Bab 4

2278 Words
Meta berdiri di depan jendela. Matanya menatap lurus ke depan. Memandangi cahaya lampu yang mulai menyala karena langit telah berangsur menggelap. 'Kenapa kamu tega melakukan ini semua, Mas. Apa salahku? Kenapa kamu pergi di saat pernikahan kita akan di langsungkan. Untuk apa kamu mengobral janji jika akhirnya kamu sendiri yang mengingkarinya? Andai saja kamu tidak melangkah jauh, tentu saja semua ini tidak akan terjadi. Dimana kamu sekarang? Tahukah kamu, Mas? Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkan kamu. Rasa cinta dihatiku tidak akan tumbuh seperti yang kamu minta. Semuanya justru akan berubah menjadi rasa benci dan dendam. Sampai mati pun aku tidak akan pernah melupakan ini semua. Bukannya menyelamatkan aku, tapi kamu malah menyeretku masuk ke dalam hidupnya Ganjar.' Meta menyusut air matanya. Hatinya terasa sangat sakit saat ini. Hari bahagia lepas dari Ganjar yang telah ia nanti-nanti, berubah menjadi petaka yang menyakitkan untuknya. *** "Kamu dimana, Ganjar? Apa kamu lupa. Malam ini kita ada janji makan malam di rumah Lusi. Untuk menentukan tanggal pernikahanmu!" Cerocos Jani, Mama Ganjar di ujung panggilan. Ganjar menghela nafas, "aku tidak lupa, Ma. Tetapi aku tidak bisa menghadirinya. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan." "Kamu jangan coba-coba untuk membohongi Mama, ya." Sergah Jani. "Ganjar tidak bohong, Ma." "Mama sekarang berada di depan unit kamu. Kamu pikir Mama tidak bisa menemukan keberadaan kamu" sungut wanita paruh baya tersebut. Setiap ia dan Ganjar berselisih paham, pastilah putranya itu keluar dari rumah. Bahkan Ganjar betah berlama-lama tidak pulang ke rumah. Hingga akhirnya, sang Mama mencari tahu dimana Ganjar tinggal jika ia tidak pulang ke rumah. Hingga akhirnya berhasil menemukan tempat tinggal putranya. Di sebuah apartemen yang jauh dari kata mewah, yang terletak di tengah kota. Ganjar segera mematikan panggilan. Ia langsung meraih jasnya yang terletak di atas sofa. Dengan setengah berlari, Ganjar masuk ke kamar. "Meta ...," Meta menolehkan kepalanya, "Aku keluar sebentar! Aku berjanji tidak akan lama. Kalau ada apa-apa, kamu segera hubungi aku." Ganjar meletakan sebuah kartu nama di atas ranjang. "Kalau kamu mengantuk, tidurlah duluan. Kamu tidak perlu menunggu aku pulang." Meta hanya mengangguk pelan. Setelah selesai dengan istrinya, Ganjar segera keluar dari unit. Sebelum sang ibu masuk, ia telah menutup pintu unit tersebut. "Ayo. " Ucap Ganjar singkat. Setelah mengunci pintu unitnya. Kedua bahu sang mama terangkat. "Tadi kamu tidak mau datang ke rumah Lusi, sekarang? Malah kamu yang tergesa-gesa." "Tolonglah, Ma. Jangan cari perkara lagi." Gerutu Ganjar. "Mama tidak akan mencari perkara kalau kamu mengikuti keinginan Mama." Ketus Jani. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya ibu dan anak itu sampai di sebuah rumah mewah berlantai tiga. Rumah dengan pekarangan yang sangat luas, sudah cukup memberi bukti jika pemiliknya adalah orang yang sangat kaya raya. Begitu masuk, mata Ganjar langsung membesar melihat begitu banyaknya orang disana. "Ini acara makan malam atau apa sih, Ma?" "Seperti yang telah Mama katakan, malam ini penentuan tanggal pernikahan kamu dan Lusi." "Mama jangan bercanda, deh. Papa masih berada di luar kota, tetapi Mama sudah mengambil keputusan untuk menerima tawaran mereka semua." "Bukan mereka yang meminta. Tetapi Mama. Dan Papa sudah setuju. Kamu jangan macam-macam, Ganjar! Cukup turuti saja perintah Mama!" Suara Jani memang terdengar lembut, akan tetapi ia menekankan setiap kata yang diucapkan. Seluruh keluarga besar kedua belah pihak berkumpul. Mereka bercengkrama satu sama lain. Hingga akhirnya, mereka memutuskan hari pernikahan Lusi dan Ganjar. Yang akan dilaksanakan satu bulan lagi. Ganjar mengusap wajahnya dengan kasar. Walaupun ia yang akan menikah, akan tetapi pria itu tidak boleh mengusulkan apapun. Semuanya di serahkan kepada Lusi. Mulai dari waktu, tempat, Wo, dan lain sebagainya. Ganjar hanya boleh menerima. Saat malam semakin larut, barulah acara tersebut selesai. Satu persatu tamu yang hadir mulai meninggalkan rumah Lusi. Hingga akhirnya, Ganjar memiliki kesempatan untuk kabur dan meninggalkan ibunya disana. Mama pulang sendiri saja, ya. aku mohon, untuk kali ini saja. Aku ingin sendiri dulu dan menikmati masa lajangku. Sebelum aku terikat dengan pernikahan yang tidak aku inginkan. Sebuah pesan singkat dikirimkan Ganjar kepada ibunya. Saat mobil yang ia bawa mulai berjalan menjauhi rumah Lusi. Sebelum kembali ke apartemen, Ganjar mampir terlebih dahulu ke gerai makanan cepat saji. Disana, ia membeli satu paket burger dengan full keju. Yang merupakan makanan favorit Meta, istrinya. Ganjar mengetahui itu semua dari media sosial milik Meta, yang selalu saja update tentang burger full keju jika ia gajian. Begitu Ganjar sampai, tidak ada yang berubah dari apartemennya. Masih sama seperti saat ia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Ini cukup sebagai bukti, jika Meta tidak pernah keluar dari kamar. Perlahan, Ganjar masuk ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan Istrinya. Ia tertegun melihat Meta yang masih setia berdiri di depan kaca jendela. Sama seperti tadi, saat ia pergi. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Tatapan matanya kosong. "Ehem. Kamu belum tidur?" Meta menoleh dan menggelengkan kepalanya pelan. Ganjar mendekat, "Tidurlah! Ini sudah larut malam. Kamu bisa sakit." "Jangan kasihani aku." Meta menarik sudut bibirnya. "Aku tidak butuh itu." Ucapanya lagi. Hati Ganjar terasa di remas. Sakit, satu kata yang sudah cukup untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia telah berhasil merenggut kebahagiaan gadis yang ia cintai. Dengan memaksanya agar mau menikah dengannya. "Maaf." Lirih Ganjar. "Tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah kamu. Ini salahku yang terlalu percaya dengan kata-katanya yang manis." Jawab Meta dingin. Tanpa memberi tahu kata seperti apa yang Alex ucapkan agar Meta tidak besar kepala. "Walaupun begitu, aku tetap meminta maaf kepadamu." Ganjar membalikkan badannya, "Tidurlah! Jangan siksa dirimu sendiri. Tubuhmu juga butuh istirahat. Oh, ya. Kalau kamu lapar, ada burger di luar. Tadi sebelum pulang, aku membelikanmu burger full keju kesukaan kamu." "Tidak usah! Aku tidak ingin apapun. Apalagi makanan yang diajarkan oleh pria itu padaku. Aku ingin mengubur semua hal tentangnya." Langkah Ganjar terhenti, "Apakah dia begitu sangat berarti untukmu? Sehingga kamu begitu sangat terluka saat ini. Apakah selama ini kamu benar cinta dia, bukan aku?" Meta mengangguk, walaupun tidak akan terlihat oleh Ganjar yang sedang membelakanginya. "Aku sangat mencintainya. Bahkan melebihi rasa cintaku kepada diriku sendiri. Tetapi itu dulu. Mulai hari ini, cinta itu telah berubah menjadi rasa benci yang amat sangat besar. Sehingga aku menanamkan rasa benci di dalam itu jauh di dasar hatiku." Bohongnya. Untuk menutupi rasa yang sesungguhnya. "Jangan seperti itu, Meta. Masa depan kamu masih panjang. Kamu masih bisa menggapai bahagia. Walaupun tanpa Alex." "Kamu tahu itu! Tetapi kenapa kamu malah melibatkan dirimu sendiri ke dalam masalah ini. Menikahi wanita yang terang-terangan tidak pernah mencintaimu. Yang bahkan tidak memintamu untuk menyelamatkannya? Ganjar membeku. Kata-kata Meta berhasil menghancurkan perasaannya. Ia tidak menyangka gadis selembut Meta mampu mengatakan hal sesakit itu. Lidah Ganjar terasa kelu. Ia tidak mampu untuk mengatakan apapun. "Tidurlah! Setidaknya dengarkan perintah suamimu ini." Ganjar melangkahkan kakinya dari kamar dan menutup pintu tersebut. Begitu pintu tertutup, tubuh Meta bergetar. Pertahanan gadis itu kembali runtuh. 'Kenapa kamu melakukan ini semua kepadaku, Mas? Apa salahku. Ya... Tuhan. Tidak cukupkah Kau buat aku jatuh cinta kepada pria yang salah! Sehingga Engkau malah menghancurkan pernikahan yang baru saja akan membawaku lepas darinya?" Di balik pintu sana, Ganjar meremas rambutnya sendiri. Ia merasa frustasi melihat keadaan Meta sekarang. Gadis itu terlihat hidup segan mati tak mau. 'Maafkan aku, Meta. Hatiku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan kamu menikah dengan sahabatku sendiri. Maafkan aku. Maafkan aku. Dan aku tidak percaya, ternyata kamu memang mencintai Alex, bukan aku!' *** Sebelum berangkat ke kantor, Ganjar menyempatkan waktu untuk membuatkan sarapan sederhana untuk istrinya. Roti bakar dengan selai kacang, serta satu gelas s**u coklat panas. Telah tertata rapi diatas sebuah nampan. Dengan langkah yang cukup semangat, Ganjar memasuki kamarnya yang kini ditempati oleh Meta. Ini adalah hari baru, dan berharap ada pula ada kesempatan baru untuknya. Gadis itu tampak masih tertidur sangat pulas. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat sakit di hati Ganjar. Meta tidak tidur di atas ranjang, melainkan tertidur di atas sofa dalam keadaan duduk. Pria Pria itu menghela nafas berat, "Kenapa kamu tidak tidur di atas ranjang?" ucapnya, sambil mengangkat tubuh Meta. Kemudian ia memindahkannya ke atas ranjang. Begitu tubuhnya berpindah tempat, Meta terbangun. Gadis itu langsung menatap tajam kepada Ganjar yang sedang duduk di tepi tang memperhatikannya. "Pergilah!" Meta mengibaskan tangannya. "Tidak, aku tidak akan pergi sebelum kamu menghabiskan sarapanmu!" meraih nampan yang tadi ia letakkan di atas nakas. Kepala Meta menggeleng, "Aku tidak membutuhkan itu. Dan satu hal lagi, berhentilah mengasihani aku. Jangan habiskan waktumu hanya untuk menenangkan orang asing seperti aku." Meta membuang