“Ken!” Wahda berteriak sambil menangis. Ia menuju ruang ICU tanpa memakai APD. Satu per satu bed diamati, tetapi suaminya tidak ada. Ia lalu menuju meja para perawat. “Rumah sakit apa ini, hah? Bisa-bisanya membiarkan suami saya pergi tanpa persetujuan saya!” “Bu, jangan membuat rusuh di sini! Di sini banyak pasien yang butuh ketenangan!” “Pasien atas nama Kenrich! Bisa-bisanya kalian membiarkan dia dibawa pergi keluarganya sedangkan sejak masuk sini, saya yang bertanggung jawab atasnya.” Wahda tersedu-sedu di hadapan perawat. “Keluarga yang lain meminta pasien dipindahkan. Ya sudah, kami turuti. Mereka juga bukan orang lain, tapi orang tuanya. Wali yang lebih kuat.” “Kalau begitu, beri tahu saya ke mana suami saya dibawa pergi. Saya mohon.” Wahda mengatupkan kedua telapak tangan di

