Wahda terus mengurung diri di kamar sampai malam. Ia tidak keluar meskipun kamarnya terus digedor beberapa kali sejak sore tadi. Wanita itu marah, disalahkan atas apa yang sebenarnya dirinya sendiri pun bingung bagaimana harus bersikap. Sementara orang yang harusnya memberi kepastian tidak pernah menunjukkan sikap tegas dan pasti. Kenrich cenderung abai dan tidak peduli. Malah menyalahkan balik. “Wahda! Buka pintunya atau saya dobrak!” teriak seseorang dari luar disertai gedoran. Ini sudah yang kesekian kali. Wahda masih setia dengan diamnya. Ia di atas tempat tidur, menenggelamkan diri dalam selimut. Telinganya ditutup bantal agar tidak mendengar suara berisik dari luar lagi. “Wahda! Menjauh dari pintu!” pekik Kenrich lagi. Lalu, pintu terdengar bergerak-gerak disertai bunyi memekakka