"Menikah denganku, Bethany."
"Tidak!" Aku menjawab begitu cepat tanpa berpikir sama sekali. Mendengar kata menikah saja sudah membuatku mual. Kilasan balik pernikahan Ibu dan Ayah lalu perlakuan Evan kepadaku tiba-tiba berputar. "Tidak akan."
"Kau terlalu cepat memberi jawaban, Bethany, aku bisa memberimu waktu untuk berpikir."
"Ha, lucu sekali." Aku menatapnya dengan pandangan mengejek, "Semakin dipikir justru semakin aku tidak mungkin menerima lamaranmu."
"Kenapa?"
"Kau bertanya kenapa?" Aku berdiri dari kursiku. Sepertinya ada yang bermasalah dengan otak Dean. Mungkin dia hanya kaya, tampan dan seksi, tapi bodoh. "Menurutmu apa aku mau menikah dengan laki-laki yang baru ku kenal tapi sudah menyembunyikan jati dirinya padaku?"
"Aku sudah bilang akan menjelaskan segalanya padamu asal kau setuju menikah denganku."
"Tidak butuh!"
"Kalau begitu aku tidak akan menjelaskan apa-apa."
Aku melotot menatapnya, siap mencakar wajahnya dengan kuku tangan. Kalau saja tatapanku bisa berubah jadi laser, kepalanya sudah bolong sejak tadi. "Seharusnya kau memperkenalkan dirimu dulu untuk meyakinkanku!"
"Tidak. Kalau kau tidak mau menikah denganku, berarti kisah kita berakhir malam itu. One night stand harus berakhir tanpa perlu kita mengenal satu sama lain." Jawaban Dean membuatku melongo. Apa dia baru saja membalas kata-kataku?
"Jawab satu pertanyaanku dan aku akan mempertimbangkannya!"
Dean berkedip, ekspresinya menunjukkan persetujuan dengan tawaranku.
"Kenapa kau ingin menikah denganku?"
"Karena aku bisa."
Aku bengong menatapnya, seolah kepalanya baru saja mengeluarkan dua tanduk unicorn. Apa barusan dia bilang?
"Apa maksudmu?"
"Kau bilang hanya satu pertanyaan."
Ada banyak jawaban di dunia untuk pertanyaanku. Bisa dengan jawaban paling bullshit seperti 'karena aku menyukaimu' atau minimal 'karena kau adalah wanita yang tepat untukku'. Tapi jawaban Dean seolah menunjukkan dia adalah manusia paling sombong dan berkuasa di dunia ini dan aku benar-benar benci itu. Laki-laki seperti Dean jelas laki-laki gila kontrol dan akan memastikan pasangannya tunduk di bawah kuasanya yang mana sangat bertentangan dengan prinsipku.
"Aku tahu kau mungkin menganggapku aneh--"
"Kau memang aneh." Potongku yang membuat menghela napas tetapi dia melanjutkan.
"Aku adalah laki-laki bertanggung jawab, Bethany."
"Oh astaga!" Aku kini mengerti ke mana arah pembicaraan ini. "Kau tenang saja aku tidak hamil!"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa?" tanyaku menuntut. Kalau tidak dituntut, lelaki ini tidak akan menjelaskan apa-apa dan hanya membuatku frustasi. "Kau merasa bertanggung jawab karena sudah mengambil keperawananku? For God sake, aku sudah berusia dua puluh enam tahun! Aku cukup dewasa untuk membuat keputusanku sendiri dan menerima resikonya."
"Membuatku menginginkanmu adalah resiko yang harus kau terima, Bethany."
Aku tercekat mendengarnya. "Apa?"
"Aku menginginkanmu dan bukan hanya karena seks. Aku tahu kita baru kenal dan aku tidak masalah kalau kita saling mengenal sambil menyiapkan pernikahan ini. Aku bahkan akan belajar mengenalmu seumur hidupku." Dean menatapku dengan sungguh-sungguh. Tatapan lembut dan teduh yang membuatku seolah sedang duduk di kursi malas di bawah pohon ek.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Jadi aku menyeretnya keluar sebelum benar-benar meledak.
***
Gosip kalau aku di lamar hari itu menyebar dengan begitu cepat ke sepenjuru kantor. Tentu saja aku tahu dalang di balik semua ini tidak lain adalah asistenku sendiri, dasar Sophie si mulut ember. Untungnya akhir pekan datang dengan cepat sehingga aku bisa kabur dari godaan dan pertanyaan para pegawai di kantorku.
Tetapi rupanya berita itu sampai juga ke telinga Emely yang datang di hari Sabtu membawa sekotak pizza dan berondongan pertanyaan untukku. Mulai dari siapa itu Dean, di mana aku mengenalnya, kapan kami berkencan dan bagaimana bisa dia melamarku.
Tentu saja pertanyaan terakhir tidak akan kujawab karena aku sendiri masih berusaha memprosesnya.
Aku percaya cinta pada pandangan pertama itu ada. Meski aku sendiri tidak pernah mengalaminya tapi sebagai penggemar gila novel fiksi khususnya romance, konsep itu bukan sesuatu yang aneh untukku.
Aku jelas tertarik pada Dean sejak awal pertemuan kami karena dia ganteng dan seksi. Tetapi itu hanya rasa ketertarikan manusiawi karena fisiknya. Aku baru bisa mengakui kalau aku naksir padanya setelah berinteraksi lebih lama dengannya dan totally smitten when we had our s*x. He's a god of s*x. Dia bisa memperlakukanku begitu lembut dan memenuhi keinginanku, meninggalkan kesan menakjubkan padahal itu adalah pengalaman pertamaku.
Tetapi menikah? Bagaimana kalau setelah kami resmi menikah dia menemukan kekuranganku? Bagaimana kalau dia kehilangan rasa menginginkanku setelah aku menjadi miliknya? Apa dia akan membuangku seperti Evan?
"Beth," Emely mengembalikanku dari lamunan. Sepertinya Emely sadar kalau lamaran Dean bukan sesuatu yang membuat perasaanku berbunga karena aku jadi banyak melamun. "Meski aku senang kalau kau mulai membuka diri, jangan paksakan dirimu sendiri kalau kau memang tidak ingin. Menikah adalah langkah besar, untuk orang yang terbuka pada suatu hubungan saja belum tentu bisa melakukannya dengan baik apalagi untukmu yang memang tidak pernah suka konsep suatu hubungan."
Aku menatap Emely dengan haru. Tidak salah aku menyayangi gadis ini. Dia selalu bisa memberiku support yang aku butuhkan tanpa aku minta.
"Tapi Beth, kau juga harus ingat kalau tidak semua laki-laki di dunia ini seperti yang kau pikirkan." Emely tersenyum. "Tidak semua akhir cerita berakhir menyedihkan atau bahagia. Karena selama manusia itu hidup, kisahnya tidak akan benar-benar berakhir."