Dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya Damien benar-benar bisa duduk dengan sempurna setelah sebelumnya kebanyakan berbaring karena kepalanya yang terasa sangat pusing jika dalam posisi duduk dan juga sebelumnya ia tidak bisa lama-lama dalam posisi duduk.
Di pagi hari, Adreanne diantar oleh Adam ke sekolah dan tidak merepotkan Lily lagi. Sementara Tika selalu stay berada di rumah sakit menemani Damien.
"Belajar yang benar, dan Ayah minta maaf atas sikap Ayah yang membuatmu kecewa Rea," ucap Adam sebelum Adreanne turun.
Setelah kecelakaan Damien, mereka memang tidak membahas hal itu lagi, dan pagi ini Adam kembali membuka topik yang menjadi penyebab hubungan Adreanne dan lelaki paruh baya itu sedikit merenggang.
"Iya, Yah. Aku udah nggak mikirin itu lagi kok." Adreanne tersenyum tipis.
Adam mengelus puncak kepala Adreanne dengan lembut. "Belajar yang benar, nanti pulang Ayah jemput."
"Iya, Yah. Sampai jumpa." Adreanne mencium punggung tangan Adam dan mengecup pipi sang Ayah singkat.
Setelah berpamitan Adreanne segera turun dan memasuki area sekolah. Ketika melirik ke arah parkiran, lagi-lagi matanya tidak sengaja menatap ke mobil Edzard yang baru saja terparkir.
Mobil itu dibuka dan keluarlah Edzard, Dante dan ... Kalista?
Kalista lagi.
Adreanne menggelengkan kepalanya. Mencoba untuk tidak terpengaruh, ia kembali melanjutkan langkah seolah-olah tidak melirik ke arah mereka.
"Re!"
Langkah kaki Adreanne terhenti, ia membalikkan tubuhnya. Ternyata Abian.
"Iya, Bi?"
"Gimana keadaan abang lo?" tanya cowok itu basa-basi. Keduanya berjalan di koridor yang tidak terlalu ramai.
"Udah semakin membaik kok, makasih udah nanyain Bi."
Abian tersenyum. "Kalau gitu, pulang sekolah bisa jalan? Mumpung hari ini hari Rabu, kita pulang jam dua siang."
Tidak ada alasan untuk Adreanne menolak. "Okay."
Abian bergumam senang. "Kalau gitu sampai nanti."
Adreanne mengangguk, ia berjalan memasukinya kelasnya sedangkan Abian kembali berjalan menuju kelasnya sendiri.
"Eh, tumben amat agak telat lo Re," celetuk Lily ketika Adreanne sudah meletakkan tasnya di atas meja.
"Lagi nggak pengen buru-buru tadi," jawabnya sekenanya. Gadis itu mendaratkan bokongnya di kursi.
Lily mengangguk paham. "Bang Damien gimana?"
"Baik kok. Dia udah bisa ngeledekin aku," ungkapnya kembali geram dengan tingkah laku Damien yang sudah kembali seperti semula. Sikap yang begitu menyebalkan di mata Adreanne.
Lily tertawa keras. Kalau Damien sudah bertingkah seperti itu, berarti apa yang dikatakan memang benar adanya. Laki-laki itu sudah lumayan pulih.
"Eh gue kepo deh." Jari jempol dan telunjuk mengusap dagunya sendiri dengan halus.
Alis sebelah kanan Adreanne terangkat. "Tentang?"
"Lo kenapa semakin menjauh dah dari Edzard? Terus kayak kemarin dia udah deket aja sama Kalista. Aneh," papar Lily.
"Waktu itu aku kan udah jelasin, Ly. Masa lupa?"
"Oh masih masalah merajuk?"
"Bukan. Tapi memang Edzard udah nggak kepengen dekat lagi. Ya udah sih, aku mana bisa protes," ujar Adreanne sesantai mungkin.
"Dasar lelaki! Pas udah bosan aja menjauh dan cari yang lain! Padahal kemarin aja bilang Kalista jelek, eh sekarang ditempelin mulu," omel Lily kesal.
"Ssttt, orangnya datang," bisik Adreanne.
Edzard dan Dante berjalan memasuki kelas bersamaan. Mulut Lily pun kembali terkunci dan tidak berbicara lagi.
***
Para peserta olimpiade kemarin dipanggil secara tiba-tiba di toa kantor ruang guru. Mau tak mau, Adreanne berangkat seorang diri karena Edzard tampak melambatkan langkahnya dan seperti enggan bersamanya.
Dengan langkah lebar ia berjalan hingga ia melihat Abian baru saja keluar dari kelas. Dengan segera ia menghampiri Abian agar ada temannya.
"Kira-kira ada apa ya, Bi?" tanya Adreanne mulai menerka-nerka.
"Pengumuman olim udah keluar kali," tebak Abian santai.
"Hm, bisa jadi sih."
Percakapan mereka terhenti karena sudah berada di depan kantor guru.
"Ada apa, Bu?" tanya salah satu siswi yang mengikuti olimpiade juga.
"Pengumuman olimpiade kalian sudah keluar. Yang lolos dan akan lanjut ke tingkat provinsi Ibu harap besok pagi sudah mulai kembali belajar di perpustakaan. Waktu untuk Olimpiade tingkat provinsi hanya tinggal delapan hari lagi. Paham?"
"Paham, Bu."
"Untuk yang tidak lolos di tingkat kabupaten ini, jangan sedih atau berkecil hati. Kalian sudah melakukan yang terbaik. Nama yang lolos sudah Ibu tempelkan di mading."
Semua murid pun menganggukkan kepalanya. "Baik, Bu."
Bu Delina pun kembali memasuki kantor. Para peserta olimpiade sebelumnya berbondong-bondong menuju mading di dekat kantor. Mereka membawa beberapa nama yang masuk ke dalam tabel.
"Yah, gue nggak lolos."
"Gue juga."
"Edzard mantep banget, dia lolos."
Adreanne mengacuhkan ucapan-ucapan di sekitar. Ia sibuk mencari namanya hingga ia ketemu namanya sendiri. Senyum lebar terbit di bibirnya. Syukurlah tahap kabupaten ia lolos dan akan berlanjut sebentar lagi di tingkat provinsi.
"Gimana Bi? Kamu lolos?" tanya Adreanne setelah keluar dari kerumunan.
Abian menggeleng dengan lesu. "Gagal."
Adreanne menepuk-nepuk bahu Abian. "Nggak apa, kamu udah berusaha. Yok semangat, jangan lesu gitu!" serunya memberi suntikan vitamin semangat.
Abian tersenyum samar. "Gue seneng lo udah lolos Re. Tingkat provinsi harus lolos juga, pokoknya sampai nasional," katanya.
"Iya, amin. Ya udah yuk balik ke kelas!" ajaknya.
Abian mengangguk. Ia menggenggam tangan Adreanne dan mereka kembali berjalan menuju kelas masing-masing.
Kedekatan antara Adreanne dan Abian, kembali membuat suasana hati Edzard memburuk. Tadinya ia cukup bahagia karena ia juga termasuk siswa yang lolos, seperti Adreanne. Berarti pas belajar tambahan, mereka akan bertemu lagi di perpustakaan.
Namun ia kesal karena mendengar Adreanne memberi semangat pada Abian. Rasa tidak rela itu kembali muncul. Harusnya kata semangat itu untuk dirinya saja.
Huft. Edzard menghembuskan napas berat. Dengan langkah gontai ia kembali ke kelasnya.
Dari jauh, Edzard kembali melihat Adreanne dan Abian. Mereka saling melepaskan tautan tangan karena sudah berada di depan pintu kelas Adreanne. Entah apa yang Abian ucapkan sebelum cowok itu pergi, Edzard tidak tahu.
Ia hanya fokus melihat Adreanne yang lagi-lagi tersenyum.
"Abaikan dia Edzard. Mari berbahagia selagi menunggu waktu pulang," gumam Edzard pada dirinya sendiri.
***
Di lain tempat...
Adelard dan Max sudah berada di Bumi selama dua hari. Banyak hal yang mereka temui di tempat ini, salah satunya banyaknya manusia yang berlalu lalang dengan kendaraan yang tentunya tidak ada di negeri mereka.
Adelard memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak seraya melengkapi berkas identitas dirinya selama di sini. Untuk masalah sekolah, ia akan mendaftar esok hari. Adelard sudah mengatakan pada Max, hanya ia yang akan mendekat pada Edzard. Max hanya mengawal saat di rumah dan jika keluar rumah untuk jalan-jalan, selebihnya Max juga harus melakukan pekerjaan rumah seperti beres-beres dan membuat makanan. Adelard tidak ingin menyewa jasa pembantu manusia karena ia belum terlalu kenal dengan lingkungan yanh cukup asing untuknya ini.
"Bagaimana, Pangeran. Apakah makanannya enak?" tanya Max menggunakan bahasa manusia.
Sejujurnya, pada awalnya bangsa mereka atau kaum lainnya yang berada di Bumi, tidak akan mengerti bahasa manusia. Untuk memahami bahasa manusia, mereka harus melakukan penyerapan.
Untum kasus ini, Max sudah mencari seorang manusia yang bisa diajak kerja sama. Max menyewa seorang manusia dan membayarnya.
Untuk melakukan penyerapan, yang dilakukan hanya memegang kepala manusia itu selama sepuluh menit. Maka setelah itu, otomatis bahasa-bahasa yang digunakan sehari-hari oleh manusia akan mereka kuasai pula dengan cepat. Manusia yang disewa Max tidak tahu apa-apa. Ia hanya menurut ketika kepalanya di pegang selama sepuluh menit dan mendapatkan imbalan yang cukup banyak.
Sekarang Adelard dan Max sedang di salah satu restoran sushi yang sangat ramai di kunjungi manusia.
Awal melihat restoran sushi ini, Adelard beranggapan bahwa makanan di tempat itu lezat-lezat. Terlebih banyaknya orang yang makan di sana. Dan semuanya terbukti ketika ia merasakannya secara langsung. Makanan ini benar-benar enak, lebih enak dari pada makanan yang biasa dibuat oleh koki di Istana.
"Apa anda ingin memesan lagi, Pangeran?" tanya Max lagi, ia melihat piring sang Pangeran sudah kosong.
Adelard melirik ke sekitarnya, ada beberapa orang yang menatap ke arah mejanya. Adelard memajukan tubuhnya lalu berbisik. "Max, jangan panggil aku Pangeran. Panggil aku Adelard saja, semuanya pasti memperhatikan."
"Ah iya maaf, Pangeㅡ maksud saya Adelard. Baiklah apakah anda ingin menambah?"
Adelard mengangguk. "Aku ingin menu yang seperti tadi."
Max mengangguk dan memanggil pelayan. Ia menyuruh pelayan membawakan makanan yang diinginkan oleh Adelard.
"Baik, Tuan. Mohon tunggu selama sepuluh menit," ujar pelayan itu.
Max menganggukkan kepalanya.
"Max, makanan di sini benar-benar lezat. Aku sangat suka," ungkap Adelard.
"Saya juga setuju. Rasanya sangat lezat dan berbeda dengan makanan yang di Kerajaan," balas Max dengan memelankan suaranya ketika mengatakan kata Kerajaan.
"Besok kita harus ke sini lagi," kata Adelard.
Max hanya mengangguk setuju.
"Kapan anda akan mulai sekolah?"
"Lusa."
"Apa saya benar-benar tidak usah ikut serta?" tanya Max memastikan.
"Ya tidak perlu. Kau di rumah saja dan melakukan hal yang lain."
"Tapi bagaimana jika Pangeran Edzard berbuat jahat?" tanya Max sedikit cemas.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri Max. Jangan khawatir. Dan hilangkan kata Pangeran di setiap kalimat yang akan kau ucapkan!"
Max meringis pelan, ia salah lagi. "Baik, akan saya ingin perintahnya."
***
TBC.
don't forget to tap love and comments