Sena berbalik dengan lesu. Tadinya ia sangat berharap tidak menemukan Jo di tempat ini. Dirinya memang senaif itu. Berharap Jo sudah berubah dan tak ingat lagi dunia kelamnya. Yah, dunia yang hanya bisa menghabiskan uang. Dan itu tidak ada dalam dunia Sena.
Salahnya sendiri, berpikir bahwa Jo seperti dirinya. Yang bisa sedih berlarut-larut saat merindukan orang tuanya. Jo masih beruntung karena kedua orang tuanya masih ada. Keadaan ini pun tak lepas dari kasih sayang orang tua Jo yang ingin Jo berubah lebih baik lagi.
"Sena!"
Seseorang memanggilnya. Sena tahu, Jo pasti melihatnya. Sena tak mengindahkan panggilan itu, ia hanya terus berjalan meninggalkan tempat itu. Apa ia nampak menyedihkan sekarang?
Sena mengusap air matanya dengan kasar. Untuk apa ia menangisi pria bodoh itu?
Tangan Sena meraih helm dan memakainya.
GREB!!
Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Ah bukan memeluknya, tapi lebih ke jatuh menimpa tubuh Sena. Bau alkohol sangat menyengat.
Sena berbalik dan melihat orang itu.
"Jo?!"
Tubuh Jo oleng dan hampir jatuh lagi. Mulutnya terus berkicau sambil tertawa cekikikan.
"Lo mabuk, Jo!" ucap Sena. Ia mendorong tubuh Jo yang mendekat ke arahnya lagi. Dan kepala kembali bersandar di bahu Sena.
"Pergilah, Jo! Bukankah lo mau bersenang-senang?!"
Jo mengangkat tangan kanannya. Matanya terpejam, ia mengumpat. Kepalanya juga enggan beranjak dari bahu Sena.
"Bodoh! Ya bodoh! Sena bodoh! Kenapa dia meracuni pikiran gue?"
Tangan Jo memukul-mukul kepalanya sendiri.
Sena diam terpaku. Apa katanya?
"Heh! Apa lo bilang? Gue racun?"
"Ya, ya, ya. Lo racun! Ah bukan kau manis! Tapi Sena! Tadinya aku mau senang-senang denganmu! Tapi..." mata Jo merem melek, ia juga menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Lo mabuk parah!"
"Tapi Sena bilang jangan buang uang! Sial! Aku takut padanya, cantik! Dia sangat galak! Hihi..." ucap Jo sambil tertawa cekikikan.
Sena menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dasar merepotkan! Tahu begini, lebih baik ia tidak datang ke tempat ini!
Mau tidak mau Sena membopong badan besar Jo ke kursi di depan club itu. Tidak mungkin membawa tubuh besar Jo dengan motor kan? Sama saja cari mati. Apalagi Jo seperti kerasukan.
Satu-satunya cara ya dia harus memesan taksi online. Pertama, Sena meninggalkan Jo di depan club dan pergi menitipkan motornya ke Mbok Surti.
Beruntung, lampu kamar Mbok Surti belum mati. Ini artinya wanita itu belum tidur.
"Mbok! Mbok! Saya Sena!"
Cklek. Pintu terbuka. Mbok Surti menatap heran sambil membetulkan daster luceknya.
"Ada apa, Sen?"
"Mbok, saya mau titip motor di sini ya? Boleh kan?"
"Lho, kenapa? Terus kamu pulang pake apa?"
"Itu, anu, motor saya habis bensin. Jadi ya saya mau pulang pake taksi online saja."
"Oh begitu, ya? Boleh-boleh!" Mbok Surti membuka pagar rumahnya dan mengijinkan Sena menitipkan motor. Meski ia sebenarnya sedikit heran. Habis bensin kan bisa beli di pom? Kenapa jadi repot harus pake taksi online segala? Ah bodolah! Namanya juga anak muda, suka aneh-aneh!
Sena terpaksa berbohong. Tidak mungkin ia mengatakan kalau dirinya akan membawa pulang Jo yang sedang mabuk kan? Lagi pula, Mbok Surti tidak tahu jika Sena dan Jo tinggal serumah. Bisa kacau semuanya. Ya, setidaknya sampai pria itu mampu menyewa kost sendiri.
Setelah yakin motornya aman, Sena kembali ke club dengan membawa taksi online. Jo masih berbaring dengan mulut yang terus menggerutu.
"Bangun, Jo!"
Jo mengibaskan tangannya, "aish, kamu lagi Nona Manis! Sudah kubilang, aku tidak bisa bersenang-senang denganmu! Sena akan sangat murka jika tahu aku menghabiskan uang seperti ini!"
"Ck, dasar pemabuk! Bangun!" Sena menarik tangan Jo hingga pria itu bangun. Lalu memapahnya masuk ke dalam mobil.
