Aku sampai di gedung Life Care, Inc dengan semua paper bag berisi hadiah darinya. Dengan langkah yang dihentakkan aku menuju meja resepsionis.
"Apa Mr. William bekerja di sini?" tanyaku to the point kepada seorang pegawai resepsionis berambut pirang.
Dia mengernyit, mungkin ada banyak nama William yang bekerja di sana jadi aku harus lebih spesifik. "Mr. Dean Aji William!"
Wanita itu mengangguk, mengetikkan sesuatu di komputer entah apa lalu kemudian memintaku menunggu. "Nona bisa langsung ke lantai dua puluh sembilan," katanya sambil memberiku sebuah kartu akses setelah aku menukarnya dengan ID-card.
Aku menatap kartu akses yang diberikan resepsionis ketika barang-barang melewati security check. Kartu itu adalah akses menuju lantai direksi. Benar dugaanku kalau Dean kemungkinan besar pemilik atau boss besar di perusahaan ini. Itu sebabnya dia berpikir bisa menginjak-injak harga diriku dengan barang mahal. Haha.
Aku sampai di lantai dua puluh sembilan. Berbeda dengan suasana di lantai dasar yang ramai di sana sangat sepi dan lebih gelap, efek warna dinding dan karpet yang digunakan.
Aku berjalan ke meja resepsionis lantai direksi dan mengatakan tujuanku. Petugas resepsionis berambut pendek itu memintaku lagi-lagi menunggu setelah bertanya apa aku sudah membuat janji bertemu sebelumnya.
"Mr. William sedang ada presentasi, sekretarisnya mempersilahkan anda bertemu apabila anda bersedia menunggu dua puluh--"
"Aku akan menunggu!" Potongku cepat, lalu aku duduk di salah satu sofa yang ada di sana setelah meletakkan paper bag sialan di tanganku.
Seorang staff menghampiriku dan menawariku minum, akhirnya aku meminta diambilkan air dingin karena kepalaku sudah ingin meledak penuh emosi.
Saat sedang meneguk air esku, mataku nyaris keluar saat melihat sosok yang menghilang dari hidupku lima tahun lalu. Sosok yang menjadi akar mula Bethany Thompson tidak lagi mau jatuh cinta.
"Bee!"
Aku nyaris muntah saat panggilan itu keluar dari mulut Evan. Iya, si cecunguk yang sudah menghancurkan kehidupanku lima tahun yang lalu. Kenapa manusia ini bisa ada di sini? Dia seharusnya berada di Sydney!
"Ini aku, Evan!" katanya lagi karena aku tidak meresponnya.
Tentu saja aku tahu siapa kau, pecundang. Bagaimana bisa aku melupakan laki-laki yang sudah menghancurkan hidupku begitu saja.
Tapi aku harus menjaga sikap. Tentu saja aku tidak boleh menggila dan menunjukkan kebencianku padanya karena itu akan membuatnya merasa aku belum move on darinya. Meski sejujurnya aku ingin membelah kepalanya jadi lima saat ini.
Evan menghampiriku dan berusaha memelukku yang kutolak lebih dulu dengan mengulurkan tangan mengajaknya berjabatan. "Apa kabar, Evan?" tanyaku berusaha terdengar sekasual mungkin.
"Sangat baik!" Evan masih ceria dan banyak bicara seperti yang terakhir kali kuingat. "Kau sendiri?"
"Seratus persen baik." Aku mencoba menekankan kata baik untuk menyindirnya tetapi sepertinya Evan tidak sadar.
"Apa kau ke sini untuk menemuiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini, Bee? Oh, apa karena kau sudah menerima undangan pertunanganku?"
Aku nyaris menyiramnya dengan air di atas meja kalau saja aku tidak bisa mengontrol diri. Ternyata Evan juga masih merasa bahwa dunia hanya berputar di sekelilingnya. Evan masih merasa menjadi laki-laki yang bisa menginjak-injakku rupanya.
"Tentu saja aku punya urusan di sini. Dan tidak, aku bahkan tidak pernah tahu kau ada di New York."
"Oh ayolah, ini terlalu jelas untuk disebut sebuah kebetulan. Apa kau masih terobsesi denganku, Beth?"
Aku menatapnya marah. "Sejak kapan aku terobsesi denganmu?" tanyaku tidak terima.
"Membuang kesempatan masuk Oxford demi tetap berpacaran denganku, sampai mengurus surat kepindahan ke Sydney yang bermil-mil jauhnya dari keluargamu hanya untuk bersamaku bukan obsesi?"
Aku melakukannya karena mencintaimu sialan! Tapi aku tidak akan mengatakannya karena itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan seumur hidup dan masih menjadi penyesalanku hingga saat ini.
"Kau masih tidak tahu diri, Evan."
Evan terlihat tersinggung dengan kata-kataku tetapi belum sempat dirinya membantah, seseorang memanggil namaku.
"Bethany?"
Dean berdiri tidak jauh dari tempatku dan Evan berdebat. Evan yang posisinya membelakangi Dean berbalik dan matanya terbelalak saat melihatku sudah berada di pelukannya.
"Honey!" Aku memeluk Dean erat, tidak peduli kalau Dean akan mengiraku sudah merubah keputusan. "I miss you!"
Aku bisa merasakan tubuh Dean yang semula tegang saat kupeluk berangsur relax hingga akhirnya aku bisa merasakan tangannya mengelus punggungku. "Kau sudah lama menungguku? Kenapa tidak menunggu di ruangan, sayang?"
Aku sempat terkejut mendengar dan melihat reaksi Dean yang seolah ikut serta dalam permainan peranku. Aku mendongakkan wajah untuk bisa menatapnya yang juga sedang menatapku. Aku bisa melihat bibirnya lagi-lagi berkedut, menahan senyuman lebar. Aku ingin mencekik Dean karena dirinya pasti merasa menang saat ini. Tetapi aku lebih ingin membuat Evan menyesal.
"Mr. William." Aku bisa mendengar Evan menyebut nama Dean dengan formal dan sikap yang sopan. Hal itu membuatku semakin memeluknya lebih erat. Bisa kupastikan status Dean jauh lebih tinggi dari Evan. Evan adalah orang yang gila hormat, jadi lelaki itu tidak mungkin bersikap sopan dan hormat jika bukan dengan orang yang status jabatannya lebih tinggi darinya.
"Evan, kenalkan ini..."
"Calon istrinya." Aku memutus ucapan Dean buru-buru sebelum dia membongkar siapa aku. Meski sebetulnya aku tidak tahu dia akan mengenalkan aku sebagai siapa. Aku mengabaikan senyuman Dean yang pasti merasa keinginannya terkabul. Aku lebih ingin melihat ekspresi shock di wajah Evan.
"Calon istri?" Evan mengulangi perkataanku untuk meyakinkan diri kalau dirinya tidak salah dengar.
"Ya calon istriku," kata Dean menegaskan, membuatku ingin melompat ke jendela saat itu juga. "Apa kau ada urusan di sini, Evan?"
"Oh, aku hanya ingin menemui Vivian untuk membahas acara pertunangan kami."
Aku nyaris lupa dengan pertunangan Evan. Ya untuk apa juga aku mengingatnya karena tidak penting. Tapi hal itu sungguh menarik perhatianku, apalagi saat mendengar respon Dean.
"Vivian pergi dengan Gabby untuk menjemput Ibuku."
"Oh, apa Mrs. William baru datang dari Indonesia?"
Dean mengangguk. Aku tidak mengerti percakapan mereka tetapi yang bisa kutangkap Evan dan Dean cukup dekat untuk sekedar rekan kerja.
Tatapan Dean beralih kepadaku, tangannya kini berada di pinggangku. "Kau pasti lelah kan membawa semua belanjaan itu, hm? Ayo kita beristirahat di ruanganku."
Aku mengangguk dan membiarkan Dean menggiringku ke ruangannya meninggalkan Evan yang masih terdiam di tempatnya sambil memberikanku tatapan penuh tanda tanya.