Sepulang sekolah, Adreanne langsung menuju kamarnya. Mengabaikan himbauan sang Bunda di dapur yang menyuruhnya mencicipi lasagna buatan wanita itu.
Adreanne meraih iPad di meja belajarnya dan mencoba mencari harga dan keterangan mengenai kalung yang diberikan Edzard tempo lalu.
Gadis itu men-scroll layar iPad-nya, membaca tiap-tiap artikel mengenai batu ruby dan mencari-cari kalung yang serupa dengan pemberian Edzard. Namun nihil, tidak ada model dan bentuk yang sama seperti hadiah dari Edzard. Di toko-toko emas dan berlian terkenal pun, juga tidak memasang model seperti itu.
Namun jika di lihat dari banyaknya koleksi yang di pajang di toko online toko berliannya, Adreanne menelan ludahnya susah payah. Walaupun berbeda bentul dan bandulnya, tapi sama-sama ber-batu ruby.
Di bandrol dengan harga fantastis. Tiga ribu dua ratus US dollar. Yang jika di rupiahkan hampir lima puluh juta.
Adreanne menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Kalung semahal itu, sekarang sudah hancur. Tidak heran, Edzard jadi merajuk padanya.
Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Saking cemas dan takutnya, Adreanne seperti akan menangis. Kedua maniknya berkaca-kaca dengan pikiran yang kalut.
"Gimana dong ini? Tabunganku mana cukup buat ganti kalungnya. Huaa!" Adreanne berseru lalu menenggelamkan wajahnya di batal.
iPad yang berada di tangan pun ia lempar sembarangan di kasur.
Cklek!
Tiba-tiba Damien datang dan melipat kedua tangannya di depan d**a. "Lo kenapa sih? Tiba-tiba teriak?" tanyanya keki.
Dengan mata berlinang, Adreanne mengangkat kepalanya. "Kak Dami..."
Damien yang melihat adiknya sedang tidak baik-baik saja pun mendekat. "Kamu kenapa nangis? Ada yang bully di sekolah apa gimana?" tanyanya dengan nada yang berubah cemas.
Adreanne mengusap pipinya kasar lalu meraih iPad yang ia lempar tadi. "Harga kalung itu ternyata mahal, hampir lima puluh juta. Pantas aja Edzard marah ke aku. Gimana dong?" curhatnya dengan sendu.
Damien meraih iPad adiknya dan tertegun melihat harga kalung yang tertera. "Seriusan segini? Gila, Edzard kok mau-maunya ngasih lo hadiah kalung semahal ini?!" pekiknya tak percaya.
"Aku awalnya udah nolak, tapi dia maksa hiks. Sekarang kalungnya udah hancur berkeping-keping," rengek gadis itu. Airmata mengucur deras dari kelopak matanya.
Damien mengusap-usap puncak kepala sang Adik. "Ssttt, udah nggak apa. Nanti kita ganti, abang ada tabungan banyak."
Mata Adreanne memancarkan sinar penuh harap. "Yang benar bang?"
Damien mengangguk. "Iya, nanti kita cari di toko khusus emas dan berlian. Jangan nangis lagi."
Adreanne mengangguk patuh dan mengusap wajahnya. Tangannya terbuka lebar memeluk pinggang Damien. "Makasih banyak Bang Dami, aku sayang abang."
Mendengar itu, bukannya senang. Justru Damien mendengus. "Kalau ada butuh aja bilangnya sayang."
Adreanne nyengir kuda. "Beneran sayang kok." Gadis itu melarikan kecupan di pipi kanan sang Abang.
Walaupun terkadang galak, Damien tetap menyayangi adiknya ini. "Ya udah, jangan nangis lagi. Kamu mandi abis itu turun ke bawah."
Adreanne mengangguk patuh. "Okay Bos!"
Damien terkekeh lantas mengacak-acak rambut Adreanne gemas. "Lusa kita pergi okay? Hari minggu, sekalian cuci mata ke Mall."
"Oke siap!"
Damien pun bangkit dan berjalan keluar dari kamar adiknya.
Sepeninggalan Damien, Adreanne langsung bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya. Ia memilih berendam selama dua puluh menit baru setelahnya memutuskan menyelesaikan aktivitasnya.
Setelah berpakaian, Adreanne langsung melangkah keluar dari kamar dan bergabung bersama keluarganya di ruang keluarga. Ayah dan Bundanya sedang menonton televisi, sedangkan Damien entah ke mana.
"Pulang-pulang tadi kok kamu acuhkan bunda?" tanya Tika langsung.
Adreanne baru saja mendaratkan bokongnya di sofa lantas meringis. "Maaf, Bun. Tadi ada yang mau aku lakukan dulu."
"Ngapain?" Kali ini Adam yang bertanya.
"Ngelihat harga kalung yang dikasih Edzard kemarin, Yah. Katanya Edzard menjauhinya dan Adreanne pikir tuh anak merajuk," celetuk Damien. Menjawab pertanyaan singkat Adam dengan santai.
Adreanne menatap tajam sang Abang yang mulutnya seperti ember bocor.
Di tangan Damien ada seporsi nasi lengkap dengan lauk pauk nya. Damien duduk berselonjor di atas karpet dan meletakkan piringnya di meja.
"Makan Bun, Yah," tawar pria itu.
Tika menggeleng sedangkan Adam diam.
"Apakah benar apa yang dikatakan Abang kamu, Adreanne?" tanya Adam penuh penekanan. Tak biasanya pula pria paruh baya itu memanggil dirinya dengan lengkap begitu. Biasanya Adam hanya akan memanggilnya dengan panggilan sayang atau 'Rea'.
"Iya, Ayah."
"Edzard menjauh bukan karena kalung itu," ujar Adam tegas.
Tika langsung menyikut lengan suaminya dan menatap penuh peringatan.
Alis Adreanne terangkat naik. "Terus karena apa, Yah?"
"Karena Ayah yang menyuruhnya," tukas Adam singkat padat dan jelas.
Adreanne menatap wajah Adam dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa Ayah melakukan itu? Kan aku udah bilang kalau Edzard baik dan nggak jahat. Kenapa Ayah masih nggak suka kami berteman?!" Tanpa sadar Adreanne mengeraskan suara di akhirat kalimat.
Tika menghela napas. Apa yang ia cemaskan akhirnya terjadi. Putrinya kembali mengamuk.
"See? Biasanya kamu tidak pernah mengeraskan suaramu di depan orangtuamu. Sejak kamu bergaul dengan anak itu, tingkah kamu semakin berani." Adam menyahut dengan datar, tangan pria tua itu terlipat di depan dan tatapannya tampak dingin menatap putrinya.
Adreanne tertegun. Ia merasa yang di hadapannya bukanlah Adam, melainkan sosok yang berbeda.
"Maaf karena aku udah nggak sopan. Tapi kasih tau aku alasan yang jelas Ayah, kenapa aku harus menjauhi teman laki-laki."
"Alasan karena tidak ingin pergaulanku rusak atau pun tidak rela itu alasan yang bullshit dan sangat klise. Aku nggak suka dikekang kayak gini!" lanjut gadis itu.
Meluapkan kekecewaan dan kemarahannya, Adreanne sampai berdiri menatap sang Ayah dengan menuntut.
"Rea, tenang dulu sayang. Ayah nggak bermaksud mengekang kamu," ujar Tika kalang kabut.
"Lalu apa Bun? Masa iya Ayah ngelarang aku temenan sama Edzard yang baik seperti itu?! Bahkan Edzard selalu perhatian, pas aku mau pingsan di pelajaran penjaskes aja, Edzard yang peduli. Dia rela pergi membelikan minum dan juga membawakan obat untukku. Dan masih banyak lagi sikap Edzard yang baik lainnya," pungkas Adreanne kesal.
"Ini demi kebaikan kamu."
"Kebaikan apa maksudnya, Yah?"
"Dia nggak baik. Bahkan dia berbohong padamu. Edzard masih memiliki keluarga kok," kata Adam santai.
Kepala Adreanne sontak mundur, ia menatap Adam tidak percaya.
"Ayah kira aku percaya sama kata Ayah? Aku sudah melihatnya sendiri, Edzard memang tinggal sendiri, Yah. Ah, tidak lebih tepatnya sekarang ia tinggal bersama sepupunya. Kedua orangtua mereka memang sudah tiada. Aku beberapa kali pernah ke rumahnya."
"Apa?! Kamu pernah ke rumahnya? Ngapain?!" pekik Adam semakin tak terkontrol emosinya.
"Aku pernah hampir dilecehkan preman sewaktu pulang sekolah, waktu itu Bang Dami lama menjemput. Aku memilih pulang, dan tiba-tiba ada preman. Edzard menolongku dan menghabisi preman-preman itu. Pokoknya setelah itu aku pingsan dan dibawa ke rumahnya karena saat itu dia belum tau di mana rumah kita," jelas Adreanne.
Raut wajah Adam semakin keruh. Damien yanh sedari tadi makan sambil menyimak pun mulai berhenti mengunyah. Sementara Tika tampak terkejut dengan penjelasan Adreanne.
"Kapan kamu mengalami hal itu? Kenapa tidak cerita ke Bunda?" tanya Tika kecewa.
"Iya, kenapa tidak cerita pada ke Abang lo ini?!" timpal Damien.
"Aku baik-baik saja. Jadi aku rasa tidak perlu menceritakannya," sahut Adreanne.
Tatapan Adam beralih menatap Damien, sorot matanya sangat tajam. "Kenapa kamu bisa terlambat dan membuat Adreanne menunggumu, Damien?"
Damien jadi gelagapan sendiri. "Waktu itu aku masih sibuk di kampus Yah. Aku udah nyuruh tunggu."
"Udah keburu malam kalau aku tunggu abang!" tandas Adreanne.
Suasana semakin keruh. Yang tadinya membahas kenapa Adam mengekang kebebasan Adreanne, kini malah meluber-luber ke masalah lainnya.
"Setelah Lily, cuma Edzard yang baik. Sebenarnya anak lain tidak jahat, tapi cuma mereka berdua yang bikin aku nyaman! Aku kecewa sama tindakan Ayah."
Setelah mengatakan hal itu, Adreanne melangkahkan kakinya meninggalkan ruang keluarga dan menaiki tangga. Tanpa sadar ia menutup pintu kamarnya dengan keras hingga menimbulkan suara yang cukup besar.
***
to be continued...