12. Bertahan.

1037 Words
Venus akhirnya berpikir, berulang kali hingga akhirnya ia memutuskan. Ia tidak tahu ini akan baik atau justru sebaliknya, tapi Venus harus melakukannya. Venus tidak akan lari lagi, apalagi mengorbankan pekerjaannya yang selama ini telah menyumbag kehidupan yang layak untuknya dan juga untuk Lila. Jika ia memilih pergi, bisa dipastikan kehidupannya akan kembali berantakan secara finansial tentu saja. Belum tentu juga Venus bisa membantu Selvi membiayai Kalila seperti sekarang ini. Venus tidak akan membiarkan lelaki itu mengambil ketentraman hidupnya selama ini. Pertemuan kali ini memang pertanda, bahwa ada bagian dari masalalu yang belum terselesaikan. Sudah saatnya mengumpulkan keberanian dan membuktikan pada Regan, bahwa ia bukan lagi wanita lemah seperti dulu. Ya, akhirnya Venus memutuskan untuk tidak berhenti bekerja. Dia akan tinggal dan tidak akan menghindar lagi. Kehadiran Regan bisa menjadi obat mimpi buruknya selama ini, dengan melihat sosok lelaki itu secara langsung, berdebat dan saling beradu argumen, mungkin saja bisa membuat Venus akhirnya menemukan dirinya sendiri. Mimpi buruk yang selama ini, akan dihadapi di dunia nyata. Bertarung secara langsung. Venus akan mengatasi detak jantung yang berpacu cepat, tangan yang bergetar dan keringat dingin saat berdekatan dengan Regan. Rima benar, ketakutan harus dihadapi bukan dihindari dengan begitu Venus bisa menyembuhkan luka di hatinya. Secara perlahan. Berbekal keberanian itu, Venus melangkah dengan penuh semangat seperti biasanya, bukan seperti beberapa minggu terakhir, saat Regan kembali mengacau. "Mbak Vee," Mega senantiasa berangkat lebih awal darinya dan menyambut Venus dengan senyum ceria. Jika saja dirinya memiliki sifat seperti Mega, mungkin Venus tidak akan merasakan pahitnya mengalami gangguan mental. "Udah sarapan?" Tanya Mega lagi, saat keduanya berjalan beriringan menuju lift. "Belum. Kamu?" "Aku bawa nasi kuning, mau? Sarapan nasi di pagi hari biar ngantuk." Mega tertawa sambil menunjukan kantong plastik berwarna putih di tangannya. "Nggak bakal habis sendiri, makan bareng-bareng ya?" Venus mengangguk. Kebetulan sekali pagi ini ia belum makan apapun di rumah. Hanya segelas air putih saja sebagai pengganti sarapan. "Selesai sarapan kita ke ruang kerjanya Pak Regan. Katanya dia mau tahu secara langsung konsep taman hiburan dan desain rumahnya. Padahal Pak Fadli sudah menjelaskan berulang kali, tapi dia masih saja meributkan masalah konsep. Heran." Gerutu Mega. "Kita kesana, setelah sarapan." Saat berhadapan dengan lelaki itu, Venus siap dan tidak akan lagi gemetar karena lapar. Mungkin gemetar karena hal lain bisa saja terjadi. Memang tidak ada waktu yang tepat untuk berhadapan dengan masa lalu, pilihannya hanya berani atau tidak. Dan kali ini Venus memilih untuk berani, padahal rasa takut masih saja menghantui pikirannya. Saat ini di dalam mobil yang sama, Venus, Regan dan Muti hendak menuju proyek utama yaitu taman bermain. Venus sempat menolak satu mobil bersama, tapi Regan menyarankan agar mereka tetap menggunakan satu mobil yang sama menuju lokasi proyek dengan alasan lebih efisien dan tidak memakan waktu lama. Venus mengalah tapi untuk urusan tempat duduk ia tidak akan mengalah lagi. Regan sudah membuka pintu penumpang tepat di samping kemudi, tapi Venus justru memilih duduk di bangku belakang dan menyeret Mega untuk duduk di depan bersebelahan dengan Regan. Kali ini berhasil apalagi Mega tipe wanita yang tidak akan menolak pesona lelaki tampan. Seperti dirinya dulu. Sesampainya di lokasi proyek, baik Venus maupun Regan keduanya sama-sama disibukan dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali mereka hanya diskusi untuk urusan pekerjaan, tidak ada bahasan lain. "Kita harus bicarakan lagi konsep ini dengan pihak kontraktor. Jangan sampai ada kesalahan yang membuat bangunan tidak kokoh apalagi sampai rawan roboh." Ucapnya. "Baik. Kami akan diskusi lagi selasa depan untuk membahas perihal konsep dan bahan-bahan material yang akan mereka gunakan nantinya." Balas Venus. Teriknya matahari di siang bolong membuat Venus dan yang lainnya ikut kepanasan, tidak terkecuali Regan. Sesekali lelaki itu mengusap keringat di kening, dan mengurai rambutnya ke belakang. "Sexy banget ya," Bisik Mega tepat di dekat telinga Venus. "Nggak usah nyangkal deh, Mbak Vee ketahuan ngelirik Pak Regan dari tadi." Mega menatap jahil. "Pesona duda memang nggak bisa ditolak ya Mbak. Cakep nya kelewatan, sexy lagi aduhh siang bolong gini disuguhkan yang seger-seger auto melek." Venus hanya menatap sekilas ke arah Mega dan kembali fokus pada kertas-kertas di tangannya. "Kita makan siang dimana? Pak Regan mau bareng kami?" Tanya Mega saat waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. "Mbak Vee, mau makan dimana?" Kali ini Mega menoleh ke arah Venus. "Aku makan disini aja. Kata pegawai konstruksi ada warteg dekat sini, kalau kalian mau makan di tempat lain silahkan. Aku disini aja." Ucap Venus, sambil berlalu meninggalkan Mega dan Regan. "Aku juga makan disini aja deh, Pak. Nggak jadi ikut Pak Regan makan di luar. Nggak enak sama Mbak Vee, masa makan sendirian." Regan mengangguk. Rencananya untuk mengajak Venus makan di tempat lain gagal, meskipun Regan harus tetap melibatkan Mega tapi ternyata tidak berhasil. Venus justru memilih makan bersama para pegawai konstruksi dan membeli makanan di dekat lokasi proyek. "Makanannya enak juga ya," Mega dan Venus duduk di bawah pohon dimana terdapat batu besar yang bisa mereka gunakan untuk duduk. "Enak murah lagi." BalaS Venus. "Sesekali nggak apa-apa makan seperti ini, nggak harus di cafe mahal terus." Lanjutnya. "Aku juga sering makan di warteg, Mbak. Jangan kira aku ini anak sosialita banget. Aku bisa ditempatkan dimana saja dalam keadaan apapun." Mega membanggakan diri karena ia bukan tipe wanita pemilih. "Lihat Pak Regan, dia kelihatan nggak nyaman makan dengan posisi seperti itu apalagi nasinya hanya beralaskan kertas nasi aja." Mega menunjuk ke arah Regan dimana lelaki itu terlihat tidak nyaman. Bukan hanya makanan tapi juga tempatnya. "Dia terbiasa makan di meja dengan berbagai jenis sendok dan tiga hidangan dalam satu kali makan jadi saat makan lesehan kayak gini pasti nggak bisa." Balas Venus. "Bener. Tapi kasihan juga lihatnya," Tiba-tina Mega beranjak dari tempat duduknya menuju ke arah Regan. "Pak Regan, makannya disini!" Mega melambaikan tangannya, mengisyaratkan Regan agar mendekat. "Disini aja makannya, tempatnya nyaman dan sejuk." Ucap Mega lagi saat Regan mendekat. "Pak Regan nggak nyaman makan di tempat seperti ini ya? Lagian kenapa nggak makan di tempat lain aja." "Siapa bilang nggak bisa. Ini bisa." Regan menunjuk porsi nasi yang tinggal separuh. "Mbak Vee bilang Pak Regan nggak bisa makan di tempat seperti ini." "Sok tau!" Ucapan Regan sambil tersenyum yang membuat Venus menoleh, tapi lelaki itu tidak peduli dan tetap menghabiskan makananya. "Setelah makan siang, kita langsung kembali ke kantor saja. Urusan di tempat ini sudah selesai." "Baik, Pak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD