Sudah sebulan sejak Jo pergi dari rumah kecil mereka. Pemilik warteg dan toko sangat menyayangkan kepergian Jo. Tidak bisa dipungkiri, sifat ramah Jo yang sering menggoda pembeli menjadi daya tarik tersendiri.
Sena sangat menyadari semua itu. Bahkan dirinya juga sedikit merasa ada yang hilang saat Jo tidak ada.
Sena memasak sarapan seperti biasa. Meski sudah sebulan, tapi rasanya Jo masih ada di sini. Datang dan merecoki semuanya. Membuat ulah, menghabiskan makanan, bahkan tak jarang menjaili dirinya yang sibuk di pagi hari.
Munafik jika dibilang Sena tidak tertarik kepada Jo. Ya, dia tertarik. Tapi hanya sebatas teman mungkin. Ya, hanya mungkin. Sebab, Sena tidak yakin pada dirinya sendiri.
"Kak, masak kok ngelamun? Gosong lho telurnya!"
Sena terperanjat, "ah, eh, iya! Duh harus dibuang ini, ambilkan yang baru lagi, Wan!"
Diwan hanya menggeleng. Bukan sekali dia melihat kakaknya seperti ini. Banyak melamun. Apa mungkin kakaknya itu merindukan Jo? Tapi bagaimana dengan Ega? Bukankah Sena masih menyimpan baik boneka beruang besar pemberian pria itu?
Mereka makan dalam diam. Hanya dentingan sendok yang terdengar bersahutan.
"Sudah sebulan," ucap Sena tiba-tiba. Diwan tahu ke mana maksud ucapan Sena.
"Kakak merindukannya?"
Sena menghembuskan nafas pelan, "entahlah, hanya saja rasanya ada yang hilang di rumah ini."
"Mungkin itu wajar, Kak. Apalagi Kak Jo sudah seperti keluarga kita."
"Ya, kamu benar. Mungkin ini wajar untuk seseorang yang sudah terbiasa dengan kita, lalu tiba-tiba dia menghilang."
Diwan tidak menjawab lagi. Ia hanya menatap gelas yang berisi air teh setengahya. Sebenarnya ia ingin sekali bertanya tentang Ega, tapi urung. Ia terlalu segan.
***
"Sen, Si Jo beneran pergi?"
"Iya."
Riri memasang celemeknya di depan cermin. Bibirnya ia monyong-monyongkan sedikit, entah apa maksudnya, Sena tidak tahu.
"Dih, tuh anak kenapa sih? Padahal nih, ya, banyak pelanggan yang nanyain dia. Kadang gue heran, orang-orang itu mau beli makanan atau cuma mau lihat mukanya Si Jo?"
"Dia pulang ke tempat asalnya."
"Apa?! Maksud lo mati?!"
"Hish, sembarangan lo! Bukanlah!"
"Oh, kirain! Habis lo bilang dia pulang ke tempat asalnya. Berasa kata-kata buat orang mati saja."
"Dia pulang ke rumah orang tuanya."
"Oh, emang dia tinggal di ma-- wait, wait, oh my god! Sen! Lo kudu lihat deh! Sini!"
Riri menarik tangan Sena.
"Apaan sih?"
"Itu bukannya Si Jo?! a***y! Tapi namanya lain! Jonathan Gerarld Aljabi. Itu Si Jo bukan sih?!"
Kaki Riri menghentak-hentak, ia gemas sendiri melihat berita di televisi.
"Berita apaan sih itu?" tanya Sena. Sebenarnya ia tidak kaget. Ia sudah tahu kalau Jo adalah pewaris tunggal perusahaan papinya.
"Wah, ini kayaknya bukan Si Jo deh! Masa habis jadi kuli warteg tiba-tiba jadi pewaris perusahaan gede kayak gitu sih? Palingan mirip aja mukanya!"
"Ck, udahlah! Lo gak usah peduliin berita TV! Kerja-kerja!"
"Asem lo! Kan penasaran gue!"
"Ya udah kalo lo mau kena marahnya Bu Retno!"
"Iya deh, Sena yang baik, gue kerja!"
Rini mencebik kesal lalu kembali mengangkut masakan yang sudah jadi ke rak.
Hari ini pelanggan sangat ramai. Beda dari biasanya. Bahkan mereka hampir kewalahan. Yang biasanya pelanggan datang hanya sekitar sepuluh orang tiap satu jam, lah ini? Yang datang sepuluh kali lipat dari itu!
"Alhamdulillah ya Sen, baru kali ini pelanggan kita ramai lagi. Setelah sebulan kita kehilangan Jo, bahkan anak itu masih saja banyak yang nanyain," ucap Bu Retno sambil mengipasi wajahnya yang memerah.
"Iya, Bu. Alhamdulillah ya? Dulu aja waktu ada Jo, kita laris terus. Baru kali ini begini lagi. Berasa Jo ada bersama kita ya?" timpal Mbok Surti.
Sena hanya tersenyum. Mereka sedang makan bersama setelah warung tutup. Ya, karena habisnya lebih cepat, warung juga tutup lebih cepat. Bu Retno bilang, setelah capek melayani pelanggan, karyawannya berhak istirahat.
"Sen, apa gak diajak lagi gitu Si Jo-nya?" tanya Mbok Surti sambil mengunyah gorengan yang sudah dingin.
"Gak bisa, Mbok. Dia sibuk sekarang."
"Oalah, sibuk ngapa tuh anak? Kerjaannya juga cuma ngerecokin kamu kan? Tapi bisa menggaet pelanggan segitu banyaknya."
Lagi-lagi, Sena hanya tersenyum. Mereka tidak tahu jika Jo yang sekarang berbeda dengan Jo beberapa bulan lalu.
"Eh tapi yang di TV itu bener gak sih? Ah, gue penasaran!" ucap Riri.
Sebenarnya bukan hanya Riri, tapi Mbok Surti dan Bu Retno juga sama. Hanya saja Bu Retno yakin, Jo bukan sembarangan orang. Anak itu meskipun urakan dan bawel, tapi marketingnya sangat bagus. Terbukti dengan warungnya yang mengalami peningkatan pesat saat Jo masih ada.
"Eh Sen, kamu tahu rumah Jo yang sekarang?"
"Ah, itu... sebenarnya..."
Kring... kring... kring...
Dering telpon warung menyelamatkan Sena. Ia menghela nafas lega. Bingung harus jawab apa, sebab dirinya memang sangat tahu siapa Jo. Hanya saja rasanya tidak mungkin ia katakan di sini.
Mbok Surti langsung mengangkat telpon. Keningnya nampak berkerut tajam lalu seketika sumringah lagi.
"Bu Bos, ini ada yang mau pesen catering ke warteg kita!" serunya dengan semangat.
"Benarkah?" Bu Retno mengambil alih telpon dari genggaman Mbok Surti.
Sena dan yang lainnya masih menunggu di meja pelanggan yang sudah dibersihkan.
Bu Retno kembali berkumpul dengan wajah berseri.
"Bener, Mbok! Besok minggu depan kita dapat pesanan banyak. Katanya sih rombongan pengusaha yang lagi meeting di kota ini. Nah, mereka mau makan catering dari warteg kita, lho?"
"Kok bisa sih, Bu? Biasanya kan orang kaya makannya di restoran gitu? Yang ada makanan steak-nya," tanya Sena dengan dahi berkerut. Ah, mendengar kata steak ingatannya melayang pada pria jangkung menyebalkan yang pernah merecoki hidupnya. Aih, kan ingat ke sana lagi!
"Saya juga gak tahu, Sen. Tiba-tiba ada telpon kayak gitu. Terus katanya pas hari kedua mereka di kota ini, pengen makan langsung di warteg kita."
"Wah, masa sih?" Riri lebih sumringah lagi. Pikirannya sudah dipenuhi dengan bos-bos ganteng berjas rapi, yah, kali aja jadi jodonya.
"Iya, jadi pagi-pagi sekali kalian harus sudah datang dan menyiapkan semuanya."
"Siap, komandan!" Semua kompak mengacungkan kepalan tangan ke atas. Mereka sangat senang, sebab biasanya jika pelanggan datang membooking warteg keseluruhan, maka Bu Retno suka memberi bonus pada para karyawannya.
***
"Akhirnya, selesai juga." Riri melap keringat yang menetes di dahinya.
Hari ini mereka super sibuk. Pelanggan yang datang banyak sekali. Selain mengirim pesanan catering pengusaha, banyak pula para remaja yang datang hanya untuk sekedar makan.
"Ri, osengan habis semua?" tanya Mbok Surti sambil mengisi kembali bahan mentah ayam goreng dadakan.
"Habis, Mbok! Gila, mereka banyak banget tadi."
"Oke," jawab Mbok Surti lalu kembali ke belakang.
Riri anteng membersihkan meja makan sambil berdendang kecil.
"Kebiasaan lo gak berubah ternyata," ucap seseorang yang sukses membuat mata Riri membulat. Ia berbalik dan menutup mulutnya.
"Jo!? Ya ampun! Gue gak salah lihat kan!?"
Pandangan Riri naik turun melihat penampilan Jo sekarang. Jas silver dengan dasi yang senada. Rambut pria itu juga nampak rapi.
"Mana Sena?" tanya Jo celingukan tanpa memedulikan teriak histerisnya Riri.
"Jo, lo kerja apaan sih? Kok cepet kaya? Ah, atau jangan-jangan lo pelet Tuan Abimanyu agar ngangkat lo jadi anak? Hayo, ngaku lo!"
"Mana Sena? Gue tadi ke rumahnya. Tapi gak ada siapa-siapa."
"Ish, Jo! Jawab dulu!" teriak Riri dengan kesal. Sumpah, ia sangat penasaran, bagaimana mungkin Jo bisa tiba-tiba berubah seperti ini, kan aneh?
"Tanya Sena aja! Sekarang mana Se--"
Ucapan Jo tertahan saat Sena muncul dari belakang. Gadis itu belum sadar ada Jo di meja pelanggan. Ia melepaskan celemek dan merapikan ikatan rambutnya.
Jo tertegun. Sena. Gadis itu masih sama seperti yang dulu. Sederhana.
Sena mengambil tas ransel kecilnya lalu menatap Riri, "Ri, gue mau--" mata Sena membelalak tak percaya.
"Hai," ucap Jo dengan kaku.
"Hai," jawab Sena.
Sepersekian detik mereka hanya saling menatap. Riri menyaksikan keduanya dengan bingung. Ini dua orang kenapa ya? Kok kayak canggung gitu, pikir Riri dalam hati.
"Lo sibuk ya?" tanya Jo setelah mereka saling menatap.
"Ah, begitulah, dan lo lebih sibuk lagi, hingga lupa jalan ke kontrakan gue," jawab Sena.
Jo mendekat, melepas ikatan rambut Sena dan mengacaknya pelan.
"Jadi lo nungguin gue?" tanya Jo sambil tersenyum gemas.
"Eh, apa-apaan ini? Kenapa lo rusak rambut gue?" protes Sena, tapi bibirnya melengkungkan senyum.
"Woy! Kalian berdua! Kalau pacaran sono cari tempat sepi! Ada gue di sini! Bikin sakit mata tahu, gak?" teriak Riri dengan kesal. Dua insan di depannya seakan lupa kalau di warteg ini masih ada penghuni lain selain mereka berdua.
Tanpa peduli teriakan Riri, Jo malah menarik pinggang Sena dan memeluknya erat.
"Gue kangen sama lo," bisiknya pelan.