Jo terus meracau tak jelas hingga mereka sampai ke kontrakan. Diwan sepertinya sudah tidur.
Sena membawa Jo ke kamarnya. Nampak Diwan sudah tertidur pulas.
Jo langsung ambruk dan tidur. Dengan hati-hati, Sena membuka sepatu Jo.
Saat akan pergi, tangannya ditarik hingga ia jatuh menimpa tubuh Jo. Mata Sena melotot kaget, belum sempat ia melepaskan diri, Jo sudah membalikkan keadaan.
"Jo apa yang lo laku-hmph!"
Ucapan Sena terputus. Saat tiba-tiba Jo melakukan hal gila padanya. Jo membungkam bibirnya dengan ciuman panas.
Awalnya Sena kaget, tapi dengan segera ia menguasai diri dan mendorong tubuh Jo. Namun apa daya, tenaganya tak cukup kuat. Jo terus menikmati bibirnya meski tangan Sena meronta-ronta.
Tapi tiba-tiba tubuh Jo ambruk lagi. Terdengar suara dengkuran halus. Sena menghembuskan nafasnya lega. Akhirnya Jo berhenti dan tertidur.
Dengan sangat pelan dan hati-hati, Sena beringsut bangun dan melepaskan tangan Jo yang memeluknya. Berhasil!
Sebelum menutup pintu, tangan Sena mengipas-ngipas wajah Diwan. Ia takut adiknya melihat adegan barusan. Dan Sena bernafas lega saat yakin Diwan tertidur pulas.
Ia lalu keluar dari kamar dan segera berkumur-kumur. Minum air putih sebanyak-banyaknya.
Ya Tuhan! Apa yang dilakukan pria itu padanya?!
Sena meraba jantungnya yang berdebar. Riri pernah bilang jika kita jatuh cinta, maka jantung akan berdebar dua kali lipat dari biasanya.
Tapi, apa rasanya seperti ini? Ah, bodoh! Tentu saja bukan! Ini hanya kaget! Ya, jantungnya berdebar seperti ini pasti karena kaget. Sebab apa yang dilakukan Jo tadi adalah yang pertama buat Sena.
Lagi pula, Sena sudah berjanji pada Nyonya Renata. Bahwa dirinya tidak akan jatuh cinta pada Jo.
Sena berusaha memejamkan matanya. Tapi ini sedikit sulit. Kejadian tadi bagai hantu yang terus mengganggu pikirannya.
Jo sialan! Seenaknya saja menyentuh dirinya seperti itu!
Eh tapi tunggu, tadi saat Jo meracau tak jelas, Sena sempat mendengar bahwa Jo tidak jadi menyewa perempuan karena takut padanya.
Jo takut pada Sena? Bibir Sena melengkungkan senyuman. Ini artinya apa yang dia katakan telah membekas di pikiran Jo.
Ya, ajarannya tentang jangan membuang-buang uang untuk hal yang tak berguna telah menancap di pikiran pria itu.
Baguslah! Dengan begitu, tugasnya sebentar lagi selesai kan? Jo bisa menghargai orang lain. Ya semoga saja.
***
Sena bangun dan menggeliat pelan. Sekujur tubuhnya terasa pegal. Mungkin efek memapah tubuh besar Jo semalam. Ah, bagaimana keadaan pria menyebalkan itu ya?
Setelah membersihkan diri, Sena masuk ke kamar Jo dan Diwan. Adiknya sudah tak ada. Mungkin adiknya itu sedang mandi.
Tubuh Jo nampak menggigil kedinginan. Sena meraba dahi pria itu. Panas! Jo demam ternyata.
Merepotkan saja! Mungkin ada baiknya hari ini ia ijin tidak ke toko. Mana mungkin ia meninggalkan Jo sendirian dalam keadaan seperti ini kan? Meskipun Jo sering membuatnya naik darah, tapi Jo adalah titipan Nyonya Renata kan? Jadi ia punya tugas untuk memastikan Jo baik-baik saja.
Sena mengambil selimut dan menyelimuti Jo dengan hati-hati. Setelah ini ia harus membuat sarapan.
Sekitar 1 jam, Sena membuat bubur untuk sarapan mereka.
Diwan menghampiri Sena di dapur. Adiknya itu sudah lengkap dengan pakaian olahraganya. Ah iya, hari minggu seperti ini, biasanya Diwan berangkat ke taman kota dan ikut bekerja sebagai tukang parkir.
"Kak, gak ada sarapan nasi goreng?"
Diwan membuka tutup nasi. Tapi di meja hanya ada bubur tiga mangkuk.
"Tidak. Kakak membuat sarapan bubur."
"Lho, kok tumben?"
"Jo sakit. Jadi kita sarapan bubur hari ini."
Diwan mengangguk-angguk. Ia lalu mengambil bubur bagiannya.
