Mobil hitam milik Kaisar berhenti perlahan di depan sebuah rumah. Rumah itu sederhana, dengan teras mungil yang dipenuhi pot-pot tanaman gantung. Jauh dari mewah, tapi begitu akrab dan hangat.
Dias membuka pintu penumpang dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Tangannya meraih dua kantong belanja berisi barang-barang yang tadi dibelikan Kaisar: Baju, sepatu, dan beberapa keperluan kecil yang entah kenapa semuanya terasa manis di mata Dias.
“Kamu yakin nggak mau mampir sebentar?” tanya Dias sambil menoleh ke Kaisar yang masih duduk di belakang kemudi.
Kaisar tersenyum kecil. “Aku mampir sebentar aja. Nggak enak sama Ibu karena sudah membawa putrinya sampai malam begini.”
Dias tertawa pelan. “Pasti Ibu senang kalau tau kamu datang. Ayo!"
Kaisar turun dari mobil, mengambil satu kantong belanja yang tersisa. Rumah yang sering ia datangi. Terakhir kali, saat dia menjemput Dias kemarin.
Langkah mereka diiringi suara pintu pagar yang berderit.
“Assalamualaikum!” seru Dias.
Dari dalam, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu dibuka cepat oleh seorang remaja perempuan dengan rambutnya yang dikuncir asal, wajahnya masih polos. Dialah adik perempuan Dias yang masih SMA.
“Kak Dias! Oh, sama Kak Kai juga. Masuk, Kak!" Dina membuka lebih lebar pintunya.
"Ayo, Kai, silahkan masuk. Din, ibu ada?"
“Ada di dalam, Kak,” jawab Dina.
Dias dan Kaisar melangkah masuk. Dias mempersilahkan kekasihnya untuk duduk. Wanita itu meletakkan beberapa paper bag di atas meja, lalu hendak ke belakang memanggil ibunya.
Akan tetapi, Dina malah melirik pada barang belanjaan kakaknya. "Kakak habis belanja?" tanya remaja tersebut tersirat rasa ingin tahu.
"Oh, itu tadi Kak Kai yang belikan," jawab Dias masih tak merasa jika adiknya memiliki rasa iri.
"Memangnya isinya apa, Kak? Lihat dong!"
Dias mendesis pelan, mencoba menyuruh adiknya diam lewat lirikan tajam. Tapi Dina malah membuka salah satu kantong belanjaan di atas meja dan membukanya dengan penasaran.
“Hah! Ini kemeja baru! Ih, cakep banget. Kaos? Astaga, ini kayaknya mahal deh, Kak Kaisar semua yang beliin?”
“Dina, taruh itu dulu. Jangan kepo.”
Dina mencibir. “Kepo gimana sih. Aku juga pengin dong, Kak Kai. Beliin aku juga, ya?”
Kaisar tertawa kikuk. “Lain kali, ya. Kamu rajin belajar dulu.”
“Yaaaah,” rengek Dina sambil manyun.
Dari balik pintu, muncul seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah dan tubuh mungil. Wajahnya memancarkan kelelahan khas ibu rumah tangga yang jarang istirahat, tapi sorot matanya hangat.
“Kaisar," sapanya.
“Selamat malam, Bu,” jawab Kaisar sopan, menunduk sedikit.
“Kaisar! Kamu ke sini kok nggak bilang-bilang dulu. Tahu gitu tadi ibu masakin biar kamu bisa makan malam sekalian di sini."
“Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma mampir sebentar. Ngantar Dias pulang. Dan tadi saya dan Dias juga kebetulan sekalian makan diluar. Oh ya. Ini saya juga ada bungkus makanan untuk Ibu dan adik-adik."
Ibu Dias tersenyum, lalu menepuk bahu Kaisar pelan. “Makasih banyak ya, Nak. Nggak nyangka kamu masih juga memikirkan kami yang di rumah."
“Bu…” Dias mencoba menyela.
Tapi sang ibu sudah memandang langsung ke Kaisar.
“Kamu baik banget, Kai. Tapi Ibu takut Dias jadi bergantung sama kamu."
"Saya tidak keberatan jika Dias bergantung sama saya, Bu."
"Semoga kalian berdua ada jodoh."
"Amin. Eum ... kalau begitu saya pamit dulu, Bu. Sudah malam."
"Duh, maaf ya Kai. Kami tidak menyuguhi apapun untuk kamu."
"Tidak apa. Saya pulang dulu."
Kaisar beranjak berdiri lalu berpamitan pada ibunya Dias.
Dias mengikuti Kaisar keluar rumah, tapi tiba-tiba Dina memberikan celetukan. "Kak Kai, lain kali kalau jalan lagi sama Kak Dias, jangan lupa aku dibelikan juga ya? Aku kan juga ingin punya barang-barang bagus dan mahal kayak teman-temanku. Bukan hanya punya barang buluk yang membuatku jadi minder kumpul sama teman."
Mata Dias melotot pada adiknya. "Din, bicara apa sih kamu!"
"Ya kan aku hanya minta ke Kak Kai karena Kak Dias sendiri jarang banget beliin aku barang-barang bagus."
"Sudah sana kamu masuk."
Dina yang kesal, menghentakkan kaki meninggalkan Dias dan Kaisar.
Dias yang merasa tak enak hati pada kekasihnya berucap, "Kai, jangan dengerin omongan Dina. Maklum saja gadis labil maunya terlihat wah di mata teman-temannya tanpa mau mengukur kemampuan."
"Sudah nggak papa. Lain kali kita belikan juga buat Dina. Biar dia senang. Aku pulang dulu ya. Sampai ketemu besok."
"Hati-hati di jalan."
Kaisar mengangguk. Menyentuh pipi kekasihnya lalu mengusapnya perlahan sebelum pada akhirnya dia melangkah menuju mobilnya.
•••
Sampai di rumah sudah cukup malam. Namun, siapa sangka jika Kaisar masih bisa melihat keberadaan sang mama yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
Kaisar mendekat. "Ma, kok belum tidur?"
Kristi menolehkan kepalanya. "Sengaja nungguin kamu. Kenapa baru pulang?"
Kaisar tersenyum samar. Dia tahu jika papanya pasti sudah mengatakan pada sang mama jika tadi bertemu dengannya.
"Tadi aku keluar sama Dias, Ma."
Kristi membuang napas kasar. "Duduk, Kai."
Tak berani menolak, pria itu duduk di samping mamanya.
"Jadi ... yang pagi tadi kamu katakan sedang sibuk sampai tidak mau diminta mengantar Alea ... ternyata ini kesibukanmu. Jalan-jalan sama Dias."
"Ma, aku ...."
"Kai, segitunya kah kamu tidak mau menerima kehadiran Alea, hem?"
"Ma, tolong mama ngertiin aku. Dias adalah wanita yang aku cinta, Ma. Bukan Alea."
"Mama tau. Dan mungkin mama yang salah telah memaksa kamu untuk menikahi Alea. Nggak papa. Mama juga tidak akan memaksa agar kamu mencintai Alea. Mama sudah capek memohon sama kamu. Sekarang mama tanya padamu. Sekarang apa yang kamu inginkan, Kai? Pisah dari Alea lalu kamu mau menikahi Dias? Begitu kan yang kamu inginkan?"
"Ma, bukan seperti itu. Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan Dias. Aku mencintainya, Ma. Hanya saja untuk berpisah dari Alea ... apa mama yakin di usia pernikahan kami yang bahkan belum genap dua minggu ini, mau cerai begitu saja?"
"Habisnya mama kasihan sama Alea. Kamu tau, Kai. Almarhum orangtua Alea itu adalah orang-orang baik. Mama pikir dengan menikahkan kamu dengan Alea maka mama bisa menjaga Alea dan mama bisa mewujudkan apa yang dulu pernah kami sepakati bersama untuk saling menjodohkan anak-anak kita agar kami betulan menjadi keluarga yang punya ikatan darah. Tapi ternyata mama salah. Dengan mama menikahkan kalian ... ternyata malah kamu lah yang keberatan dan tidak bisa memperlakukan Alea dengan baik. Mama makin merasa bersalah pada almarhum Damar dan Alena. Jadi daripada Alea tersiksa ya sudah kamu lepaskan saja dia. Dan silahkan kamu berbahagia bersama Dias. Percuma saja mama memohon padamu untuk memutuskan Dias jika pada akhirnya tetap Dias lah yang jadi prioritas kamu, Kai."
"Aku tidak bermaksud menyakiti Alea, Ma. Tapi semua butuh proses. Apa mama tidak kasihan juga sama Dias jika suatu hari nanti dia tau bahwa ternyata aku malah menikahi wanita lain."
"Kai ... jodoh, rejeki dan maut itu sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Saat mama bertemu dengan Alea, mama pikir inilah jalan jodoh kamu yang sudah diatur oleh Tuhan. Sementara Dias ... mungkin kalian berdua memang belum ada jodoh, Kai."
Sungguh Kaisar tidak suka akan ucapan sang mama.
"Ma, aku mencintai Dias dan aku masih berharap bisa menikah dengannya."
"Baiklah jika seperti itu yang kamu inginkan. Berikan mama cucu. Dan setelahnya kamu bebas mau berbuat apapun. Mama juga tidak akan lagi menghalangi kamu menceraikan Alea lalu menikahi Dias. Yang penting sudah ada keturunan dari Damar dan Alana yang dilahirkan Alea."