Sesuai dengan permintaan Adreanne, selama di sekolah Edzard menjaga jarak dengan gadis itu.
Adreanne pun menghela napas lega karena tidak ada lagi yang menatapnya sambil berbisik tentangnya dan Edzard.
Sepulang dari sekolah, Damien langsung menjemputnya. Jadi ia tidak bertemu dengan Edzard di depan sekolah.
"Jadi gimana? Hari ini lancar jaya ngejauhin Edzard?" tanya Damien membuka topik pembicaraan, tangan lelaki itu mengecilkan volume lagu yang terputar.
"Barhasil sih, lagian aku udah bilang ke Edzard buat nggak dekat-dekat."
"Jahat banget, kan Edzard nggak ada niatan jahat ke kamu," cibir Damien.
"Aku nggak nyaman, jadi aku harus bilang ke dia," akunya.
"Iya deh iya. Semoga aja Edzard nggak sakit hati pas kamu mintain buat menjauh."
Adreanne berpikir kembali, ia mengingat-ingat sikap Edzard setelah ia mengutarakan isi hatinya. "Edzard nggak marah atau sakit hati. Dia maklum."
Damien hanya menghela napas pelan, ia tidak ingin menanggapi lagi. Karena respon dari adiknya itu, seperti gadis itulah yang benar.
"Lah, itu mobil Edzard yakan?" Mata Damien terpaku pada mobil sport hitam milik Edzard. Entah apa sekaya lelaki itu, Adreanne tida pernah tahu.
"Iya itu mobilnya. Hadeh mau apa sih dia?" Adreanne buru-buru melepaskan seat belt lalu turun.
Gadis itu berjalan dengan langkah lebar masuk ke dalam rumah. Sedangkan Damien hanya menggeleng-gelengkan kepalanya di dalam mobil.
"Kok kamu ke sini?" tanya Adreanne bingung.
Edzard menoleh, pembicaraannya dan Bunda gadis itu terhenti. "Aku mau balikin ini." Cowok itu mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya.
"Kenapa bisa ada sama kamu? Kamu curi, ya?" tuding gadis itu dengan mata melotot.
"Adreanne," tegur Tika, sang Bunda.
"Tadi tertinggal di laci meja," jawab Edzard singkat.
"Tuh, kamu sih! Main tuduh aja," gerutu Tika kesal pada Putrinya.
Adreanne mengambil novel miliknya itu kemudian mengucapkan terimakasih dan maaf.
"Udah, sore. Edzard makan malam di sini aja ya? Bunda tadi masak banyak," kata Tika seperti membujuk.
"Oke Bun, lagian di rumah nggak ada yang masakin."
'Loh, loh, kok dia udah panggil bunda aja?' batin Adreanne keheranan.
Raut wajah Tika berubah penasaran. "Kok nggak ada yang masakin? Mama kamu ke mana?"
"Udah nggak ada, Bun." Edzard memilih berbohong.
Adreanne terhenyak. Ia menatap Edzard dengan sedih, tidak bisa ia pungkiri setiap ia mengetahui ada yang meninggal, ia pasti akan merasa sangat sedih. Tidak peduli itu kerabat, teman, atau orang asing. Yang ia rasakan itu sama, sakit dan sedih walaupun tidak kenal.
"Maafkan Bunda. Jadi sekarang kamu tinggal sama siapa?"
"Sendiri, Bunda."
Adreanne jadi sadar, waktu itu ia pernah pingsan dan di bawa ke rumah cowok itu. Kala itu, ia memang tidak melihat siapapun. Rumah Edzard sangat sepi, dan sekarang terjawab sudah.
"Loh, Papa kamu ke mana? Nggak tinggal sama Papamu?" tanya Tika lagi, wanita paruh baya itu benar-benar kepo.
"Aku tinggal sendiri Bun. Nggak sama siapa-siapa, di dunia ini sendiri," ujar Edzard dengan jelas.
"Maafkan Bunda udah bertanya hal-hal yang sensitif," sesal Tika.
Edzard mengulas senyum tipis. "Nggak apa, Bun. Aku nggak sedih kok."
"Ya udah, kami di sini aja makan malamnya," kata Tika yang diangguki oleh Edzard.
"Ngapain kamu masih berdiri di sini?" tanya Tika pada Putrinya.
Adreanne menggeleng kecil lalu mengayunkan kakinya menaiki tangga dan menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, Adreanne meletakkan tas dan ponselnya. Gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang lalu melirik ke jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul empat sore.
Adreanne bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Lebih baik ia membersihkan dirinya dan membantu Bunda memasak di dapur.
Sekitar lima belas menit ia berada di kamar mandi, akhirnya kegiatannya selesai. Adreanne memakai kaos oblong putih polos yang berukuran besar dan juga celana pendek. Gadis itu melangkah keluar dari kamar.
Ketika melewati kamar Damien, kaki Adreanne sontak berhenti melangkah mendengar suara ribut di dalam sana. Lantaran penasaran ia membuka pintu kamar Abangnya.
"Ngapain?" tanya Damien tanpa menatap Adreanne. Fokus Abangnya itu pada layar di depannya.
Edzard pun sama, memegang sebuah stick seperti Damien, lelaki itu tampak fokus pada layar. Mereka sedang bermain game yang entahlah Adreanne tidak tahu.
"Yah kan," Damien mendesah kecewa ketika dirinya dikalahkan oleh Edzard.
"Nggak nyangka gue, lo baru belajar main nih ps udah bisa aja." Damien berdecak kagum atas keahlian Edzard yang cepat menyerap sesuatu ke dalam memorinya.
Awalnya Edzard memang tidak pandai memainkan alat itu, ia hanya mengamati bagaimana cara Damien bermain. Ketika sudah selesai mengamati, ia mulai bermain melawan Damien. Alhasil ia pun menang.
Adreanne memutar bola matanya malas karena merasa tak berguna mendengar ocehan mereka, lantas ia pergi meninggalkan kamar Damien.
Di dapur, Adreanne melihat sang Bunda tengah memasak. Harum bau makanan yang sangat pekat dan membuat perutnya berbunyi meminta segera diisi.
"Bunda masak apa?" tanya Adreanne, mendekati Tika.
"Ayam rica-rica, kesukaan kamu," jawab Tika.
Adreanne bersorak ria. Ayam rica-rica adalah favoritnya karena makanan itu selalu dibuat Bundanya dengan rasa yang sangat pedas.
"Bantu Bunda menumis sayur kangkungnya," pinta Tika, menunjuk pada mangkuk besi berisi sayur kangkung yang telah bersih.
Adreanne mengangguk. Gadis itu memotong bawang putih dan merah lalu mengambil saus tiram. Setelah bahan selesai, ia mulai menumis bawang-bawangan lalu memberikannya cabai sedikit dan saus tiram tadi. Setelah bau harus tercium, barulah Adreanne memasukkan air secukupnya dan kemudian sayurnya.
Urusan menumis sayur, Adreanne memang jago. Seluruh anggota keluarga sangat suka tumisan sayur buatannya.
Setelah matang, Adreanne memindahkannya ke dalam mangkuk lalu meletakkannya di atas meja.
Dua puluh menit kemudian makanan telah selesai. Kedua perempuan yang berbeda generasi itu terlihat puas dengan hasil masakan mereka.
Tringg... Tringg...
"Kayaknya itu Ayah deh, Bun," kata gadis itu.
Tika yang sedang mengelap kompor pun merespon. "Ya udah kamu buka pintunya sana."
Adreanne mengayunkan kakinya meninggalkan dapur, ia membuka pintu depan rumahnya. Benar saja, Ayahnya ㅡAdamㅡ lah yang pulang.
Gadis itu mencium punggung tangan Ayahnya. "Pas sekali, Bunda baru selesai masak. Ayo kita makan, Ayah pasti lapar, kan?"
Adam terkekeh geli melihat keantusiasannya Adreanne. "Iya, Ayah udah lapar."
Adreanne pun menarik tangan Ayahnya menuju ruang makan.
Wajah Adam tampak berseri menatap makanan yang tersaji di depan mata.
"Panggil Abang kamu sama temen kamu sana," suruh Tika.
Adreanne mengangguk menurut. Gadis itu berjalan meninggalkan ruang makan dan menuju kamar Abangnya.
"Bang, Ed, ayo turun. Makan malam udah siap."
Kedua lelaki itu mengangguk serentak, mereka menjeda permainan lalu berdiri. Adreanne melangkah lebih dulu, sedangkan kedua laki-laki itu mengikuti dari belakang.
"Loh, Ayah kira temannya tadi itu Lily," kaget Adam ketika melihat Edzard yang berjalan di samping Damien.
"Cowok si Rea ini, Yah," kata Damien menyeringai.
Adam menatap Edzard dengan tajam. "Putriku nggak boleh pacaran!"
"Iya, Yah. Aku tahu, bang Damien itu mengada-ada," pungkas Adreanne.
"Halo, Om," sapa Edzard sedikit canggung.
Adam mengangguk singkat. "Siapa nama kamu?"
"Edzard, Om."
"Kenapa kamu dekatin anak saya?" tanya Adam seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.
Edzard melirik Adreanne singkat, sejujurnya ia sudah tahu apa yang ada di kepala Adam. Itu terbaca dengan jelas olehnya. Adam tidak suka ada pria yang mendekati putrinya. Alhasil, terpaksa Edzard mencari alasan lain.
"Saya nggak dekatin, Om. Cuma mau berteman," jawab Edzard.
"Temen apa demen?" Damien terkekeh.
Adreanne menginjak kaki Damien, dan disambut pekikan kecil dari lelaki itu. "Awh, sakit, Maemunah!"
"Makanya, jangan ngomong sembarangan," sungut Adreanne.
"Kalian ini, diam dulu. Ayah lagi bicara sama Edzard." Adam menatap kedua anaknya dengan tatapan memperingati.
"Sudah, sudah, jangan banyak tanya, Yah. Mending kita langsung makan, laper, kan?" Tika menyeletuk.
"Lagian Edzard baik kok, Bunda udah lihat sendiri gimana sikap Edzard," lanjut wanita paruh baya itu.
Adam menghela napas, mengalah. "Ya sudah, kalian duduklah."
Ketiganya langsung duduk. Adreanne memilih duduk di samping Bundanya. Sedangkan Edzard bersebelahan dengan Damien yang berada si sisi kiri Ayahnya.
"Gimana kuliah kamu, Dam? Aman?" tanya Adam mulai membuka topik.
"Aman, Yah." Damien menjawab singkat. Pria itu kembali memasukkan nasi ke mulutnya.
"Kalau kamu?" Tatapan Adam beralih pada sang Putri.
"Aman juga, Yah. Nilai aku juga semakin naik," kata Adreanne.
Adam tersenyum puas. "Tingkatkan terus, ya. Harus fokus belajar, jangan banyakan main apalagi pacaran. Kamu paham?"
Adreanne mengangguk paham. Sementara Edzard menghela napas berat dengan samar, namun helaan napasnya itu terdeteksi oleh telinga Adreanne.
"Kenapa menghela napas gitu? Makanannya nggak enak?"
Buru-buru Edzard menggeleng. "Enak. Cuma pedas aja," alibinya.
"Oh iya ya, aku lupa kamu nggak suka makanan pedas. Ya udah, mau pakai kecap?" tawar Adreanne.
Edzard mengangguk mengiyakan. Lebih baik ia setuju-setuju saja dari pada mendapatkan banyak pertanyaan lainnya.
Mood Edzard sedikit buruk karena Adam. Pria yang tak lain adalah Ayah Adreanne itu tidak menyukainya, terlihat jelas dari gambaran pria tua itu ketika memikirkan diri di dalam pikiran tuanya.
***
to be continued...
awal² part emang slow² dulu yah, konflik utama muncul dipertengahan. jangan bosan dulu?