wajahnya ke arah lain. Ganjar tersenyum, "Makanlah! Walaupun sedikit," menyodorkan sepotong roti kepada Meta. Prank Nampan beserta isinya berserakan di atas lantai, saat Meta menepis roti yang ada di tangan Ganjar. Lagi-lagi, pria itu harus kembali bersabar untuk menghadapi istrinya. Walau bagaimanapun, semua perubahan dari Meta terjadi karena keegoisannya sendiri. "Akan aku ambilkan gantinya." Ganjar meninggalkan Meta yang masih enggan untuk menatap kepadanya. Beberapa menit kemudian, Ganjar kembali membawa sarapan seperti yang tadi. "Kamu sarapan dulu, ya, aku ingin membersihkan ini terlebih dahulu." Pria itu segera membersihkan kekacauan yang dilakukan oleh istrinya. "Kenapa?" tanya Meta dingin. Kedua tangan gadis itu mengepal erat. Ganjar mengangkat wajahnya. Ia menatap sendu kepada gadis yang kemarin nikahi. Tatapan istrinya itu lurus kedepan. Tidak ada rona kehidupan di dalam tatapan gadis itu. "Tolong jawab?" lirih Meta. Buliran bening mulai membasahi pipi mulusnya. "Aku tidak tahu harus menjawab apa, Meta," jawab Ganjar lembut. "Kenapa kau melakukan ini semua? Kenapa kau mau menggantikan posisi pria itu? Apa yang sedang kalian rencanakan untukku? Sehingga kalian memposisikan aku sebagai barang yang bisa kalian pindah alihkan. Seakan rencana pernikahanku dengan Alex hanyalah ilusi?" "Aku tidak memiliki maksud apapun. Aku melaksanakan karena aku ingin. Meta, aku mencintaimu. Tidak ada salahnya bagiku untuk menikahi gadis yang aku cintai. Mungkin ini menyakitimu. Akan tetapi ini adalah kesempatan bagiku untuk membahagiakan kamu. Membuktikan, kalau orangtuaku tidak layak mengatur hidup yang aku jalani." Meta menatap nanar kepada Ganjar. Bibirnya bergetar hebat karena menahan tangisnya sendiri. "Kau mencintaiku?" Ulangnya. Memastikan lagi ucapan Ganjar, meskipun selama ini pria itu terang-terangan mengejarnya. Ganjar mengangguk. "Benar. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tetapi Alex telah lebih dahulu menaklukkan hatimu. Dan aku terlalu pengecut untuk melawan kepada orang tuaku sehingga mereka malah mengganggu hidupmu dan keluargamu. Percayalah, rasa cintaku tidak kalah besar dengan cintanya, itupun kalau memang hubungan kalian nyata." Pria itu menghentikan menepikan kekacauan yang tadi. Lalu ia duduk di tepi ranjang dan mengusap air mata yang mengalir di pipi Meta. "Jangan menangis lagi! Aku mohon," Ganjar sedikit merapikan anak rambut Meta. "Aku tidak mampu untuk menahan ini semua. Sakit. Hatiku begitu sakit. Apakah aku salah mengerjapkan untuk hidup bahagia dengan pria yang selalu bisa menghargai aku? Apakah aku tidak pantas bahagia, sehingga Tuhan menghukumku seperti ini?" Meta memukul dadanya sendiri. Ganjar memberanikan diri untuk merangkul bahu Meta. Berharap gadis itu bisa sedikit tenang di dalam pelukannya. "Menangislah. Keluarkan segala kesedihan yang ada di dalam hatimu. Tetapi jangan sakiti dirimu. Kamu bisa memukulku hingga hatimu tentang." Ganjar menggenggam pergelangan tangan Meta dan menuntun tangan gadis itu untuk memukul wajahnya. Hingga akhirnya, Meta menangis histeris di dalam pelukan Ganjar. Ia menumpahkan segala kesedihannya di sana. Hati Ganjar semakin terasa sakit melihat keadaan Meta. 'Maafkan aku. Aku berjanji kepadamu. Dalam satu tahun ini aku tidak mampu mendapatkan cinta darimu. Aku akan melepaskanmu untuk kembali menggapai bahagia dengan dia.' *** Lusi merengek kepada ibunya Ganjar. Agar calon mertuanya itu mau mengajaknya untuk bertemu dengan pria yang akan menjadi suaminya. Hingga akhirnya, mereka berdua menuju unit apartemen tempat Ganjar dan Meta tinggal. Sebelumnya kedua wanita beda generasi tersebut mendatangi kantor Ganjar. Akan tetapi pria itu belum menampakkan batang hidungnya dari tadi pagi. Hingga matahari telah berada di atas puncaknya. "Ganjar tinggal disini, Ma?" tanya Lusi yang sedang bergelayut manja di lengan Jani. "Iya, tetapi Mama tidak tahu sejak kapan dia membeli unit ini." Masih menggerutu, Jani menekan bel unit tersebut. Ganjar membaringkan tubuh Meta di atas ranjang. Terlalu lama menangis, gadis itu kembali tertidur. Sesudah itu, Ganjar menyelimuti tubuh istrinya hingga d**a. Kemudian, pria itu keluar untuk melihat siapa yang menekan bel unit tiada henti. Sebelum keluar, Ganjar menutup kamar yang ditempati oleh Meta. Untuk berjaga-jaga jika seandainya sang ibu yang datang berkunjung. Sesuai dengan tebakan Ganjar, ibunya telah berdiri dengan wajah masam di depan pintu unit. Wanita yang dipanggil 'mama' oleh Ganjar tersebut membawa Lusi bersama dengannya. "Kenapa lama sekali baru kamu buka? Dan kenapa hingga siang seperti ini kamu belum berangkat ke kantor?" gerutu Jani. Wanita paruh baya itu langsung masuk ke dalam unit dengan sedikit mendorong d**a Ganjar. Diikuti Lusi dari belakang. "Apa yang membuat kamu betah tinggal sendirian di unit ini?" sambung Jani lagi. "Tidak ada, Ma!" Ganjar menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. "Aku hanya ingin menikmati masa-masa kesendirianku. Sebaiknya Mama dan Lusi pulang!" "Baiklah Mama akan pulang! Tetapi Mama tidak membawa Lusi pulang bersama Mama. Kamu tolong antarkan dia pulang ke rumah. Atau sebaiknya kalian berdua makan siang dulu. Kapan lagi kamu punya waktu untuk berduaan ya, kan?" Jani melenggang pergi. "Pulanglah bersama mama!" Ganjar mengibaskan tangannya. "Aku tidak mau!" sergah Lusi. "Bukankah tadi mama sudah meminta kamu untuk mengantarkan aku pulang?" Suara tinggi Lusi memancing Jani kembali ke unit. Wanita paruh baya itu menggeram melihat Ganjar yang tidak mendengarkan perkataannya. "Kamu bisa nggak, satu kali saja mengikuti keinginan Mama?" "Aku tidak bisa, Ma." "Kenapa? Lusi ini calon istrimu!" "Baru calon, bukan istriku!" sergah Ganjar tidak mau kalah. "Baiklah kalau begitu. Mama akan mempercepat proses pernikahan kalian berdua. Ayo, Lusi! Ikut Mama!" Jani menarik pergelangan tangan Lusi. "Aku nggak mau pulang sama Mama. Aku maunya sama Ganjar, Ma..." rengek Lusi. "Kamu ikut Mama, ya. Temani Mama untuk menemui orang tuamu. Untuk membicarakan tentang rencana pernikahan kalian berdua. Mama ingin pernikahan kalian dilakukan Minggu depan." Ganjar dan Lusi sama-sama terkejut dengan penuturan Jani. Termasuk gadis yang sedang berdiri mematung di balik pintu kamar. Terlalu larut dalam kesedihan, Meta sampai melupakan status Ganjar yang telah menjadi tunangan orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD