Adelard mengayunkan kakinya menuju kamarnya. Di belakang ia diikuti oleh Max sang pengawal setia.
"Apakah seluruh barang-barang ku sudah kau siapkan Max?" tanya Adelard, melonggarkan kerah bajunya yang terasa mencekik dirinya.
"Sudah Pangeran. Saya juga sudah menemukan tempat tinggal di Bumi untuk anda tempatkan," jawab Max.
Tok... Tok... Tok...
Tanpa disuruh, Max langsung membuka pintu kamar sang Pangeran.
"Salam Putri," kata Max ketika melihat Putri Isabella lah yang datang.
"Kakak ada di dalam?" tanya Isabella.
Max mengangguk. "Silakan masuk, Putri."
Isabella pun melangkah memasuki kamar sang kakak. Ia melihat kakaknya itu sedang duduk di sofa.
"Ada apa, Bella?" tanya Adelard malas.
"Apakah benar kau akan ke Bumi, kak?"
Adelard mengangguk tanpa ragu. Membuat mata Isabella menatap kakak laki-lakinya itu dengan berbinar. "Apakah aku boleh ikut?"
"Tidak." Singkat, padat, dan jelas, membuat Isabella merengut sebal.
"Bagaimana kau bisa dapat izin dari Ayah?" tanya Isabella cerewet.
"Tentu saja bisa."
"Caranya?"
"Kau cerewet sekali," dengus Adelard kesal.
"Ayolah, aku hanya ingin tahu," rengek gadis itu.
"Aku mengatakan akan melihat seluruh aktivitas manusia di bumi. Melihat teknologi mereka dan berbagai hal, beberapa misi juga akan aku jalankan di sana."
"Misi apa?" tanya Isabella makin penasaran.
Adelard menyeringai. "Misi rahasia."
Isabella berdecak sebal. "Aku pengin ikut kak," rengeknya.
"Nggak usah aneh-aneh, Bella. Nanti ketika aku kembali, akan ku bawakan hadiah dari Bumi."
"Benarkah?"
Adelard mengangguk. "Iya."
Isabella terpekik gembira namun pekikan bahagianya hanya sebentar. "Tapi aku benar-benar ingin ikut."
Adelard melengos. Benar-benar keras kepala sekali Putri yang satu ini.
"Dapatkan izin dari Ayah dan Bunda, maka aku akan membawamu."
"OKE, AKAN AKU DAPATKAN!" seru Isabella senang. Tanpa mengucap sepatah kata lagi, gadis itu berjalan keluar kamar Adelard untuk menemui Raja dan Ratu.
Setelah kepergian Isabella, Max langsung mendekati Adelard.
"Pangeran, benarkah anda akan membawa Putri?" tanyanya dengan ragu.
"Aku mengatakan seperti itu agar dia keluar dari kamarku dan tidak merengek lagi. Lagi pula, Ayah juga tidak akan setuju jika Bella ikut bersama kita."
Max mengangguk paham. "Saya mengerti. Lalu kapan kita akan berangkat, Pangeran?"
"Besok, sekarang aku ingin beristirahat."
"Baik, kalau begitu saya keluar dulu, Pangeran. Selamat beristirahat."
***
Setelah seharian bersama Lily, akhirnya Adreanne pulang ke rumah tepat pukul empat sore. Mereka menghabiskan banyak waktu di bioskop, menonton film yang berdurasi hampir tiga jam.
Adreanne memasuki rumahnya yang terasa sunyi. Tadi pun ia sempat heran, kenapa ia tidak melihat mobil milik Ayahnya di luar. Apakah Ayah dan Bundanya sedang keluar rumah?
Kakinya mengayun menaiki lantai dua dan menuju kamar Damien. Tanpa mengetuk pintu ia membuka kamar Abangnya itu.
Kosong.
Hei, di mana semua orang? Kenapa sepi sekali!
Adreanne membuka tas selempangnya dan mengambil ponsel. Matanya terbelalak kaget mendapati sepuluh telepon dari Bundanya dan lima belas kali dari Ayahnya. Terdapat tujuh pesan juga dari sang bunda.
Gadis itu meringis pelan kala baru ingat bahwa ponselnya dalam mode silent karena mereka berada di bioskop tadi.
Jarinya langsung membuka aplikasi chatting.
Bunda.
Rea, kamu di mana? 14.50
Re, balik cepet. 14.51
Angkat telepon bunda. 14.55
Rea, kamu di mana sih? Jangan buat bunda panik! 15.00
Bunda telepon kamu dan Lily, kenapa tidak ada satupun yang mengangkat 15.00
Abang kamu kecelakaan, buruan ke rumah sakit Pelita. 15.01
Mata Adreanne terbelalak melihat pesan yang paling di bawah. Langsung saja ia berlari menuruni tangga dan mencari bi Rumi yang sialnya tidak ada di rumah juga.
Dengan cepat ia memesan taksi dan menunggu di luar pagar. Jantung Adreanne berdetak tidak karuan mengkhawatirkan kondisi Damien.
Taksi begitu lama datang. Adreanne membuka ponselnya lagi dan menghubungi Tika.
"Halo, Bunda? Maaf, tadi Rea ada di bioskop. Hapenya dalam mode silent," ujar langsung dengan nada panik.
"Kalau kamu lelah, kamu bisa nyusul nanti aja. Damien masih ditangani oleh dokter."
"Nggak Bun, ini taksinya bentar lagi datang. Aku bakal nyusul."
"Kalau gitu, hati-hati ya."
"Iya bun. Bunda jangan terlalu panik, Okay?"
Terdengar Tika terkekeh di seberang sana. "Iya, bunda baik-baik saja."
"Ini taksinya udah datang. Aku matiin dulu ya, Bun."
"Iya, hati-hati."
Bip!
Sambungan telepon pun terputus. Adreanne segera membuka pintu taksi dan masuk.
"Rumah sakit Pelita, Pak!"
"Oke, neng."
Bapak taksi itu pun langsung melajukan mobil menuju rumah sakit yang dj maksud.
Dua puluh menit kemudian akhirnya taksi berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Langsung saja Adreanne membayar dan masuk.
Adreanne mendapat pesan dari Bundanya kalau Damien sedang ditangani di ruang IGD. Dengan langkah lebar ia berjalan menuju IGD sesuai dengan arahan seorang perawat yang melintas di hadapannya.
"Bunda," panggil gadis itu.
Tika menoleh dan langsung memeluk putrinya. "Bunda sempat khawatir karena kami tadi nggak angkat telepon sama balas pesan Bunda."
"Aku baik-baik aja. Bang Dami kenapa bisa kecelakaan bun? Apa yang terjadi?"
"Abangmu pergi ke kampus tadi, kamu tahu sendiri jalan yang selalu dilewati Damien. Agar cepat sampai dia memilih jalan sepi yang biasanya itu. Preman-preman mencegat dirinya, dan hendak mencuri mobil dan uang yang di Damien bawa. Tapi Damien melawan, mereka mengeroyok abang kamu sampai babak belur parah hiks."
"Untung ada beberapa pengendara yang lewat dan langsung menolong abang kamu. Hanya saja Preman itu tak terima dan langsung menghancurkan kaca depan mobil Damien dan abang kamu udah terkapar di aspal dengan kepala yang bocor," lanjut Tika masih dengan deraian airmata.
Adreanne mengelus punggung bundanya dengan lembut. Hatinya juga merasa sakit dengan kejadian yang ditimpa oleh abangnya. Ia harap Damien baik-baik saja.
Srett!
Pintu ruangan itu dibuka dan menampilkan sosok Dokter yang sejak tadi menolong Damien.
Adam segera menghampiri sang dokter diikuti oleh Tika dan Adreanne.
"Bagaimana keadaan Putra saya dok?" tanya Adam cemas.
"Kondisi pasien baik-baik saja. Hanya saja luka di kepala cukup serius dan dalam, tapi kami bisa mengatasinya dengan menjahit bagian yang bocor. Tadi pasien sempat kekurangan darah dan untungnya di rumah sakit ini ada darah yang cocok dengan pasien. Luka-luka memar di wajah, tangan dan kaki akan sembuh dalam beberapa minggu. Pasien masih belum sadar, beberapa jam lagi akan siuman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ketiganya pun menghela napas lega mendengar perkataan Dokter.
"Baik, terimakasih Dokter."
"Pasien akan dipindahkan ke ruang inap beberapa menit lagi, mohon ditunggu ya."
Adam mengangguk paham.
Dokter laki-laki itu pun pamit mengundurkan diri. Adam, Tika dan Adreanne kembali duduk di kursi tunggu dengan perasaan yang lumayan lega.
"Syukurlah Damien baik-baik saja." Tika menghela napas lega.
Adreanne mengangguk setuju.