36. Sebuah Jarak

1430 Words
Damien akhirnya dipindahkan ke kamar inap. Adam beserta sang istri dan juga Adreanne langsung mengikuti bangsal yang didorong oleh para perawat. "Nanti malam, Dokter akan kembali memeriksa keadaan pasien," ujar salah satu perawat wanita. Tika mengangguk. "Baik, terimakasih." Para perawat itu pergi meninggalkan kanar inap. Tika langsung duduk kursi yang ada di sebelah bangsal Damien. Sementara Adreanne duduk di sofa. "Kamu mau pulang? Hari udah semakin sore," kata Adam pada Putrinya. Adreanne menggeleng. "Aku mau di sini aja, ikut jaga Abang." "Tapi kamu besok sekolah," sergah Tika. Tiba-tiba Adreanne teringat dengan tugas yang dikatakan oleh Lily siang tadi, lantas gadis itu berdiri. "Iya deh aku pulang, ada tugas yang belum aku kerjakan." "Ayo, Ayah antar." Adreanne berdiri dan mendekati Tika kemudian mencium punggung tangan sang Bunda. "Aku pulang dulu, Bun." Tika mengangguk. "Hati-hati ya, Yah bawa mobilnya." Adam menganggukkan kepalanya. *** Keesokan harinya... Pagi-pagi sekali, Adam akan pergi ke rumah sakit untuk membawa sarapan yang telah dibuat Bi Rumi dan juga membawakan pakaian untuk Damien dan Tika yang berada di rumah sakit. "Kamu sarapan dulu yah. Nanti berangkat ada Lily, Ayah udah suruh Lily buat jemput kamu." Adreanne mengangguk lesu. "Hati-hati bawa mobilnya Yah, jangan ngebut." Adam tersenyum lalu mencium puncak kepala anak gadisnya. "Semangat sekolahnya, Abang kamu udah baik-baik saja sekarang. Lagi-lagi Adreanne merespon dengan anggukan lesu. Adam pun mengayunkan kakinya keluar dari rumah dan memasuki mobil. Tak lama, mobilnya melesat meninggalkan pekarangan rumah. Adreanne menutup pintu depan, matanya melirik ke arah jam besar yang ada di ruang tamu. Baru pukul enam pagi kurang sepuluh menit. "Non Rea, ayo sarapan dulu. Habis itu bisa mandi," ujar Bi Rumi menghampiri gadis itu. "Iya, Bi." Adreanne melangkahkan kakinya menuju ruang makan. "Bi Rumi ikut sarapan aja, aku nggak mau sendiri." Wanita paruh baya itu pun mengangguk patuh. Adreanne mendapatkan sarapannya dan langsung melahap semuanya. Setelah sarapan, Adreanne bergegas ke kamarnya untuk bersiap-siap. Dua puluh menit kemudian ia sudah rapi dengan seragam khas sekolahnya. Ia langsung turun dan menunggu Lily datang di ruang tamu depan. Tak berselang lama, Lily datang. Langsung saja ia pamit pada Bi Rumi dan masuk ke dalam mobil sahabatnya. "Loh, aku kira bakal ada supir yang mengantar. Ternyata kamu menyetir sendiri," kaget Adreanne. "Pak Mamat lagi pulang kampung, bokap gue ngijinin bawa mobil. Ya udah gas aja bawa mobil ke sekolah," sahut Lily santai tanpa menatap Adreanne. "Oh gitu..." "Oh iya, gimana sama abang lo? Kemarin Bunda lo nelepon gue habis kita main itu." "Abang udah sadar jam delapan malam tadi. Kondisinya udah baik-baik aja, cuma katanya masih pusing." "Syukurlah nggak amnesia," pungkas Lily. "Kok amnesia?" Lily terkekeh kecil. "Gue kira bakal amnesia, secara kan kepala Bang Damien di pukul kayu sampai bocor. Kali aja ada masalah dengan ingatannya setelah sadar." "Kebanyakan nonton sinetron kamu mah," decak Adreanne. "Nggak di sinetron aja yang ada kayak gitu maemunah! Di real life juga ada kali." "Iya aku tahu. Tapi untungnya nggak kejadian sama Bang Dami." "Ho'oh, untung nggak kejadian. Kalau sempat Bang Damien lupa ingatan, bisa repot keluarga lo," kekehnya. "Nanti pas pulang gue ikut lo." "Ikut ke mana?" tanya Adreanne heran. "Lo pasti bakal ke rumah sakit, ya gue ikut. Mau jenguk." "Oh okay." *** Jam istirahat tiba... Adreanne bersama Lily berjalan menuju kantin. Langkah Adreanne terhenti ketika melihat Edzard jalan bersama Kalista di koridor. Mereka tampak akrab, sesekali pun ia melihat Edzard tersenyum. "Eh, bukannya si Edzard kemarin nolak si Kalista, ya? Kok mereka sekarang bareng?" tanya Lily kepo, nada suaranya persis seperti orang sedang bergosip. "Mana aku tahu!" sewot Adreanne tiba-tiba kesal. "Lah, lo kok kesel?" Adreanne mendengus kasar lalu mempercepat langkahnya menuju kantin. Mengabaikan Lily yang kebingungan sendiri. "Ada apa sih, Re? Kok lo marah? Gue ada salah, ya?" Lily segera mensejajarkan langkahnya dengan Adreanne. "Nggak ada. Aku cuma laper," elaknya. "Ya udah biar gue yang pesanin. Lo mau makan apa?" "Seblak yang pedes banget!" seru Adreanne berapi-api. Lily yang melihat raut wajah merah Adreanne pun mengangguk cepat. "Okay, gue pesen dulu." Setelah kepergian Lily, Adreanne langsung mencari tempat duduk. Entah karena apa, kekesalan Adreanne kian memuncak melihat Edzard dan Kalista berjalan memasuki kantin bersamaan. Sejak kapan mereka dekat? Hal itu sungguh mengganggunya! Entah bisikan dari mana, ia juga merasa tak ingin kalah. Matanya tak sengaja melihat ke arah pintu di mana Abian dan Arsen baru saja memasuki kantin. "Abian! Arsen! Ayo sini," seru Adreanne sembari melambaikan tangannya. Abian tampak antusias dan melangkah dengan cepat. Sekilas Adreanne melihat Edzard yang juga menatap dirinya dengan tatapan datar. Adreanne langsung mengalihkan tatapannya. Entahlah, ia hanya merasa senang karena dapat membalas Edzard. Dulu cowok itu selalu melarang-larangnya mendekati Abian. Melihat Edzard yang terlihat benar-benar ingin menjauhinya, berarti tidak masalah jika ia mulai berdekatan dengan Abian. "Sen gue mau mie ayam bakso, pesanin ya tolong," kata Abian pada Arsen. "Oke ntar." Arsen pun pergi dan tersisa Adreanne dan Abian. "Nanti sore jadi temani ke toko buku, kan Re?" tanya Abian antusias. "Maaf, Bi. Pulang sekolah aku mau langsung ke rumah sakit." Wajah Abian tampak terkejut. "Siapa yang sakit?!" "Abang aku kemarin masuk rumah sakit. Maaf ya nggak jadi," sesal Adreanne. Abian mengangguk mengerti. "Aku paham, kalau begitu kapan kamu bisa aja. Sekalian aku pengen ngajak kamu ke suatu tempat." "Okedeh." "Nanti ke rumah sakit, kamu sama siapa?" tanya Abian. "Sama Lily. Kenapa?" "Aku dan Arsen boleh ikut?" tanya cowok itu meminta izin. "Boleh dong. Eh, kamu kok sering banget sama Arsen. Ke mana-mana selalu berdua." Abian tertawa pelan. "Arsen itu sepupu jauh aku, lagi pula dari kecil kami udah dekat. Ya wajar pas di sekolah nempel," kekehnya. "Oh begitu ... pantas saja." "Okay, nanti pulang sekolah kita pergi berempat." Adreanne hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa mereka sadari, Edzard sedari tadi menguping dan mengepalkan tangannya kesal mendengar obrolan akrab keduanya. Entah mengapa hatinya serasa memberontak. Ia ingin ada di sana juga, menjaga Adreanne agar tidak di dekati Abian terus menerus. Namun, keputusannya kemarin sudah bulat, mereka akan tetap menjaga jarak. Ah sial, Edzard sedikit menyesali keputusannya. Keputusan menjauh, malah membuatnya menjadi menderita. Ia harap waktu segera berlalu dan ia dapat pulang ke Kerajaannya dengan segera, jadi ia tak perlu terbakar api cemburu ketika melihat Adreanne dan Abian jika bersama. *** Sepulang sekolah, Adreanne langsung keluar dari kelas bersama Lily. Abian dan Arsen pun sudah menunggu di luar kelas mereka. "Ayo kita berangkat!" seru Lily. Keempatnya langsung menuju parkiran. Seperti pagi tadi, Adreanne bersama Lily. Sedangkan Arsen menggunakan motor gede milik Abian. Abian ke sekolah memang menggunakan motor. Adreanne membuang pandangannya keluar jendela mobil. Benaknya kembali terpusat pada Edzard. Seharian ini mereka benar-benar tidak berinteraksi satu sama lain. Benar-benar menjauh. Adreanne belum terbiasa, karena beberapa bulan belakangan mereka memang dekat. Jadi, ada yang terasa kosong di hatinya. Walaupun begitu, Adreanne tetap akan berusaha menghormati keputusan Edzard. Lily menghentikan mobilnya di supermarket yang cukup besar. "Loh, ngapain ke sini?" tanya Adreanne bingung. "Beli buah tangan dong. Ya kali jenguk tanpa bawa apa-apa." "Arsen sama Abian?" "Ada noh, di arah sana mereka parkir." Lily menunjuk ke sudut parkiran di mana tempat kendaraan bermotor berada. "Cuss turun!" lanjut Lily. "Sebenarnya tanpa bawa apa-apa pun nggak apa, Ly," katanya. Lily menggeleng. "Udah ayo!" Ia pun turun lebih dulu dan diikuti oleh Adreanne. Mereka berempat memasuki supermarket yang menjual berbagai jenis bahan makanan, buah-buahan dan sayuran. Arsen mengambil sebuah keranjang yang tidak terlalu besar. Lily dan Abian tampak memilih-milih buah-buahan yang segar. Sedangkan Arsen berjalan ke rak di mana roti-rotian berada. "Nggak usah banyak-banyak, nggak bakal habis sama Bang Dami," peringat Adreanne tak enak pada Lily. "Udah lo diam aja, Re. Nggak usah banyak protes." Adreanne menggaruk kepala belakangnya. "Makasih banyak loh, niat kalian baik banget." Lily mengangguk acuh tak acuh. Adreanne berjalan menuju lemari pendingin dan memperhatikan es krim yang di balut dengan waffle yang berada dalam satu kemasan dengan tertarik. "Mau itu?" Tiba-tiba Abian sudah berada di sampingnya. "Eh, em ... Mau sih. Kita ambil aja kali, ya?" Abian mengangguk tanpa protes. "Ambil aja yang lo mau. Masukin ke keranjang itu." Adreanne mengangguk patuh. Ia mengambil empat buah es krim untuk mereka nanti. Setelah semua dirasa cukup, mereka pun ke kasir. Adreanne menyerahkan uang seratus ribu pada Abian. "Ini yang es krimnya Bi." Abian tak mengambil uang tersebut. "Simpan aja. Gue yang bayar, jangan protes." "Tapi kan..." "Rea, gue bilang apa tadi?" Abian menatap Adreanne seakan tidak ingin dibantah. Adreanne menghela napas, memilih mengalah lalu ia menyimpan kembali uangnya di dompet. "Baiklah." Setelah selesai membayar, mereka duduk di depan supermarket untuk menikmati es krim sejenak. Sepuluh menit kemudian es mereka telah habis, perjalanan menuju rumah sakit pun dilanjutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD