“Percayalah padaku, Kia. Setelah ini semua selesai, aku akan menepati janjiku.”
Namun di balik kelembutan suara itu, Zaskia mendengar sesuatu yang lain—sebuah nada dingin, samar, tapi mematikan: nada dari seseorang yang sudah menganggap cinta sebagai milik yang bisa dikendalikan.
Dan malam itu, di antara pelukan yang seolah menenangkan, Zaskia tahu… ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan patah.
Keesokan harinya, Zaskia berdiri di balkon hotel, menatap matahari pagi yang baru terbit di atas kota Osaka. Cahaya keemasan menyentuh wajahnya, tapi hatinya terasa beku.
Ia merapatkan jubah tidur, sementara pikirannya melayang ke malam sebelumnya—ke kata-kata Danu, ke pelukan yang tiba-tiba terasa begitu asing. Ia tahu, sesuatu telah berubah. Dan meski ia masih mencintainya, sebagian dari dirinya mulai menyadari bahwa cinta itu sudah menjadi rantai yang perlahan mencekiknya.
Zaskia tidak bisa menerima kenyataan kalau Danu akan menikahi wanita lain, justru di saat angannya melambung dengan harapan pria itu akan menikahinya. Mereka sudah menikmati buah terlarang selama bertahun-tahun, dan hanya harapan bahwa itu akan berakhir dalam pernikahan yang membuatnya tetap bertahan.
Tubuhnya menggigil di bawah terpaan angin pagi musim semi. Hatinya juga ikut menggigil, setelah semua keyakinan yang pernah ia genggam dengan sepenuh hati perlahan hancur.
Tidak tahan dengan rasa dingin, Zaskia melangkah masuk ke dalam kamar. Tatapannya nanar tertuju ke atas ranjang, di mana Danu, adik angkat ibunya, yang telah menjadi pria pertama dan satu-satunya dalam hidupnya masih tertidur pulas.
Pandangannya beralih ke lantai, di mana seragam pilot Danu, dan gaunnya sendiri berserakan, bukti permainan panas mereka semalam. Dadanya kembali dihantam rasa sakit, membayangkan pria itu akan menikahi wanita lain. Apapun alasannya, Zaskia tidak bisa menerimanya.
Zaskia melangkah pelan dan berdiri di depan cermin, tubuhnya diselimuti selimut putih yang jatuh setengah bahu. Rambutnya terurai, sedikit kusut, dan di matanya tersisa kabut perasaan yang sulit dijelaskan — antara cinta, kemarahan, dan kehilangan. Dia masih sedang berduka atas kehilangan ibunya, lalu orang yang seharusnya memberinya perlindungan dan penghiburan justru melukai begitu dalam.
Cermin memantulkan bayangan seorang perempuan muda yang berusaha terlihat tegar, padahal di balik kulit halus dan mata bening itu, jiwanya seperti retak. Ia menatap dirinya lama, seolah sedang mencari bagian dari dirinya yang hilang setiap kali bersama Danu.
Ponsel di meja berdering, memecah keheningan yang menggantung. Nama Daddy Farris muncul di layar, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Iya, Dad?” suaranya lembut, agak serak.
“Kamu masih di rumah temanmu?” suara ayahnya terdengar di seberang, hangat, penuh perhatian.
“Iya, Dad. Sebentar lagi aku pulang,” jawabnya cepat. Kebohongan itu meluncur begitu mudah — seperti sudah menjadi bagian dari napasnya.
“Baiklah. Daddy mau ngomong sesuatu yang penting,” ucap Farris, “tapi nanti saja setelah kamu pulang.”
“Iya, Dad.”
Begitu panggilan terputus, Zaskia menatap ponselnya lama, sebelum meletakkannya perlahan.
Hening kembali. Ia bisa mendengar desah napas Danu dari belakang — dalam, berat, dan menguasai ruang. Pria itu mendekat, telanjang. Sama sekali tidak canggung, karena mereka sudah terbiasa seperti ini.
Aroma maskulin merasuki penciuman Zaskia. Campuran parfum beraroma kayu, rokok, kopi, dan aroma alami tubuh yang selalu membuatnya lemah.
Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasakan debar yang sama. Yang tersisa hanya getir.
“Melihatmu seperti itu, aku nggak bisa berpaling, sayang,” Danu berucap pelan, nadanya nakal dengan kerling menggoda.
Zaskia tidak langsung menjawab. Ia meraih gaun yang tergeletak di lantai, mengenakannya dengan gerakan cepat.
“Aku harus pulang,” katanya dingin. “Daddy menungguku.”
Danu tersenyum samar. Ia bangun dan menghampiri, jemarinya menyentuh lengan Zaskia, menahan gerak gadis itu. “Kenapa terburu-buru? Belum lama kita bersama.”
Zaskia menatapnya — tatapan yang dulu selalu luluh oleh tatapan pria itu. Tapi sekarang, matanya dingin, terluka.
“Karena besok kamu akan bertunangan dengan wanita lain,” suaranya pelan tapi tajam. “Aku nggak mau lama-lama di sini, seolah nggak punya harga diri.”
Wajah Danu menegang, tapi senyum itu tetap bertahan, samar namun mengandung ketegangan yang familiar. “Kau tahu ini cuma formalitas, Kia. Aku nggak mencintainya.”
Zaskia tertawa getir. “Dan aku harus percaya? Setelah bertahun-tahun kamu bilang akan menikahiku — tapi perempuan lain yang justru kau persiapkan jadi istrimu?”
Danu menatapnya dalam diam. Tatapan itu, yang dulu membuat Zaskia merasa diinginkan, kini hanya menimbulkan luka.
Laki-laki itu mendekat, menunduk, suaranya berubah serak. “Kau tahu aku nggak bisa menjauh darimu. Aku hanya… nggak punya pilihan.”
“Nggak punya pilihan?” Zaskia tersenyum kecut. “Kamu punya semuanya, Dan. Kekuasaan, uang, bahkan diriku. Hanya saja kamu nggak pernah cukup puas.”
Danu mengulurkan tangan, menyentuh wajahnya, tapi Zaskia menepis cepat.
Ada kehangatan, ada sisa cinta — tapi juga dinding dingin yang mulai tumbuh di antara mereka.
“Aku nggak mau menjadi rahasia lagi,” katanya lirih. “Aku lelah bersembunyi.”
Danu menatapnya lama, seolah mencoba menahan sesuatu yang akan pecah.
“Kau milikku, Kia,” bisiknya akhirnya. “Aku nggak akan membiarkanmu pergi.”
Zaskia menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara. Mungkin di masa lalu, kata-kata itu terdengar romantis. Tapi kini, hanya terasa seperti rantai yang membelit pergelangan tangannya.
Ia menarik napas panjang, lalu melangkah menjauh dari pria itu. “Sudahlah, Danu. Simpan kalimat itu untuk tunanganmu.”
Danu berdiri sangat dekat. “Kau marah?” tanyanya, suaranya berat, lembut, dan berbahaya. “Atau cemburu?” Ia berhenti tepat di belakang Zaskia. Kehangatan tubuhnya seperti bayangan yang memerangkap.
Zaskia menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah seperti ini… sampai kapan semua ini terus menjadi rahasia?” ia menjauh beberapa langkah dari pria itu, seolah menciptakan dinding di antara mereka.
Pertanyaan itu menggantung.
Danu tertawa pendek, getir, tapi penuh pesona yang pernah meluluhkannya berkali-kali. “Kau tahu jawabannya, Kia. Aku sudah bilang—ini hanya sementara.”
“Sementara?” Zaskia berbalik, matanya memerah. “Empat tahun bukan sementara, Danu! Empat tahun aku menunggumu, menutup mata dari semua yang salah karena aku percaya padamu!”
Wajah Danu menegang. Ia mendekat, dan meraih dagu Zaskia agar menatapnya. Tatapan itu tajam, menuntut, penuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obsesi—itu kepemilikan.
“Kau pikir aku nggak ingin bersamamu? Kau pikir aku akan menikahi Vanessa karena cinta?” Nada suaranya meninggi, tapi tangan yang memegang wajah Zaskia bergetar. Ada amarah di sana, tapi juga ketakutan kehilangan.
“Ini caraku menjaga masa depan kita, Kia. Kau masih terlalu muda, nggak mengerti permainan ini. Aku melakukannya agar kita bisa bebas nanti.”
Kata-katanya menusuk seperti racun manis. Zaskia ingin menepisnya, ingin berteriak bahwa semua itu dusta. Tapi yang keluar hanyalah bisikan kecil, “Aku nggak ingin permainan, aku ingin hidup yang nyata.”
Danu menatapnya lama, lalu menarik napas panjang. “Hidupku nyata hanya kalau kau ada di dalamnya.”
Kata-kata itu meluncur seperti mantra. Danu tahu bagaimana menundukkan pertahanannya, tahu celah yang bisa membuat gadis itu berhenti melawan.
Zaskia memejamkan mata. Ia bisa merasakan denyut nadinya sendiri berlari, seperti berusaha melarikan diri dari tubuhnya. Tapi begitu tangan Danu menyentuh pundaknya, sesuatu di dalam dirinya runtuh.