kali dia ke sini, mereka selalu bertemu. Ini sudah menjadi rutinitas yang biasa dijalani selama bertahun-tahun, dan Zaskia benar-benar sudah terbiasa. Tapi kali ini berbeda. Mereka baru akan bertemu lagi setelah sebulan lebih pria itu mendapat jadwal terbang ke Eropa. Zaskia sangat merindukannya. Dan dia merasa mungkin ini saatnya Danu akan menepati janjinya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir gugup yang aneh. Empat tahun. Empat tahun sudah ia memelihara cinta yang tak pernah diakui siapa pun. Cinta yang memberinya harapan sekaligus rasa takut jika semua ini hanya harapan semu. Di lorong hotel, langkahnya terasa berat. Tapi begitu pintu kamar itu terbuka, semua beban lenyap. Danu berdiri di sana— masih dengan seragam pilot, rambut sedikit acak, dan senyum hangat yang sama. Namun, di mata Zaskia pria ini terlihat makin tampan seiring usianya yang bertambah. Senyum itu selalu mampu membuat dunia Zaskia berhenti berputar. “Zaskia,” katanya lembut, dan suaranya membuat tubuh gadis itu melemah. Tanpa berpikir panjang, ia berlari memeluk pria itu. Danu membalasnya, menenggelamkan wajah di rambut hitam Zaskia yang wangi. “Aku rindu,” gumamnya, bibirnya hampir menyentuh telinga gadis itu. Zaskia hanya bisa mengangguk, tubuhnya bergetar karena emosi yang lama ia simpan. Dalam pelukan itu, semua duka, semua kehilangan, semua penantian, seolah luruh. Ia merasa utuh kembali. Mereka duduk berdua di tepi ranjang hotel, di bawah cahaya lampu kekuningan yang lembut. Danu menatap Zaskia dengan sorot mata yang hangat—hangat tapi berbahaya. “Jadi, kau benar-benar diterima?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman. Zaskia mengangguk bangga. “Iya. Aku akan mulai training minggu depan. Dan mereka bilang, aku mendapat rekomendasi terbaik dari instruktur penerbangan.” Danu tersenyum lebar, matanya menatapnya seolah gadis itu adalah kebanggaan hidupnya. “Aku tahu kau bisa. Kau memang diciptakan untuk terbang,” katanya pelan. “Sama sepertiku.” Zaskia tertawa kecil, lalu menunduk. “Aku ingin jadi sepertimu.” Danu mengangkat dagunya, menatap matanya dalam-dalam. “Kau akan jadi lebih hebat dariku.” Detik itu, dunia seolah berhenti berputar. Satu pandangan mata dari Danu cukup untuk menyalakan sesuatu di dalam diri Zaskia. Ada cahaya hangat di antara mereka—tapi juga bayangan kelam yang tak terlihat oleh siapa pun. Dalam diam, Danu menyentuh pipinya, lalu menelusuri garis rahangnya perlahan. “Empat tahun, Kia,” bisiknya. “Dan kau makin cantik setiap kali kulihat.” Zaskia tak menjawab. Ia tahu arah dari kalimat itu. Dalam ruang yang sunyi itu, waktu kembali berputar seperti dulu—dengan ritme yang sama, dengan bisikan yang sama, dengan rasa yang sama. Hanya saja kini, di dalam hatinya, terselip harapan baru, ‘setelah ini, dia akan melamarku.’ Dan gadis muda itu mengimbangi permainan sang pria dewasa dengan semangat yang lebih dari biasanya. * Beberapa jam kemudian, Zaskia terbaring di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, kulitnya masih hangat oleh sisa sentuhan. Di dadanya, jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena keintiman yang baru saja mereka lalui, tapi juga karena harapan yang begitu besar akan masa depan. Danu duduk di tepi ranjang, menyulut rokok dengan tenang. Dia menghisap dengan mata terpejam, lalu menghembuskan asap perlahan. Cahaya redup membuat siluet wajahnya tampak samar, namun senyumnya tetap jelas—tenang dan menguasai. “Jangan lupa minum pilmu,” katanya santai. Zaskia menoleh, masih dengan senyum yang lembut. “Memangnya masih perlu?” ujarnya pelan, suaranya terdengar seperti candaan manja. Ia meraih tangan Danu, mengusap punggungnya lembut. “Aku ingin mengandung anakmu, Dan. Ayo kita segera menikah,” Danu menatapnya sekilas—senyum di bibirnya memudar. “Belum waktunya, Kia,” jawabnya datar. Nada itu tajam, membuat Zaskia tertegun. “Belum waktunya?” ulangnya, suaranya meninggi. “Lalu kapan, Dan? Kita sudah seperti ini selama empat tahun. Empat tahun aku menunggumu menepati janji itu.” Danu menghela napas panjang, memadamkan rokoknya. “Jangan bicara seperti itu,” katanya lembut, lalu memeluknya dari belakang. “Aku tidak ingin kita bertengkar hari ini. Hari ini kau seharusnya bahagia.” Namun air mata Zaskia sudah menetes. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau kau terus menundanya?” suaranya pecah. “Mom sudah pergi. Aku tidak punya siapa-siapa selain Daddy Farris dan kau. Aku sudah diterima bekerja, aku sudah siap. Lalu kenapa?” Danu menatap wajahnya yang berlinang air mata itu, lalu menangkup pipinya. “Kia, sayang…” katanya dengan suara rendah dan memikat. “Aku masih harus melakukan sesuatu demi masa depan kita.” Zaskia menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Danu menelan ludah, lalu berkata dengan hati-hati, “Aku akan menikah dengan Vanessa Robin.” Dunia seolah berhenti. Zaskia membeku, napasnya tertahan di tenggorokan. Butuh waktu beberapa detik sebelum otaknya bisa memproses kata-kata itu. “Vanessa?” suaranya hampir tak terdengar. “Kau… kau akan menikahinya?” Danu menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Ini hanya sementara,” katanya cepat. “Aku harus melakukannya untuk mendapatkan saham maskapai itu. Kau tahu siapa ayahnya. Setelah semuanya selesai, aku akan menceraikannya dan menikahimu. Aku bersumpah, Kia.” Zaskia menatapnya tak percaya. “Demi masa depan kita?” suaranya bergetar. “Atau demi ambisimu?” Danu mengusap rambutnya lembut, mencoba menenangkannya. “Kau harus percaya padaku.” Tapi Zaskia tak bisa. Ia bangkit dari tempat tidur, menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih. Air matanya kembali berlinang. “Jadi selama ini… aku hanya alat pemuas bagimu?” tanyanya lirih. Danu berdiri, menghampirinya, memegang bahunya erat. “Jangan berkata begitu. Kau tahu aku mencintaimu. Semua yang kulakukan ini untuk kita.” Suara itu lembut, namun tekanannya kuat, membuat Zaskia kehilangan tenaga untuk melawan. Ia ingin menjerit. Ingin memukul pria itu. Tapi yang keluar dari bibirnya hanya isak pelan. Danu menariknya kembali ke pelukannya, membisikkan kata-kata manis di telinganya, seperti racun yang terasa manis saat pertama kali diminum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD