Sesuai dengan janji yang sebelumnya tertunda selama beberapa hari, akhirnya siang ini sepulang sekolah Adreanne mengikuti Abian. Setelah mendapatkan izin dari sang Ayah untuk ke toko buku akhirnya mereka pergi.
Beruntung hari ini Abian berangkat ke sekolah menggunakan mobil, jadi Adreanne tidak perlu bersusah payah jika berada di motor ninja Abian. Terlebih roknya hanya sebatas lutut. Bisa bahaya jika ia menaiki motor ninja Abian.
"Tadi di kantin lo cuma makan siomay. Kita makan dulu ya," kata Abian dengan nada halus.
"Iya, boleh."
Abian pun mengendarai mobilnya menuju salah satu restoran yang cukup terkenal.
"Yakin Bi? Makan di sini?" tanya Adreanne meragu. Pasalnya tempat yang dipilih Abian bukan tempat sembarangan. Malahan restaurant elit dan mewah yang pastinya akan merogoh uang saku dengan nominal besar.
Adreanne sendiri tidak yakin membawa uang cukup, karena hari ini lupa membawa dompet dan hanya mendapatkan uang dua ratus ribu dari Ayahnya saat berangkat ke sekolah tadi.
"Yakin, udah ayo turun!" Abian melepaskan seatbelt nya dan mematikan mesin mobil lalu membuka pintu untuk keluar.
Tidak bisa protes lagi, akhirnya Adreanne ikut turun. Keduanya memasuki restoran tersebut dan langsung disambut oleh pelayan.
"Selamat siang, Tuan."
"Apakah meja untukku sudah selesai Emine?" tanya Abian seolah mengenal pelayan wanita tersebut.
"Sudah, Tuan Muda. Mari saya antar," kata pelayan bernama Emine itu.
Adreanne menatap Abian, ia bertanya lewat sorot matanya bertanya apakah Abian sering ke restoran ini hingga sampai mengenal nama pelayan tadi. Namun apalah daya Abian tidak paham dengan pertanyaan dari sorotan matanya.
Abian justru meraih tangan Adreanne dan membawanya masuk mengikuti langkah Emine.
Keduanya tiba di sebuah meja bentuk persegi yang tidak terlalu besar.
"Pesanlah," suruh Abian.
Adreanne ragu-ragu menerima buku menu yang diberikan Emine. Matanya terbelalak kaget melihat harga yang tertera di setiap menu. Uangnya tidak cukup untuk membayar. Matanya dengan liar mengamati satu persatu menu, mencari menu yang cocok dengan kondisi keuangannya siang ini yang tidak mencapai angka dua ratus ribu.
"Mahal semua, Bi. Aku tadi kelupaan bawa dompet," cicit gadis itu yang mengundang gelak tawa Abian.
"Pesan saja sesukamu. Jangan khawatirkan masalah harga."
"Cari tempat lain aja yuk? Di sini nggak cocok untuk kantong siswa seperti kita," bujuk Adreanne.
"Tenanglah. Ini restoran Mamaku, jadi jangan khawatir masalah harga," ujar Abian menenangkan.
"Benarkah?" tanya Adreanne memastikan.
"Yup!"
Adreanne melirik Emine yang berdiri di sebelah meja, terlihat bersabar menunggu pesanan diucapkan sang pelanggan.
"Aku samain dengan kamu aja deh, Bi," putus Adreanne akhirnya tidak bisa memilih.
Abian memutar bola matanya malas. "Baiklah." Cowok itu menunjuk beberapa menu yang ada di buku dan segera dicatat oleh Emine.
"Baik, Tuan. Makanan akan tiba dalam waktu lima belas menit. Mohon ditunggu," kata Emine kembali mengambil buku menu.
"Baik, Emine."
Setelah kepergian Emine, kesunyian melanda mereka. Mereka memang menempati ruangan yang cukup ada privasi. Tidak ada orang lain selain mereka berdua.
"Ini restonya memang punya Mama kamu, Bi?"
Abian mengangguk ringan. "Awalnya punya Papa, tapi Papa memberikannya pada Mama."
Adreanne ber-oh ria. "Mama mu ada di sini?"
Abian mengangguk. "Sepertinya ia ada di ruangannya."
"Oh begitu." Lagi-lagi ia hanya ber-oh ria.
"Mau beli apa nanti di toko buku, Bi?"
"Beli buku untuk persiapan masuk universitas."
"Loh, kan masih lama kita masuk kuliahnya."
Abian terkekeh geli. "Harus dipersiapkan dari sekarang Adreanne."
"Ah iya juga sih. Persiapan dari awal itu lebih bagus," sahutnya.
"Lo juga mau beli nanti?" tanya Abian.
Kepala gadis itu menggeleng. "Nggak dulu, soalnya mau fokus ke Olimpiade tingkat provinsi dulu."
"Oh baiklah."
Beberapa menit kemudian makanan mereka tiba. Abian memesan wagyu steak dan pudding cokelat sebagai dessert.
"Selamat makan," kata Adreanne antusias.
"Iya, selamat makan."
Adreanne memotong steak itu menjadi beberapa bagian lalu menikmatinya dengan santai. Rasanya benar-benar lezat. Makanan yang lezat sudah pasti harganya juga dijamin bagus alias mahal.
***
Setelah mengisi perut, mereka kembali menuju mobil. Kembali ke tujuan awal yaitu toko buku.
Sengaja Abian memilih Mall karena sekalian ingin jalan-jalan bersama gadis yang ia sukai ini.
Keduanya langsung memasuki toko buku yang berada di lantai tiga. Mereka mulai berpencar. Adreanne berjalan ke rak buku fiksi sementara Abian ke rak buku sekolah.
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Abian menghampiri Adreanne yang sibuk membaca sinopsis yang ada di belakang novel.
"Lo mau beli novel itu?" celetuk Abian mengagetkan Adreanne.
"Nggak!" jawab gadis itu langsung, ia meletakkan kembali novel itu ke asalnya.
Kedua mata Abian memicing curiga dan terlihat tidak percaya. "Benarkah? Kalau mau beli aja Re. Nggak usah ditahan-tahan."
Adreanne tetap menggeleng, tentu saja ia menolak karena ia merasa tidak enak. Cukup makan siang tadi dibayarin oleh Abian. Ia tidak ingin merepotkan cowok itu lagi.
"Kamu udah dapat bukunya?" tanya Adreanne mengalihkan topik.
Abian menunjukkan bukunya. "Udah."
"Kalau gitu ayo kita keluar! Em, kamu bayar dulu, aku bakal tunggu di luar."
Tanpa menunggu respon dari Abian, Adreanne melangkahkan kaki keluar dari toko buku.
Abian hanya memandang punggung gadis itu, ia yakin bahwa Adreanne ingin membeli novel tadi. Tanpa berpikir lama, Abian meraih novel yang dipegang Adreanne dan membawanya ke kasir bersamaan buku sekolah yang ia beli.
Setelah selesai membayar, Abian menghampiri Adreanne yang menunggu di luar.
"Ini buat lo." Abian menyerahkan novel yang sudah dibungkus plastik yang berbeda dengan buku pelajarannya.
Kontan Adreanne menggeleng. "Kok kamu beliin sih? Sebentar lagi olimpiade-nya, Bi. Aku nggak akan sempat baca novel."
"Simpan aja dulu, setelah olim lo bisa baca," sahutnya tenang.
"Tapi Bi..."
"Nggak mau? Ya udah gue bisa buang."
Adreanne menahan lengan Abian, wajahnya merengut sebal. "Kenapa di buang sih?"
"Makanya diambil, ya?" katanya lembut.
Adreanne menghela napas lalu mengambil plastik itu. "Makasih banyak, Bi. Nanti aku transfer deh, aku ganti uang kamu."
Abian menggeleng cepat. "Nggak usah diganti, lagian gue ikhlas kok. Asal buku itu buat lo senang nantinya."
Adreanne tersenyum lebar. "Terimakasih banyak, Bi."
"Ayo bermain di time zone!" ajak cowok itu semangat.
Mau tak mau Adreanne mengangguk. Tanpa memprotes tindakan Abian yang menggenggam tangannya, Adreanne mengikuti saja ke mana Abian mengajak dirinya.
Sesampainya di tempat bermain, Abian langsung mengisi sebuah kartu khusus untuk bermain.
"Lo mau main apa, Re?"
"Aku lihatin kamu main aja dulu."
"Aku mau main basket," kata Abian.
"Ya udah, ayo!" Adreanne menarik Abian menuju tempat bermain basket.
Setelah menempelkan kartunya di tempat scan, Abian pun mulai bisa bermain. Ia memasukan bola basket itu ke dalam ring secepat mungkin. Tak terasa sudah seratus kali bola itu masuk ke dalam ring, dan permainan terus berjalan. Adreanne yang berada di sebelah cowok itu pun berseru memberi semangat.
"Wah, kamu hebat," puji Adreanne ketika angka yang berhasil di dapatkan Abian adalah angka tiga ratus empat puluh.
Abian tersenyum. "Ayo main yang lain!"
Keduanya pun menghabiskan waktu selama satu jam di time zone. Tak terasa waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul lima sore.
"Udah sore. Ayo pulang, Bi."
Abian mengangguk mengiyakan. Mereka mengayunkan kaki meninggalkan time zone.
"Ada yang mau lo beli dulu nggak? Mumpung kita masih di dalam," tutur Abian.
"Nggak ada, Bi."
"Oh okay."
Abian pun mengantar Adreanne dengan selamat ke rumahnya.