KERIBUTAN

1046 Words
Sudah lima tahun, bukankah Dipo seharusnya sudah menikah dan memiliki anaknya sendiri, kan. Luna merenung, Dipo sedang berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia seharunya sudah berkeluarga, memiliki anak dan hidup bahagia bersama istrinya. Tapi kenapa Dipo tidak kunjung pulang, apalagi pria itu menciumnya dengan tidak tahu malu. Jangan bilang bahwa Dipo berencana menjadikan dirinya simpanan. Luna bangkit berdiri ketika pikiran itu menjamah otaknya. Dia berjalan menuju dapur, langsung menginterupsi Dipo yang sedang sibuk memasak. Emosinya lebih dulu menguasai dirinya. "Kenapa kamu enggak pulang?" tanya Luna. Dia sama sekali tidak menunggu Dipo menjawab, langsung melontarkan perkataan selanjutnya, "Bukannya istri dan kamu pasti nungguin, kan?" Dipo langsung menoleh mendengar ucapan Luna, tapi dia tidak mengatakan sepatah katapun. Hati Luna mendingin, Dipo tidak menjawab, bukankah itu berarti benar bahwa dia sudah berkeluarga? "Keluar dari sini!" Luna menjadi sedikit emosional dan tidak sabar, " Saya enggak mau kamu bawa Dylan dan biarin dia hidup sama ibu tiri! Keluar!" Dipo menghela nafas, dia tidak mengerti mengapa Luna begitu emosional. "Aku enggak bermaksud buat bawa Dylan, Luna." "Apa?" Tercengang, Luna menatap Dipo dengan tidak percaya. Jadi pria itu tidak menginginkan Dylan juga? Jadi kenapa Dipo harus datang lagi pada mereka! Air mata Luna jatuh, dia tidak menyangka bahwa Dipo bukan hanya sudah berkeluarga tapi juga tidak menginginkan bayi kecilnya. Meskipun Dylan agak gemuk dan selalu membuat Luna kesal, tapi dia adalah putranya, Dylan pasti akan merasa sangat sedih jika dia tau bahwa sang ayah tidak menginginkan dia. Dipo panik melihat Luna yang tiba-tiba saja menangis. "Pergi! Keluar dari sini!" Luna mendorong tubuh Dipo dengan paksa. Dylan yang mendengar suara ribut-ribu langsung datang, anak itu tercengang saat melihat ibunya akan mengusir ayah pergi. "Mama jangan usir Papa, Hwaaa, jangan usir Papa, ma!" Dylan memeluk kaki ayahnya. Dipo merasa dirinya terjepit, Luna yang mendorongnya dengan paksa dan sang putra yang menahan kakinya. Dia hampir saja terjatuh menimpa Dylan jika saja keseimbangan tubuhnya buruk. Tangisan Dylan semakin keras dan histeris, dia tidak ingin ayahnya pergi. Dipo tidak tahan lagi, dia memegang tangan Luna, menggantikan wanita itu. "Aku belum menikah!" Sontak saja Luna terdiam. "Aku belum berkeluarga, aku enggak punya istri dan anak." Dipo menghela nafas dengan lelah. Dia mengangkat Dylan dalam gendongannya, mencoba menenangkan anak yang masih menangis itu. Luna masih terdiam, tidak menyangka bahwa Dipo belum menikah. Huh! Itu pasti karena pria itu tidak laku. Sayang sekali. "Aku enggak akan hanya bawa Dylan, tapi aku juga akan bawa kamu. Aku mau kalian berdua, bukan hanya Dylan." Dipo mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. Sambil masih menggendong Dylan yang membenamkan wajahnya di pundak sang ayah, Dipo menyerahkan sebuah kotak beludru berwarna merah, membukanya dengan satu tangan, "Kamu mau jadi istri aku Luna?" Luna kaget menatap cincin di kotak itu. Dia menatap bolak-balik pada Dipo dan cincin. "Aku beli ini mendadak, mungkin kurang sesuai sama apa yang kamu suka." Dipo tersenyum, tanpa mendapat jawaban dari Luna, dia mengambil salah satu cincin, memasukannya kedalam jari manis Luna. Cincin itu sangat pas dengan ukuran Luna. Manik mata Luna berkaca-kaca, tapi ketika Luna hendak terharu dan memeluk Dipo, Dylan kecilnya berhasil merusak suasana. "Cincin! Kenapa Mama doang yang dapet cincin, pa?! Dylan juga mau!" Anak itu meronta, Dipo menurunkannya pada akhirnya. Ketika Dylan hendak meraih tangan ibunya, Luna langsung menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. "Pa, Dylan juga mau cincin." Dipo menghela nafas, berjongkok dan memegang bahu putranya, menatap manik mata Dylan dengan tatapan serius. "Papa cuma ngasih Mama, Dylan itu laki-laki, Dylan yang nanti harus ngasih cincin ke istri kamu." "Istli?" Dylan memiringkan kepalanya, menatap Dipo dengan tatapan tidak mengerti. "Iya, orang yang tinggal bareng selamanya." "Belalti nanti Dylan halus beli cincin, ya pa?" Dipo menganggukkan kepalanya dengan serius. "Dylan pengen beli cincin?" "Mau! Dylan mau beli cincin buat istli Dylan, pa," jawab Dylan dengan semangat yang menggebu-gebu. Dipo tersenyum, mengusap pucuk kepala putranya dengan lembut. Lalu dia menoleh pada Luna yang menatap mereka dengan konyol. Umur berapa Dylan hingga harus diajari untuk membeli cincin? Pikir Luna. Tapi Luna tidak peduli, dia kembali ke dapur melihat masakan yang belum jadi. "Makanannya belum dibuat, gimana ya?" tanya Luna pada Dipo yang mengikutinya kedalam dapur. "Kamu siap-siap, kita makan di luar aja," ajak Dipo. Luna sedikit termenung, antara ingin dan tidak. "Tapi–" Dia malu, bagaimana jika semua orang melihatnya dengan aneh? Dipo menghela nafas, membereskan alat masak yang tadi dia gunakan. "Ayo, jangan buat kamu sama Dylan lapar." Luna akhirnya mengangguk. Bodo amat jika ada orang yang melihat aneh padanya! Bukankah berarti mereka iri karena tidak mempunyai suami setampan Dipo padahal tubuh mereka tidak gendut seperti miliknya? Huh! Luna memberikan Dylan jaket kecil, dia juga tidak lupa mengganti bajunya, berdandan sedikit, tapi membuat Dipo dan Dylan menunggu di luar. "Papa," Panggil Dylan dengan nada yang khawatir. "Hm?" balas Dipo dengan singkat. "Papa nanti jangan nakal, ya. Jangan buat mama malah, nanti Papa di usil lagi kaya tadi. Mama selem kalau malah, ya, Pa. Kata temen-temen Dylan malahnya mamah kayak banteng ngamuk!" Dipo hampir saja tertawa terbahak jika tidak dia tahan. Pada akhirnya dia hanya terkekeh, mengusap kening putranya. Jika Luna mendengar apa yang dikatakan Dylan, sudah pasti p****t anak itu akan memerah karena tamparan. Lucu dan gemas melihat Dylan yang begitu takut dimarahi sang ibu namun tidak mau menjaga mulutnya. "Ya, Papa enggak akan nakal." Dylan menghela nafas dengan lega. Ibunya sangat galak hingga ayahnya mungkin saja takut. Tidak lama kemudian, Luna pun keluar. Wanita itu mengenakan sebuah dress simpel yang membuat tubuh gemuknya cukup elegan. "Bagus gak?" tanya Luna pada Dipo sambil berputar-putar dihadapan mereka. Dipo tersenyum, mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Luna. "Bagus, cantik." Luna tersenyum malu, dengan senang hati berjalan beriringan bersama Dipo yang menggendong Dylan. Dylan menatap sang ayah dengan tatapan 'dia tidak perlu khawatir' di wajahnya. Huft, untungnya ayahnya mengatakan itu, jadi sang ayah tidak akan dipukul. Pikir Dylan dalam hati. Dipo mengajak Dylan dan Luna ke salah satu restoran yang sering dia kunjungi sejak pulang ke Indonesia. Ketika mereka masuk, apa yang Luna pikirkan benar saja terjadi. Beberapa pelayan yang menatap dia dengan aneh. Mungkin aneh karena mengapa ada wanita gemuk yang kakinya di gips dan harus berjalan dengan tongkat memiliki suami tampan dan tinggi seperti itu. Luna mengangkat dagunya dengan sombong. Jadi kenapa jika dia tidak lagi langsung dan cantik?! Anaknya lucu dan kekasihnya tampan. Belum tentu wanita cantik dapat memilikinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD