Bab 5

4295 Words
"Lebih baik kita akhiri saja ini semua. Aku tidak ingin tunanganmu bernasib sama denganku!" Meta menemui Ganjar, saat mendengar Jani dan Lusi pamit untuk pulang. "Tidak! Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahan ini. Karena aku mencintaimu!" "Namun, aku tidak mencintaimu. Aku sarankan. Lebih baik kamu memilih tunanganmu daripada aku. Karena aku tidak bisa menjanjikan apapun dengan pernikahan kita ini. Aku juga tidak yakin dengan diriku sendiri." Elak Meta, kembali pada keputusan awalnya untuk menjauhi Ganjar. "Aku tidak peduli itu. Yang terpenting sekarang, izinkan aku untuk memperjuangkan cintaku. Aku yakin, lambat laun aku bisa mengobati hatimu. Dan menjadi satu-satunya pria yang kamu cintai." Meta menggeleng, "Sudahlah, Gan! Menyerah saja. Begitu banyak rintangan untukmu. Terutama orang tuamu, sedangkan aku tidak pernah peduli dengan pernikahan ini." Gadis itu menutup pintu kamar dengan sangat keras. Sehingga Ganjar sedikit terkejut karena dentuman yang berasal dari pintu tersebut. Ganjar mengacak-acak rambutnya sendiri. Lagi-lagi ia gagal untuk mengajak Meta berbicara. Hari ini, masih sama dengan hari kemarin. Meta masih mengurung diri di dalam kamar. Lagi-lagi tanpa menyentuh makanan dan minuman yang telah disediakan oleh Ganjar, suaminya. Sehingga hari ini, Meta tidak mampu untuk membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa dingin. Bibir dan wajahnya juga semakin memucat. "Meta, kamu kenapa?" Ganjar menepuk pipi istrinya lembut. Namun, tidak ada respon apapun dari Meta. Rasa panas dari pipi gadis itu, sangat terasa di kulit tangan Ganjar. Sontak, pria itu langsung panik. Mendapati suhu tubuh istrinya berlipat-lipat lebih panas dari biasanya. Ganjar meraih telepon genggamnya dan menghubungi dokter pribadi keluarganya. Tidak lama, seorang pria paruh baya datang ke unit Ganjar, untuk memeriksa keadaan Meta. Hati Ganjar semakin sakit saat mendengarkan keterangan dokter tersebut. Tidak ada asupan apapun yang masuk, sekaligus mentalnya yang drop, menjadi faktor utama turunnya kesehatan istrinya tersebut. Begitu dokter itu selesai dan meninggalkan unit, Ganjar duduk di samping Meta. Ia memandangi istrinya yang sedang tertidur. Ganjar semakin merasa bersalah karena menjadi penyebab batalnya pernikahan gadis yang ia cintai itu. Sehingga membuat Meta sakit dan menanggung rasa sakit yang begitu amat dalam. "Mas... jangan pergi!" lirih Meta. Dengan mata yang masih terpejam dan tubuh yang menggigil. "Meta ..." Ganjar menggenggam tangan istrinya itu. "Dingin," ucap Meta. Dengan mata yang sedikit terbuka. Ganjar meneguk ludahnya. Tatapan kesakitan dari istrinya mampu meremas jantung dan hatinya secara bersamaan. Hingga akhirnya, Ganjar memberanikan diri untuk berbaring dan membawa tubuh Meta ke dalam pelukannya. Membuat gadis itu sedikit tenang. Dengan perlahan, Meta kembali tertidur. Karena kehangatan yang berasal dari tubuh Ganjar, telah mengalahkan rasa dingin pada tubuhnya. *** Jani memukul meja yang ada di hadapannya. Dadanya naik turun karena menghembuskan nafas dengan cepat. Matanya memerah menatap seorang pria yang duduk tertunduk di hadapannya kini. "Kamu jangan coba-coba untuk mempermainkanku!" sergah Jani lagi. "Saya tidak mungkin mempermainkan Ibu. Telah bertahun-tahun saya bekerja disini, tidak mungkin rasanya saya melakukannya!" pria tersebut menyerahkan ponselnya kepada Jani. Disana terpampang sebuah foto yang mampu membuat mata Jani membesar. Seakan ingin melompat dari dalam sarangnya. "i-ini?" Jani menunjuk foto tersebut. Di sana, ada Ganjar yang sedang duduk. Ia menatap sendu kepada wanita yang sedang berbaring di atas ranjang. Wanita yang selama ini berusaha ia singkirkan. "Nama gadis itu, Meta. Istri sah putra tunggal anda. Ganjar telah meminta saya untuk merahasiakan ini semua. Akan tetapi, saya lebih memilih untuk membongkarnya. Demi membalas budi kepada orang tua Lusi." "Kapan mereka menikah? Sakit apa dia?" tanya Jani. Tanpa menatap lawan bicaranya. "Saya kurang tahu kapan pastinya. Akan tetapi, untuk saat ini anda masih bisa bernafas dengan lega. Dia hanya demam biasa. Akibat gangguan psikis yang ia alami." "Terima kasih informasinya. Sekarang kamu bisa pergi dari sini. Bayaranmu segera saya transfer!" Jani mengibaskan tangannya. Diiringi dengan anggukan dari pria paruh baya yang ada di hadapannya. Sesudah itu, Jani menghubungi seseorang. "Percepat persiapan pernikahan Ganjar. Saya tidak mau tahu bagaimana caranya. Karena saya ingin pernikahan tersebut dimajukan menjaga minggu ini." Tanpa menunggu persetujuan dari orang yang sedang ia hubungi, Jani memutuskan panggilan yang sedang terhubung. Beberapa hari ini, Ganjar sibuk mengurus Meta yang sedang sakit. Sehingga ia sudah tidak pernah pergi ke kantor dan pulang ke rumah. Membuat Jani semakin geram karena kelakuan putra tunggalnya itu. Mati-matian ia meneror Meta selama ini, tapi mereka malah menikah tanpa ia ketahui. Sesuai dengan titah Jani empat hari yang lalu, ia ingin pernikahan Ganjar segera dilaksanakan. Tanpa terasa, besok adalah hari pernikahan putranya dan Lusi. Disaat semua persiapan hampir selesai, tidak ada satupun persiapan yang dilakukan oleh Ganjar. Ia sama sekali tidak mengetahui rencana ibunya tersebut. "Pagi, Sayang...," Ganjar mengecup puncak kepala Meta, yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Meta hanya tersenyum menanggapi sapaan Ganjar kepadanya. Gadis itu mulai bisa menerima pernikahan mereka berdua, karena kegigihan Ganjar dalam memperjuangkan cintanya. Membuktikan tidak ada teror apapun lagi dari kedua orang tuanya. Berkali-kali, maka berkali-kali pula Ganjar kembali datang berusaha untuk meruntuhkan dinding yang ia buat. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?" tanya Ganjar. Pria itu meletakkan nampan berisi makanan di atas nakas. Lalu duduk di samping istrinya itu dan mengusap tangan Meta. "Sudah lebih baik," jawab Meta singkat. "Syukurlah kalau begitu. Agar keadaanmu lebih baik, sekarang kamu sarapan. Aku sudah memesankan sup ayam untukmu." Ganjar meraih sup ayam dan menyuapinya untuk Meta. Gadis itu menerima suapan dari Ganjar. Walaupun di hatinya masih ada kecanggungan saat berdekatan dengan pria yang satu minggu yang lalu telah resmi menjadi suaminya. "Mas ...," Meta mengangkat wajahnya. Jantung Ganjar berpacu dengan sangat cepat saat Meta memanggilnya. Untuk pertama kalinya gadis itu memanggilnya dengan sebutan 'Mas', setelah sekian lama pernikahan mereka. "Mas, kenapa melamun?" Meta menyentuh lengan Ganjar. "Ah, iya. Kenapa?" jawab Ganjar cepat. Ia juga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Karena salah tingkah dengan panggilan Meta padanya. "Setelah aku pikirkan dengan baik-baik. Aku ingin mencoba untuk menerima pernikahan ini. Akan tetapi, ada satu hal yang harus kamu luruskan, Mas. Aku ingin kamu membicarakan ini dengan tunanganmu. Aku yakin tunanganmu sama denganku. Tidak ingin ada wanita lain di dalam hubungan kami. Dan katakan pada ibumu kita sudah menikah." Mata Ganjar berbinar. "Tentu, tentu saja aku mau meluruskan ini dengan Lusi. Hari ini juga aku akan menemui kedua orang tuaku untuk memperjuangkan kamu. Aku akan mengungkap ini semua," menggenggam erat tangan Meta. "Pergilah. Aku akan menunggumu di sini." "Baiklah. Tunggu aku disini. Aku akan segera kembali." Ganjar mengecup puncak kepala Meta. Diiringi dengan buliran bening yang mengalir dari sudut matanya. Meta terkejut saat satu titik buliran tersebut jatuh ke atas tangannya. Gadis itu mendongak. Ia terkejut melihat Ganjar yang menangis haru karena keputusan yang ia buat. 'Sebesar apa rasa cinta yang tumbuh di hatimu untukku. Kamu terlihat begitu sangat bahagia saat aku memutuskan untuk menerima pernikahan ini. Tuhan..., jika memang ini yang terbaik untukku, lancarkan semuanya untuk kami.' *** Mata Ganjar membesar saat mobilnya memasuki halaman rumahnya. Di sana, sangat terlihat dengan jelas akan ada pesta pernikahan. Beberapa orang yang sedang mendekor terlihat tersenyum kepada Ganjar yang masuk ke rumah mewah tersebut. "Ma, aku ingin mengatakan sesuatu. Aku tunggu Mama di ...." ucapan Ganjar terhenti. Karena sang mama mengangkat satu tangannya. "Kebetulan sekali. Mama juga ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Mulai detik ini, Mama tidak mengizinkan kamu untuk keluar dari rumah ini!" Jani mengeluarkan telepon genggamnya. Ia segera mengirimkan pesan singkat kepada seseorang. "Kamu tidak perlu mengatakan apapun. Mama sudah tahu apa yang ingin kamu katakan. Sekarang, Mama minta ceraikan Meta!" Mata Ganjar membesar. "Mama tahu dari mana tentang aku dan Meta?" "Kamu tidak perlu tahu dari mana Mama mengetahuinya. Yang terpenting saat ini, ikuti saja perintah Mama. Atau kamu akan kehilangan segalanya," Jani memberikan kode lewat tatapan matanya. Ia memberikan isyarat kepada beberapa orang pria bertubuh kekar, yang baru saja masuk ke ruang tamu rumah mewah tersebut. "Ma, apa-apaan ini?" Ganjar berusaha melepaskan diri dari cengkraman para pria bertubuh kekar tersebut. "Satu hal yang Mama yakini, kamu tidak akan pernah mau meninggalkan gadis miskin itu. Maka dari itu, Mama mempercepat acara pernikahanmu dengan Lusi. Dan besok adalah hari pernikahan kalian berdua. Kalau kamu mau menikah dengan Lusi, Mama tidak akan mengganggu hubunganmu dengan istrimu itu. Kamu tinggal adil terhadap mereka berdua." Jani meninggalkan Ganjar yang masih berusaha melepaskan diri. "Ma..., ini tidak adil baginya. Aku tidak mencintai Lusi, Ma. Lebih baik aku kehilangan semuanya asalkan Mama tidak mengganggu rumah tanggaku dengan istriku!" sergah Ganjar. "Tidak! Mama tidak peduli itu semua. Yang jelas saat ini, kamu turuti keinginan Mama. Atau Meta yang akan menjadi korbannya." Jani mengibaskan tangannya. "Bawa anak saya keruangan yang telah disediakan. Jangan sampai dia lolos." "Ma... Mama, jangan seperti ini, Ma." Perlahan, suara Ganjar menghilang. Ia dibawa paksa oleh orang-orang suruhan Jani. Di unit apartemen, Meta mempersiapkan makan malam untuk Ganjar. Menggunakan bahan makanan yang tersedia di dalam lemari pendingin mereka. Tidak banyak bahan yang ada disana, hanya ada telur dan sambal instan. Beserta sayur bayam, sisa dari masakan Ganjar kemarin siang. Tidak berapa lama, makan malam yang sangat sederhana itu telah terhidang di meja makan. Disana, Meta telah duduk menunggu kepulangan suaminya. Namun, hingga larut malam Ganjar belum menunjukkan batang hidungnya. Membuat Meta semakin gelisah. Semenjak menikah, tidak pernah sekalipun Ganjar tidak pulang ke rumah. Tetapi malam ini, saat ia ingin memulainya dari awal, Ganjar belum kembali ke unit hingga lewat tengah malam. Ganjar terus berteriak dan memukul pintu ruangan tempat ia di sekap. Pria itu tidak mempedulikan tangannya yang telah bengkak dan berdarah. Yang ia inginkan sekarang, pergi dari tempat itu dan membawa Meta pergi sejauh mungkin. Hampir putus asa, akhirnya Ganjar melihat sebuah jendela kecil yang terbuat dari kaca. Ia memukul kaca tersebut hingga pecah. Sesudah itu, ia keluar dari ruangan tersebut. Dengan tangan yang telah terluka parah. Dengan hati-hati Ganjar keluar dari rumah mewah tersebut. Begitu ia berhasil keluar dari rumahnya, Ganjar segera mencari tumpangan untuk pulang ke apartemen. Cukup sulit baginya untuk menemukan tumpangan karena hari hampir subuh. Begitu ia sampai, Ganjar mendapati Meta yang tertidur di sofa yang terdapat di ruang tamu. Rasa sakit di tangannya menguap begitu saja. Saat ia melihat Meta yang tertidur karena menunggu kepulangannya. Ganjar mengusap lembut pipi istrinya. "Kenapa kamu tidur disini?" tanya Ganjar. Begitu Meta menggeliat karena tidurnya yang terusik. Mata yang dihiasi oleh bulu mata lentik itu mengerjap beberapa kali. "Mas...," Meta mengusap matanya. "Baru pulang?" ucapnya lagi. Ganjar mengangguk. "Maaf, membuatmu menunggu lama." "Tidak apa-apa. Mas sudah makan?" Meta duduk dan merapikan penampilannya. "Belum," jawab Ganjar singkat. "Kalau begitu, kita makan dulu. Aku memasakkan sesuatu untukmu!" menggenggam tangan Ganjar, yang ia letak kan di lengan sofa. Ganjar meringis. Meta menyentuh tepat di punggung tangannya yang terluka dan bengkak. "Ka-kamu, kenapa Mas?" Meta gelagapan melihat tangan Ganjar yang terluka cukup parah. "Aku tidak apa-apa. Sebaiknya, sekarang kita berkemas. Aku tidak ingin ada yang melihat kita berada disini." "Kenapa? Keluargamu masih menolak kehadiranku?" Ganjar menggenggam tangan istrinya itu. "Nanti saja kita bahas, ya. Untuk saat ini, biar aku saja yang menghadapinya. Begitu selesai, baru kamu boleh tahu apa yang terjadi." "Tidak! Aku tidak ingin pernikahan kita di warnai oleh kebohongan. Cepat katakan, ada apa?" Hati Ganjar semakin terasa sakit. Karena ucapan Meta. Istrinya itu benar, tidak seharusnya ada sebuah kebohongan di dalam sebuah rumah tangga. "Orang tuaku belum mau merestui hubungan kita. Dan besok, adalah hari pernikahanku dan Lusi. Jika aku ingin pernikahan kita tetap bertahan, aku harus menikahi Lusi besok. Sedangkan aku hanya mencintaimu. Bukan Lusi." Meta tertegun mendengar ucapan Ganjar. Pria itu terlihat sangat hancur sekarang. "Seberapa dalam cintamu untukku. Sehingga kamu mengajakku pergi dari sini? Aku yakin, kedudukanmu di dalam keluarga besarmu sedang dipertaruhkan sekarang." "Aku sendiri tidak tahu seberapa besar dan dalam cintaku. Yang aku tahu, kamu begitu sangat berarti bagiku. Aku tidak peduli dengan apapun lagi. Asalkan kamu selalu berada didekatku." "Tapi aku tidak mencintaimu." Meta masih menyembunyikan rasa cintanya agar tidak terlalu melampaui batas dalam bertindak. Ganjar mendongakkan. "Bukan 'tidak', tapi belum. Aku yakin suatu saat nanti, akan ada cinta yang tumbuh di hatimu untukku." Perlahan, wajah Ganjar mendekat. Ia melumat bibir ranum Meta yang sedikit terbuka. Mata gadis itu terpejam. Ciuman lembut itu mampu menenangkan perasaannya. Hingga tanpa Meta sadari, ia membalas ciuman suaminya itu. "Benar dugaan Mama! Kamu pasti pulang ke tempat w************n ini." Ucap Jani. Wanita paruh baya tersebut datang dengan tiga orang pria bertubuh kekar. "Bawa mereka berdua ke rumah! Jangankan lepaskan, sebelum akad nikah Ganjar dan Lusi dilangsungkan. Lagi-lagi Ganjar memberontak dan mengumpat Jani dengan kata-kata kasarnya. Sedangkan Meta, ia hanya pasrah saat salah satu pria bertubuh kekar itu membawanya. *** Meta meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. Dari semalam ia dipukuli oleh dua orang pria yang datang bersama ibu Ganjar. Semua itu beliau lakukan agar suaminya itu mau menikah dengan Lusi hari ini. Meta menatap keluar jendela yang telah terang benderang. Menandakan hari telah berganti. Itu artinya, hari ini pernikahan Ganjar dengan Lusi. Mengabaikan rasa sakit, Meta mencoba keluar dari kamar yang ia tempati. Jantungnya berdegup kencang saat membuka pintu besar yang ada di hadapannya kini. Saat gadis itu keluar dari kamar tersebut, ia tidak melihat satupun orang disana. Rumah yang semalam dihias dengan sedemikian rupa, hari ini kosong. Tidak ada satupun yang menempel di rumah tersebut. "Nona Muda sudah bangun?" tanya seorang wanita paruh baya, kepada Meta yang masih kebingungan. "I-iya, Bu! Eemm...," "Mari ikut saya!" Wanita paruh baya itu menuntun Meta untuk menuju sebuah ruangan. Disana telah berkumpul keluarga besar Ganjar dan Lusi. Sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Pernikahan Ganjar dan Lusi tetap dilaksanakan, walaupun hanya pernikahan rahasia. Dengan beberapa persyaratan yang dari pengantin pria. Diantaranya, Lusi harus rela bercerai dari Ganjar jika dalam waktu enam bulan ia belum bisa menaklukkan hati pria itu. Sebelum Lusi menyetujui syarat tersebut, ia juga mengajukan persyaratan untuk calon suaminya itu. Salah satunya, mereka bertiga akan tinggal bersama dalam satu atap dan Ganjar harus membagi waktu untuk tidur bersama antara Lusi dan Meta. Tanpa terasa, pernikahan tertutup antara Ganjar dan Lusi selesai dilakukan. Untuk malam ini, Lusi meminta Ganjar untuk tidur bersamanya. Dengan berat hati, Ganjar menyetujui permintaan istri keduanya tersebut. Dengan catatan, tidak ada ada paksaan untuk melakukan malam pertama. "Maafkan aku yang telah menyeret ke dalam masalah yang besar ini. Aku tidak bisa menolak ini semua, karena keselamatanmu yang menjadi taruhannya." Terang Ganjar. Menggenggam tangan Meta dengan erat. "Tidak apa-apa, Mas. Aku memahaminya. Aku tidak mungkin melarangmu untuk menikah dengan calon istrimu sendiri. Karena disini akulah yang menjadi orang ketiganya. Seandainya waktu itu kamu mengabaikan aku, sudah bisa dipastikan saat ini kamu sudah hidup bahagia bersama Lusi." Jawab Meta santai. Walaupun sebenarnya ada perasaan yang sakit di hatinya saat melihat Ganjar mengucapkan ijab kabul untuk Lusi. "Aku berharap ini semua cepat berlalu, agar aku bisa fokus untuk menaklukkan hatimu." Ganjar menatap Meta yang sedang duduk di tepi ranjang. "Aku...," "Mas, malam ini jadwal kamu tidur bersamaku. Aku harap kamu tidak melupakan kesepakatan kita." Ketus Lusi. Yang baru saja muncul dari balik pintu kamar Meta. Sekaligus menghentikan pembicaraan Meta dan Ganjar. "Aku tahu. Kamu pergilah. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan istriku." Ganjar menutup pintu kamar Meta. Lusi yang merasa tersinggung, pergi ke kamarnya dengan satu buah rencana yang akan membuat Ganjar menjadi miliknya. "Aku pergi, ya. Kamu langsung tidur." Tanpa persetujuan dari Meta, Ganjar mencium kening istrinya itu. Mata Meta terpejam. Lagi-lagi rasa cinta tersebut menyelusup ke dalam hatinya. Tubuhnya juga terasa lemas saat melihat Ganjar ke luar dari kamar. *** "Sudah selesai diskusinya?" tanya Lusi. Ganjar mengangguk. "Tidurlah! Aku mengantuk." Membaringkan tubuhnya di atas ranjang, setelah ia meminum air mineral yang tersedia di atas nakas. Lusi tersenyum menang melihat Ganjar meminum air yang telah ia sediakan. Suatu kebiasaan bagi pria itu, meminum air mineral sebelum tidur. Sehingga memudahkan Lusi untuk menjebak Ganjar malam itu. Baru beberapa menit, mata Ganjar kembali terbuka. Rasa panas dan gatal pada tubuhnya membuat pria itu kembali terbangun. Rasa itu semakin menjadi-jadi saat ia melihat Lusi yang sedang berbaring di sampingnya. Entah sejak kapan gadis itu mengenakannya lingerie transparan, yang memperlihatkan tubuhnya. Di tambah lagi, gadis itu tidak menggunakan dalaman apapun, sehingga bagian terlarang gadis itu terlihat sangat jelas. Ganjar meneguk ludahnya berkali-kali saat Lusi memiringkan tubuh dan menatap kepadanya. Sehingga memamerkan belahan yang begitu sangat menggoda. Tanpa mampu ia tahan, di bawah sana ia telah meminta untuk segera dipuaskan. Namun, secepat kilat Ganjar menutupi tubuh menggoda Lusi dengan sebuah selimut. Pria itu juga kembali mencoba menutup kedua matanya untuk mengabaikan rasa panas dan sakit di kepalanya. Semenjak Ganjar keluar dari kamar, Meta masih duduk di tepi ranjang dengan tatapan yang masih terpaku pada pintu kamar yang tertutup. Rasa gelisah menelusup ke dalam hatinya saat membayangkan Lusi yang tidur di dalam dekapan Ganjar, suaminya. Kepala Meta menggeleng. Ia berusaha menghilangkan rasa cemburu yang menghantuinya semenjak tadi siang. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk tidur. Namun, baru beberapa saat matanya terpejam, mata Meta kembali terbuka, saat merasakan seseorang yang sedang memeluknya erat. "Mas, kamu?" kening Meta mengernyit dalam. Melihat buliran peluh yang membasahi tubuh suaminya itu. "Wanita itu sepertinya mengerjaiku. Agar malam ini aku menidurinya." Lirih Ganjar. Dengan masih melingkarkan tangannya di perut ramping Meta. "Mengerjai bagaimana, Mas?" tanya Meta lagi. "Aku tidak bisa menahan hasratku ini. Setelah meminum air mineral yang tersedia di atas nakas." Ganjar semakin meringis karena efek obat yang semakin menguasai dirinya. Hampir satu jam ia tersiksa karena obat pemberian Lusi tersebut. "Mas mau kemana?" tanya Meta saat Ganjar beringsut turun dari ranjang. "Aku ingin mandi. Untuk mendinginkan tubuhku." Jawab Ganjar singkat. Lima belas menit berlalu, akan tetapi Ganjar masih berada di dalam kamar mandi. Meta melirik jam yang berada di atas nakas. "Sudah pukul dua belas malam. Kenapa masih di dalam sana. Apakah sangat menyiksa saat menginginkan itu?" gumam Meta. Setelah mempertimbangkan baik buruknya, akhirnya gadis itu memutuskan untuk melihat keadaan Ganjar di kamar mandi. Meta tertegun melihat suaminya berdiri mematung di bawah kucuran air shower. Masih berpakaian lengkap, pria itu menikmati aliran air dingin di tubuh kekarnya. Meta meraih sebuah handuk dan mematikan shower tersebut. Lalu, ia melingkarkan handuk tersebut di tubuh Ganjar. "Kamu bisa masuk angin, Mas." "Aku tersiksa karena ini. Biarkan sebentar lagi. Kamu tidur saja, ya." Mengulurkan tangannya untuk menyalakan kembali shower tersebut. Meta berjinjit, lalu memberanikan diri untuk memagut lembut bibir suaminya itu. Mata Ganjar membesar saat merasakan bibir hangat dan basah Meta menempel di bibirnya. "Lakukan padaku!" serak Meta. Jari-jari lentik gadis itu pun mengelus rahangnya. Mata Ganjar terpejam, ia merasakan hasrat yang tadinya hampir padam kini kembali menyala lebih besar daripada yang tadi. Pria itu juga terngiang perjanjiannya dengan Alex, yang melarang pria itu menyentuh Meta. Akan tetapi saat ini, gadis itu sendiri yang menyerahkan dirinya untuk dimiliki seutuhnya. Ganjar membalas pagutan bibir istrinya. Mata Meta membesar karena aliran aneh yang menguak pada bagian bawah tubuhnya, saat Ganjar menelusupkan tangan besarnya ke dalam baju yang melekat di tubuhnya. Merasa tidak puas, Ganjar mengangkat tubuh ramping istrinya itu dan membaringkannya di atas ranjang. Dengan nafas yang memburu, Ganjar membuka pakaian mereka dua. Hingga tubuh pasangan suami istri itu sama-sama polos tanpa sehelai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Nafas Meta semakin tidak menentu, saat tangan besar Ganjar mempermainkan miliknya. Ujung lidah pria itu juga menari dengan lincahnya di atas salah satu ujung gundukan gadis itu. Di Bawah kendali Ganjar, desahan demi desahan lolos begitu saja dari mulut Meta. Walaupun ia telah berusaha menahan suara tersebut dengan cara menggigit bibir bawahnya sendiri. Disaat hasratnya memuncak, Ganjar menindih dan memeluk tubuh istrinya itu. Perlahan, ia mengarahkan miliknya yang dari tadi telah mengeras ke inti tubuh Meta. Meta meremas pundak Ganjar, saat milik Ganjar yang begitu keras dan besar memaksa masuk ke dalam miliknya. Rasa sakit dan perih menjadi satu. Diiringi dengan ringisan dan air mata yang mengalir di pelupuk mata. Ganjar membenamkan seluruh bagian dirinya dan memeluk tubuh Meta. Diam sejenak agar sama-sama terbiasa dengan keadaan sekarang. Saat Meta mulai tenang, Ganjar mulai bergerak, untuk mencapai kenikmatan surga dunia yang telah halal bagi mereka. Semakin lama, gerakan Ganjar semakin cepat. Ringisan Meta berubah menjadi desahan saat ia mulai terbiasa dengan keadaan yang ada. Nafas mereka semakin memburu, saat ingin mendapatkan pelepasan masing-masing. Meta meremas rambut hitam legam Ganjar, saat pria itu menghentakkan miliknya dalam-dalam. Untuk menghantarkan benih yang akan tumbuh di rahim Istrinya itu. Setelah mendapatkan pelepasannya, Ganjar membawa tubuh penuh keringat Meta berbaring di atas tubuhnya. Tanpa melepaskan penyatuan mereka. "Terimakasih, Sayang. Sampai mati pun, aku tidak akan pernah melupakan malam indah ini." Ganjar mengecup puncak kepala Meta. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua. Meta tidak sanggup menjawab. Rasa penuh dan sakit masih menguasai dirinya. Tubuhnya pun terasa remuk karena percintaan mereka. Sehingga gadis itu lebih memilih tidur dari pada menanggapi perkataan suaminya. *** "Mas, bangun!" Meta menepuk pelan pipi Ganjar, yang masih terlelap di dalam tidurnya. Setelah selesai percintaannya, Ganjar tertidur sangatlah nyenyak sambil memeluk istrinya itu. "Mmhh, ya," Ganjar meregangkan otot-otot badan yang terasa letih. "Sebaiknya kamu pindah ke kamar Lusi. Aku tidak ingin dia membuat masalah saat melihat kamu tidak ada di sampingnya." Ganjar mengusap wajahnya dan melirik jam berbentuk kuda, yang ada di atas nakas. "Jam tiga," serak Ganjar. Meta mengangguk. "Pergilah. Sebelum dia bangun dan mencari keberadaan kamu!" mengapit selimut di kedua ketiak untuk menutup tubuh polosnya. Ganjar tersenyum dan mengusap pucuk Meta. "Terimakasih, ya," mencium sekilas bibir istrinya itu. Tidak ada penolakan dari Meta, ciuman itu turun ke leher, bahu, hingga belahan yang mengintip di balik selimut. Meta menggigit bibir bawahnya untuk menahan desahan agar tidak keluar dari mulutnya. "Jangan ditahan. Keluarkan saja. Mulai saat ini, kita berdua telah utuh menjadi suami istri. Tidak akan ada diantara kita yang akan pergi." Bisik Ganjar. Sambil menggigit pelan telinga gadis itu. Tangan Ganjar mulai melepaskan selimut yang menutup tubuh Meta. Mengikuti hasrat yang mulai bangkit, dengan malu-malu Meta melingkarkan tangannya pada tengkuk Ganjar dan menyesap lidah suaminya yang sedang bermain di dalam mulutnya. Meta kembali meringis saat Ganjar kembali masuk untuk mencari kepuasan. Semakin lama, ringisan gadis itu berganti dengan desahan karena kenikmatan yang diberikan oleh suaminya. Semakin menikmati, maka semakin cepat pula Ganjar bergerak. Hingga ia dan Meta sama-sama mendapatkan pelepasan. "Tidurlah!" Ganjar mencium dahi Meta lama. Sebelum ia beringsut turun dari atas ranjang. Meta mengangguk pelan. "Berjanjilah kepadaku, Mas. Kamu tidak akan pernah menyentuh Lusi." "Aku berjanji kepadamu. Tidak akan pernah melakukan ini padanya. Kamu bersabar, ya. Hanya enam bulan saja. Setelah itu, kita bisa pergi dari sini." Memperbaiki selimut Meta, sebelum pergi meninggalkan istrinya itu di sana. Sebenarnya sangat berat bagi Ganjar untuk pergi kembali ke tempat Lusi. Tapi ia tidak ingin ada laporan kepada sang Mama, yang akan memperpanjang masa kebersamaannya dengan Lusi. Mata Lusi mengerjap karena terpaan sinar matahari yang masuk dari sela-sela tirai jendela. Ia segera berbalik untuk melihat suaminya. Gadis itu heran melihat Ganjar yang tidur dengan tenang. Lusi juga meraba milik Ganjar, akan tetapi semua tampak seperti biasa. Padahal, semalam ia memberikan obat perangsang kepada suaminya itu. "Tidak mungkin Ganjar bisa menahannya!" gumam Lusi. "Apa yang kamu lakukan?" Desis Ganjar. Saat melihat tangan Lusi terletak di atas miliknya. "Mmhh, aku menginginkan ini ..." Lusi meremas pelan Ganjar yang ada dibalik celana katun selutut yang dikenakannya. Ganjar duduk dan menepis tangan Lusi. "Jangan lancang kamu. Kamu lupa dengan perjanjian kita? Kita hanya menikah." Beringsut turun dari atas ranjang. "Hari ini aku milik Meta, permisi!" Ganjar menutup pintu kamar dengan kasar. Begitu masuk kedalam kamar Meta, Ganjar langsung memeluk istrinya yang sedang berdiri didepan jendela kaca. "Apa yang membuatmu suka menatap keluar jendela seperti ini?" Meta membalikkan tubuhnya. "Aku sendiri tidak tahu, Mas. Menatap keluar membuat hatiku sedikit tenang. Seakan masalah yang sedang aku hadapi menguap begitu saja." "Mulai saat ini, kamu tidak boleh melakukan ini lagi. Setiap ada masalah yang mengganggu pikiranmu, datanglah kepadaku. Aku akan memelukmu seperti ini." Ganjar memeluk erat Meta. Di dalam pelukan suaminya, Meta merasa lebih tenang. Ia merasa masalah yang sedang dihadapi menguap begitu saja. "Bagaimana?" Ganjar mengelus rambut lurus sepinggang Meta. "Nyaman," membalas pelukan suaminya itu. "Terimakasih!" "Kenapa terima kasih?" "Karena kamu selalu berjuang untuk mempertahankan rumah tangga ini. Walaupun aku selalu menolak kehadiran kamu, Mas. Aku juga ingin meminta maaf atas semua kesalahan dan keegoisanku. Tidak seharusnya aku berlaku kasar padamu." Mata Ganjar berbinar Ia tidak menyangka, hari yang selama ini dinanti, datang begitu cepat. Ia semakin yakin, bisa mengambil alih posisi Alex, di dalam hati Meta. *** "Mau kemana Kalian?" tanya Jani kepada Ganjar dan Meta, yang berjalan beriringan keluar dari kamar. "Ganjar ingin mengajak Meta sarapan di luar," merangkul bahu istrinya dan mengabaikan Jani dan Lusi. "Bawa Lusi ikut serta!" "Boleh saja, tapi aku tidak ingin menunggu lama!" jawab Ganjar acuh. Jani menyikut lengan Lusi. Dengan gerakan bibirnya, ia meminta menantunya itu mengikuti Ganjar dan Meta. "Kamu yakin ingin makan disini?" Ganjar memarkirkan mobilnya di depan sebuah gerai penjual sarapan yang sangat sederhana. "Iya, sudah lama aku tidak memakan bubur ayam. Bukankah kamu sudah tidak lagi mengizinkan ayah berjualan? Dan sekarang, ayah dan ibu sudah berangkat ke kampung halaman untuk mengolah sawah yang telah kamu belikan. Jadi aku rindu makan bubur ayam buatan ayah. Karena sudah tidak ada, aku rasa cukup dengan memakan bubur buatan orang lain." "Ok, kita akan sarapan disini. Sesuai dengan keinginan istriku ini!" Mencolek hidung mancung Meta. Sebelum ia keluar untuk membuka pintu mobil. Lusi menggeleng, "Aku tidak ingin makan disini. Mana mungkin anak konglomerat sepertiku sarapan disini? Yang benar saja." "Terserah kepadamu. Aku tidak sedang meminta pendapatmu. Jadi sebaiknya, kamu diam dan ikuti saja kemana kami pergi. Atau, silahkan duduk manis di sini. Hingga kami kembali." Tersenyum sinis dan menutup pintu mobil dengan keras. Lusi mengepalkan erat kedua tangannya. Untuk kali ini, Ganjar sudah sangat keterlaluan. Mengabaikan dirinya dan memilih berjalan sambil merangkul pinggang ramping Meta. "Ingin bubur kan, ya?" tanya Ganjar kepada Meta. Gadis itupun mengangguk dan mencari tempat untuk mereka berdua. Sedangkan Ganjar memesan makanan untuk mereka berdua. Dari dalam mobil, Lusi melihat Ganjar dan Meta yang sedang sarapan bersama. Mereka terlihat begitu sangat mesra layaknya pengantin baru yang lainnya. Sedangkan Lusi, gadis cantik berparas blasteran tersebut, hanya bisa meneguk ludah, saat melihat Meta yang disuapi oleh suaminya. Rasa cemburu yang menggebu-gebu, mendorong gadis tersebut untuk menemui mereka berdua, untuk bergabung sarapan bersama di pagi yang sedikit mendung itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD