Denver melajukan mobil sekencang-kencangnya. Semakin lama pedal gas yang diinjaknya semakin dalam. Ia memerlukan pelampiasan! Sembari menyetir ia memegangi d**a kanannya yang terasa sesak. Tidak bisa begini. Ia merasa kesulitan meraih udara. Paru-parunya seakan kolaps. Ia membutuhkan udara segar, atau ia akan mencelakakan dirinya sendiri di jalan raya.
Ketika melewati jalan yang sedikit sepi, Denver menyalakan lampu tangan dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan segera ia keluar dari mobil seraya menghembuskan napas kasar pendek-pendek dari mulutnya. Ia sudah menduga kalau memang Pandanlah biang keroknya. Toh ia juga telah melihat photo-photo mesra Pandan dengan para calon clientnya. Ia jelas-jelas telah tahu aksi-aksi tidak bermoral Pandan. Tetapi ketika melihat Pandan beraksi dengan mata dan kepalanya sendiri, beda rasanya. Sakitnya merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Jujur ia sempat tidak ingin mempercayai penglihatannya. Menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan itu sungguh sangat menyiksa egonya. Jujur, walaupun ia telah melihat kenyataan yang disodorkan detektifnya di depan mata, masih ada setitik penyangkalan di hatinya. Mungkin itu yang disebut dengan harapan. Berkali-kali ia menggumam. Bisa saja itu hanya salah paham. Barangkali itu hanya kebetulan. Ia berusaha membohongi dirinya sendiri sementara bayangannya terus menertawai di belakangnya. Tapi kini setitik harapannya itu musnah tak bersisa.
Denver berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya berulang-ulang. Ia bahkan membasuh wajahnya dengan air mineral yang ia raih sembarang dari dalam mobil. Berusaha menjernihkan kepalanya. Setelah merasa sedikit tenang baru lah ia masuk kembali ke dalam mobil. Ia bermaksud untuk pulang saja. Tetapi baru beberapa menit berkendara, tangannya kembali menghianati isi kepalanya. Ia memutar stir dan kembali ke arah hotel. Selama perjalanan ke hotel, perasaan dan logikanya terus saja berperang. Logikanya memerintahkan untuk berhenti menyakiti diri sendiri. Namun perasaannya memaksa untuk terus berjalan. Pikirannya terus berkecambuk hingga mobilnya tiba di parkiran hotel.
Lo ngapain balik ke sini? Mau jadi pecundang? Udahlah, terima kenyataan. Telan semua kekecewaan lo!
Denver memukuli kemudi mobil dengan geram. Bunyi panjang klakson terdengar bersahut-sahutan karena tidak sengaja ikut tertekan. Petugas parkir tergopoh-gopoh menghampiri. Ia mengira kalau Denver mengalami kesulitan saat hendak parkir. Ketika melihat Denver mengibaskan tangan dan mengisyaratkan kalau ia tidak mengalami masalah, sang petugas parkir pun menyingkir. Denver merasa begitu dilema.
Kenapa lo dilema? Itu karena lo suka sama setan cilik itu kan? Dan lo nggak terima karena dia nggak seperti apa yang lo bayangkan. Come on, Denver. Wake up! Dia nggak senaif yang lo kira! Lupakan dia. Bunuh mati rasa suka lo sebelum lo makin sakit hati nantinya. Perempuan toh bukan cuma dia. Sekali tepuk, semua wanita-wanita yang selama ini berusaha menaik perhatian lo, akan melompat secara sukarela dalam pelukan lo. Apa hebatnya seorang perempuan gampangan seperti Pandan?
Sembari mengkertakkan gerahamnya, Denver memaksakan diri memutar kemudi dan meninggalkan tempat parkir hotel. Sudahlah, toh besok ia juga bisa menikmati Pandan sepuasnya untuk dirinya sendiri. Mungkin dengan memilikinya secara utuh esok malam, akan menuntaskan semua rasa penasarannya. Bahkan mungkin juga menghilangkan rasa sukanya. Yah, semoga saja. Semua perempuan toh sama saja. Sama-sama mempunyai alat kelamin yang sama.
Bedanya mereka bukan Pandan kan?
"SHITTT!"
Denver kembali memukuli kemudi mobilnya. Ia mengeraskan hati untuk membiarkan saja Pandan melakukan apa pun yang ia inginkan bersama dengan Thomas. Toh memang itu pekerjaan sampingannya. Denver berjanji, mulai hari ini, ia akan memperlakukan Pandan seperti perempuan itu ingin diperlakukan. Ia akan memposisikan dirinya sebagai pelanggan, bukan teman. Tidak ada lagi senyum manis gadis kecil bergigi geripis yang selalu berlompatan ke sana ke mari seperti seekor kera. Yang sangat gemar membuntuti kakaknya agar bisa ikut diajak bermain game bersama. Semua kenangan itu telah berubah setelah gadis kecil itu dewasa. Kemarin-kemarin ia masih sungkan untuk menyentuhnya secara berlebihan karena mengira kalau Pandan itu masih semurni dulu. Tapi mulai hari ini, lihat saja. Setan kecil itu akan mendapatkan hukuman yang tidak akan bisa ia lupakan seumur hidupnya!
========================
Pukul tujuh lewat lima belas menit. Pandan gelisah dan terus memindai jam di dinding kamarnya. Ia bingung. Lautan tidak mengizinkannya keluar malam ini. Lautan beralasan kemarin ia sudah bersenang-senang dengan teman-teman kantor barunya. Jadi malam ini ia tidak boleh ke mana-mana. Beginilah sifat asli Lautan. Teguh dan keras jika telah memutuskan sesuatu. Sekali ia mengatakan tidak, akan sangat sulit untuk merubah pendiriannya. Lautan sangat sulit untuk diajak kompromi. Padahal ia mempunyai janji untuk menemui Ibu Fanny pukul delapan tepat nanti. Apa boleh buat, ia terpaksa harus mengelabuhi Lautan lagi. Ia akan kabur secara diam-diam.
Pandan memutuskan memulai pelariannya dengan mematikan lampu kamarnya terlebih dahulu. Ia ingin memberi kesan kalau ia telah tidur karena merajuk akibat tidak diizinkan keluar malam. Pandan menukar gaunnya dengan celana legging praktis dan oversize shirt agak gerakannya lebih mudah untuk kabur. Ia juga mengganti sepatu hak tingginya dengan sepatu bersol rendah dan tas slempang. Apa boleh buat. Semua ini demi kepraktisan belaka. Setelah semua beres, Pandan membuka pintu kamarnya perlahan-lahan. Berusaha agar engsel pintunya tidak bersuara. Ia kemudian berjingkat-jingkat berjalan menuju dapur. Membongkar laci kabinet hingga menemukan serenceng kunci cadangan.
Setelah berhasil membuka pintu belakang, tantangan kini hanya tinggal melompati pagar taman belakang. Kalau masalah lompat melompat ataupun bergelantungan, bukan masalah buatnya. Pohon kelapa saja mampu dipanjatnya dengan mudah, apalagi hanya pagar belakang rumahnya sendiri bukan? Yang sulit itu adalah saat ia harus main kucing-kucingan dengan Pak Aman dan Pak Zuhri, SATPAM yang menjaga rumahnya. Mereka berdua kerap kali berkeliling di setiap penjuru rumah untuk memastikan keamanan rumah.
Suara langkah kaki yang berirama terdengar dari arah pintu samping. Dugaannya benar. Pak Zuhri tampak berjalan ke taman belakang sambil membawa sebuah senter. Pandan segera menyembunyikan tubuhnya pada sebuah pilar. Berusaha tidak bergerak ataupun bersuara. Ia sengaja bersembunyi di pilar belakang ini, karena bisa menyembunyikan bayangan tubuhnya dengan baik. Ketika akhirnya suara langkah kaki Pak Zuhri kian menjauh, Pandan menarik napas lega. Selanjutnya dengan tangkas ia memanjat pagar runcing yang lumayan tinggi dan melompat keluar. Ia mendarat dengan mulus di luar pagar. Yes! Akhirnya ia bebas juga. Saatnya untuk menjalankan misi.
Pandan melirik pergelangan tangannya. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Ia pasti tidak akan tiba tepat waktu kalau memesan taksi online. Baiklah, ia akan naik gojek saja. Semoga saja ia masih bisa tiba on time saat menemui Bu Fanny nantinya. Karena kesan pertama dengan seorang client baru itu adalah yang akan paling diingat. Apalagi ini masih calon client. Apa tanggapan Bu Fanny nanti kalau belum apa-apa saja ia sudah terlambat?
Dua puluh menit kemudian Pandan berlarian di sepanjang koridor hotel. Napasnya ngos-ngosan dan rambut acakan-acakan. Bagaimana rambutnya tidak seperti singa, si driver gojek ngebut kencang sesuai dengan instruksinya tanpa helm. Helm si abang gojek hilang di parkiran katanya. Alhasil rambutnya mengembang seperti kue bole yang baru saja diangkat dari kukusan. Kembang karena keadaan, coeg!
Tepat pukul delapan kurang lima menit Pandan tiba di depan pintu kamar 1137. Pandan berdiri diam sejenak. Berusaha merapikan rambut sekedarnya dengan jemari tangan. Ia juga berusaha menenangkan debaran jantungnya agar kembali normal. Napasnya juga masih ngos-ngosan setelah ia gunakan berlebihan dengan melompat-lompat pagar dan berlari ke sana sini. Pandan menarik napas panjang dua kali sebelum menekan bell.
Pintu terbuka, namun sosok Bu Fanny tidak terlihat. Sepertinya Bu Fanny ada dibalik pintu. Setelah Pandan masuk ke dalam kamar, pintu segera ditutup bahkan dikunci sekaligus. Pandan kaget dan seketika berbalik. Wajah Pandan seketika pias saat mendapati Denver lah yang ada di kamar ini, alih-alih Bu Fanny. Otak cerdasnya langsung bekerja dengan cepat. Dengan adanya Denver di sini, itu berarti Denver telah mengetahui semua sepak terjangnya. Dan kehadiran Denver di sini pasti karena ingin menjebaknya. Sial! Pandan dengan segera meraih pegangan pintu dan memutar-mutarnya panik. Sialnya pintu telah dikunci oleh Denver. Astaga, habislah ia kali ini!
"Mau kemana kamu setan kecil? Takut karena saya akan menguliti kamu hidup-hidup? Hmmm..."
Pandan bergeming. Nada suara dingin seperti ini tidak pernah didengarnya dari mulut Denver. Biasanya Denver ini jahil, nakal dan m***m abis. Sepertinya Denver marah sekali padanya. Hah, tidak kebalik? Seharusnya ia lah yang marah karena kakaknya telah dikhianati. Teringat akan hal itu, Pandan membalikkan tubuh menjauhi pintu. Ia kini berjalan mendekati Denver. Ia bukan pecundang yang selalu bersembunyi dari kesalahan. Ia memang salah. Tapi laki-laki di depannya ini lebih dari salah. Dia ini sampah!
"Takut? Takut pada sampah penghianat seperti kamu? Hallo, memangnya kamu ini siapa?" Pandan berkacak pinggang dihadapan Denver.
Takut? Takut pala lo!
"Coba ulangi kata-kata kamu tadi. Sampah penghianat? Jangan jadi maling teriak maling. Kamu mungkin bisa bersikap playing victim dengan Reno, Thomas atau siapapun itu client-client saya yang kamu hangati ranjangnya. Tapi tidak dengan saya, dasar p*****r kecil murahan!" rutuk Denver gemas. Saat mengucapkan kata-kata p*****r tadi kepalanya menjadi panas sendiri membayangkan kegiatan-kegiatan apa saja yang mungkin telah dilakukan oleh Pandan dengan semua client-clientnya itu.
Pandan yang mendengar kata-kata penghinaan luar biasa yang keluar dari mulut Denver, refleks mengangkat tangannya. Ia bermaksud menampar mulut busuk Denver. Dengan sigap Denver menahan tangan Pandan dan balik memutarnya dengan gemas. Gerahamnya saling bergemelutuk. Pandan meringis menahan sakit. Tetapi ia diam saja. Ia tidak sudi terlihat lemah.
"Jangan berani-berani menyakiti pipi saya dengan tangan kotor kamu ini, sialan. Kalau kamu memang sudah sangat tidak tahan ingin menyentuh saya. Sentuhlah bagian yang memang berguna untuk disentuh." Denver menempelkan tangan Pandan pada bagian bawah perutnya. Pandan yang kaget dan jijik, berusaha menarik tangannya yang digenggamkan paksa oleh Denver.
Manusia m***m akut itu memang gila. Sedikit banyak Pandan gentar juga. Ia takut kalau-kalau Denver kalap dan memaksakan diri kepadanya. Manusia satu ini 'kan memang nekadan modelnya.
"Tidak usah bersikap seperti anak perawan yang tidak pernah memegang bagian tubuh laki-laki seperti itu. Nggak pantes. Sudahlah, buang semua kepura-puraan palsu kamu itu. Saya muak melihatnya!" Pungkas Denver dengan suara menggeram. Pandan menatap sekilas wajah Denver yang sangat tidak enak untuk dilihat. Denver pasti kesal karena merasa sudah dicurangi.
Mampus lo! Emang enak? Sekarang skor mereka 1-1 juga akhirnya.
"Muak melihat saya 'kan? Kalau begitu buka pintunya. Saya mau pulang. Pegel saya berdiri lama-lama di sini. Lagi pula saya juga mau muntah karena mencium bau-bau busuk penghianatan di sini," sindir Pandan sinis. Pandan melihat Denver mengernyitkan kening mendengarnya menyebut kata penghianat. Halah! Belagak b**o.
"Mari kita selesaikan masalah khianat mengkhianati di sini. Saya sama sekali tidak memahami kata-kata kamu." Denver berjalan menuju sofa malas di sudut ruangan. Pandan juga menyusul duduk di seberangnya. Baiklah. Ia juga penasaran sebenarnya. Memang sebaiknya mereka duduk bersama dan menyelesaikan semua persoalan yang ada.
"Coba kamu jelaskan. Mengapa kamu mengatakan kalau saya ini pengkhianat, padahal jelas-jelas kamu lah pengkhianatnya. Sudah tertangkap basah begini lagi." Denver menunjuk geram wajahnya.
"Sebenarnya saya malas sekali mengatakan hal konyol yang sebenarnya sudah kamu ketahui dengan baik ini. Tapi baiklah. Kalau kamu memang sangat kepengen saya telanjangi. Akan saya uraikan satu persatu." Pandan menegakkan tubuh dan menatap Denver tepat di matanya.
"Kamu 'kan yang selama ini menyabotase Aditama Group dengan cara membocorkan angka-angka penawaran perusahaan pada PT. Inti Graha Anugrah?" tuduh Pandan gusar.
"Kamu gila ya?" Denver mengernyitkan keningnya. "Apa dasar tuduhan kamu? Mana buktinya?" sembur Denver berang. Gadis ini tidak waras sepertinya.
"Buktinya? Kamu selalu ada di sekitar kakak saya dan juga Pak Arsene. Kamu juga ada di club saat Bang Lautan mempresentasikan design-designnya pada teman-teman lamanya. Dan hasil finalnya, lagi-lagi Pak Arsene lah yang mendapatkan project itu," sergah Pandan geram.
"Tunggu dulu," Denver memotong alasan tidak logis Pandan. Namun gadis keras kepala itu mengangkat tangan kanannya. Isyarat bahwa ia belum selesai berbicara.
"Satu hal lagi, saya melihat ada dokumen Aditama Group pagi itu di meja Pak Arsene. Dan saat kamu juga ada di sana. Silahkan membantah kata-kata saya kalau kamu bisa," sembur Pandan gemas. Coba kita lihat, mau mengelak apa lagi manusia pengkhianat satu ini.
"Ck... ck... ck... jadi seperti ini hasil pemikiran spektakuler yang baru saja kamu bawa pulang dari luar negri?" decih Denver sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Makanya kalau kuliah itu jangan cuma sampai di gerbang kampus. Jadi kelihatan 'kan begonya? Dengar baik-baik setan kecil. Pertama, yang ada di club saat itu bukan cuma saya saja. Ada Zayn, Barry, Kenan bahkan Putri, pacar kakakmu. Kenapa kamu hanya fokus pada saya? Kedua, masalah dokumen yang ada di meja Arsene. Apa kamu melihat sendiri saya yang meletakkan dokumen itu di meja Arsene? Lihat tidak? Lagi pula, bagaimana mungkin saya kong kalikong dengan Arsene, padahal saat kita pertama kali bertemu di kantor Arsene, itu adalah kali pertama saya bertemu dengannya. Selama ini Arsene 'kan tinggal di luar negri. Mikir!" Denver menunjuk kepalanya.
"Satu hal lagi, apa keuntungan saya kalau saya bekerjasama dengan Arsene? Uang? Bukan bermaksud sombong, tapi memang kenyataannya saya ini jelas berada jauh di atas Arsene dalam masalah finansial. Mikirnya pake ini," Denver menunjuk kepalanya sekali lagi. " Bukan pake ini," Denver kini menunjuk dengkulnya.
"Mana ada maling yang ngaku?" Pandan yang masih tetap tidak percaya pada penjelasan Denver, terus berupaya menyerang. Ia tidak mudah untuk dikibuli.
"Baik. Kamu mau percaya atau tidak, itu urusan kamu. Tidak masalah apapun pemikiran kamu. Itu hak kamu sepenuhnya. Kebodohan itu memang pilihan. Itu masalah kamu. Bukan masalah saya. Tapi bagaimana kamu menjelaskan soal ini semua?" Denver merogoh saku celana dan melemparkan ponsel Indah pada Pandan.
"Dan ini juga," Denver membuka tas slempang kecilnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat di sana." Tanpa melihat isinya pun Pandan sudah bisa menduga apa saja isi ponsel dan dokumen-dokumen di dalam amplop coklat itu. Tidak perlu orang jenius untuk menebaknya.
"Coba kamu bayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuamu, opa omamu, kakakmu dan orang-orang kerajaan Siam sana kalau dokumen-dokumen ini saya kirimkan kepada mereka. Apalagi video-video yang memperlihatkan kamu keluar masuk hotel dengan laki-laki yang berbeda-beda. Bagaimana Pandan Wangi Aditama Perkasa? Cucu kesayangan Albert Tjandrawinata. Cicit Yang Mulia Vasuthep Woralertluk dan keponakan Yang Mulia Jirayu Woralertluk?"
Denver tersenyum sinis. Ia tahu ia telah memenangkan peperangan kali ini. Ia telah mengikat kaki dan tangan Pandan dengan rantai tak kasat mata. Pandan memang bisa saja tidak memperdulikan apapun komentar orang-orang mengenai dirinya. Tetapi tidak dengan keluarga besarnya bukan? Istimewa dia ini cicit raja dan cucu keponakan raja di kerajaan Siam sana.
"Apa yang kamu inginkan dari saya?" tanya Pandan dingin. Ia sama sekali tidak takut pada Denver. Ia marah!
"Mendapatkan servis luar dalam dan menikmati aset luar biasa kamu, seperti yang kamu berikan kepada semua client-client saya yang telah berhasil kamu rebut. Bagaimana p*****r kecil. Deal or no deal?"