"Oh ya, semalam Kak Jo pulang jam berapa?"
"Hampir masuk dini hari."
"Oalah, pantes! Aku gak ingat. Tahu-tahu pas aku bangun, Kak Jo udah ada."
"Ya. O ya, Wan! Hari ini kamu berangkat pake ojol saja ya?"
"Lho, kenapa?"
Sena diam. Apa yang harus dikatakan pada Diwan ya? Akan memalukan sekali jika ia jujur bahwa dirinya semalam mengkhawatirkan Jo dan mencari pria itu kan?
"Ah, begini. Semalam Kakak ke rumah Mbok Surti dan kehabisan bensin. Jadi kakak titipkan motor kakak di sana."
Bagus! Ia jadi pembohong yang baik sekarang. Pertama Mbok Surti dan sekarang adiknya sendiri.
"Lalu apa Kakak akan ke toko hari ini?"
"Sepertinya tidak dulu. Jo sakit. Kakak bisa dibunuh keluarganya jika tahu membiarkan anak manja itu sakit sendirian di sini."
"Kakak benar juga! Ya sudah, aku berangkat dulu ya, Kak?"
"Ya, hati-hati di jalan!"
"Okay!"
Sena mengambil bubur punya Jo dan membawanya ke kamar. Pria itu masih berbaring lemas.
"Heh, bangun! Makan dulu!" ucap Sena
Sedikit berteriak.
Jo membuka matanya pelan, lalu memegang kepalanya yang terasa berat.
"Kenapa gue ada di sini?"
"Lo mabok, bodoh! Merepotkan saja!"
"Aish, lo benar! Tapi bagaimana gue sampai di sini?"
"Terbang!" jawab Sena dengan ketus.
"Yang benar, Sen? Gue gak punya kekuatan kayak gitu lho?"
"Dasar bodoh!" Sena menoyor kepala Jo.
"Hei! Sakit!"
"Lagian kenapa lo bodoh dalam semua keadaan heh? Mana ada kekuatan bisa terbang kayak gitu?!"
"Lalu?"
"Gue yang ngangkat badan raksasa lo!"
Wajah Jo tersenyum malu-malu. Ia seperti pacar yang malu-malu kucing.
"Serius? Wah, lo mau ngangkat tubuh gue?"
"Ck, mimpi lo! Gue seret lo kayak karung!"
"Busyet! Kejam amat lo! Aw, kepala gue duh, sakit banget!"
"Makanya! Jangan bikin hal konyol kayak semalem! Ngerepotin gue aja tahu gak lo?"
"Ck, gendong gue gak rugi kok," dengus Jo. Si Sena emang gak bisa diajak kompromi memang. Jangan harap bisa merayunya seperti yang sering Jo lakukan pada gadis-gadis yang ia temui.
"Gak rugi gimana? Punggung gue serasa mau patah! Dan satu lagi, gue jadi gak ke toko hari ini, bodoh!"
"Whoa! Jadi lo gak kerja demi gue? Makasih!" Ucap Jo sambil memasang tampang kucingnya. Menyebalkan!
"Makanya, makan yang banyak biar cepat sembuh!"
"Lo khawatir sama gue?"
"Enggak. Cuma gue gak mau dilaporkan orang karena gue membiarkan anak bodoh mati sendirian di kontrakan gue!"
"Sadis, lo! Ya gue makan! Tapi suapin!"
"Bodoh! Gue gak mau! Makan sendiri!"
"Apa? Ya udah gue gak mau makan! Biarkan pemuda tampan ini mati di sini. Karena Sena tidak mau memberinya makan! Oh, mengharukan!"
"Ck, sini mulut lo!"
Jo tersenyum menang. Ia membuka mulutnya. Sena menjejalkan bubur itu dengan kesal.
"Heh! Pelan-pelan dong!"
"Makan saja! Jangan banyak omong, anak manja!"
Sena mengambil lagi bubur dengan sendok penuh. Hingga jari Sena belepotan dengan bubur.
Jo menyeringai. Otak playboynya segera aktif.
Saat Sena menyuapkan sendok itu, Jo menahan tangan Sena. Gadis itu menatapnya heran.
"Lo bilang jangan membuang-buang uang atau makanan kan?"
Sena hanya mengangguk dengan kening berkerut.
Tanpa diduga, Jo menjilati jari Sena yang belepotan dengan bubur.
Sena diam kaku. Terkejut tentu saja. Saat lidah hangat milik Jo menyentuh jarinya, seketika pikirannya melayang pada kejadian semalam. Sial! Ini tidak baik!
Sena langsung pergi dan melemparkan sendok ke depan Jo dengan kesal dan gugup.
"Makan sendiri!"
Tawa Jo meledak saat Sena pergi terburu-buru keluar dari kamar.