3

838 Words
Mas Danu kembali pulang sore. Kami makan tanpa bicara. Lebih tepatnya, sejak ia pulang, sama sekali tak ada perbincangan. Aku yang biasanya lebih dulu menegur misal menanyakan mau dibuatkan kopi atau tidak, memilih langsung membuatkannya dengan mulut terkatup. Memang sengaja melakukannya untuk merangsang Mas Danu membuka percakapan. Namun, ia sama sekali tak bicara. Mulutnya terus bungkam. Sebenarnya, aku ini menikah dengan manusia atau benda, sih? Kok sama sekali tidak peka, ya? Aku memandangnya kesal. Sepertinya, aku harus bicara tho the point saja. "Tadi ibu datang, Mas. Ibu bilang, kenapa kita lama punya anak." Sungguh lega setelah mengucapkannya, namun sesudahnya, merasa sangat malu. Semoga dengan memberi embel-embel 'kata ibu' ia tak berprasangka aneh-aneh. Memang ibu menanyakan aku sudah hamil atau belum seminggu yang lalu. Mas Danu menatapku, lalu buru-buru meraih gelas tehnya, langsung meminumnya hingga kandas. "Kamu ingin kita melakukannya?" Tatapnya lekat. Aku tercengang. Dada bergemuruh hebat. Siapa yang tak syok ditodong langsung pertanyaan seperti itu? Bisakah melakukannya tanpa bertanya-tanya? Apakah si perempuan sebelum melakukan 'itu' selalu ditanyai begitu oleh pasangannya? Aku berusaha tak terlihat sedang salah tingkah. "Ibu yang menanyakannya tadi siang, bukan aku, Mas." "Tadi siang?" Mas Danu mengernyit. Ia menyuap makanan lalu melanjutkan, "tadi siang ibu ke studio bersama teman-temannya." Deg! Jantungku rasanya mau melompat dari rongganya. Wajahku memanas seketika. Aku menarik napas dalam, berusaha mengendurkan ketegangan. Mas Danu pasti berprasangka akulah yang menginginkannya. Sambil mencoba mengenyahkan perasaan malu, aku berkata, "Sebenarnya, sudah satu Minggu yang lalu ibu bilangnya. Tapi baru kusampaikan padamu." Ia mengerutkan kening. Memandang cukup lama. "Oh," ujarnya. Lalu, ia kembali melanjutkan makan. Perasaan malu terus bergumul di hatiku. Aku menyuap nasi sambil menunduk, berharap ia pergi lebih dulu. "Kamu ingin kita melakukannya?" "Apa?" tanyaku tanpa menatapnya. "Punya anak." Hening cukup lama. Dengan tubuh terasa panas dingin aku mendongak, langsung mendapati sepasang matanya yang menatap tajam. Aku menggigit bibir. Mengangguk, tentu akan membuatku sangat malu. Apalagi jika ternyata ia tak menginginkan itu. Akhirnya, alih-alih menjawab, aku malah melontarkan pertanyaan baru. "Kamu sendiri bagaimana?" Ia terdiam cukup lama. Aku menelan ludah. Butuh berpikir lama menjawabnya. Apakah gadis bernama Syafitri itu lebih penting? Mataku terasa memanas. Aku mencoba menguatkan hati. "Jangan menangis, Li. Jangan." "Ayo bulan madu." Aku refleks memandangnya. "Aku sudah pesan resort. Besok pagi kita berangkat ke Jakarta." Aku menatapnya kesal. Apa ia sungguh tak bisa mengatakannya lebih dulu? Mungkin, jika aku bisa menahan diri, ia pasti sudah mengatakan akan mengajak bulan madu. Aku sungguh menyesal, tapi sudah telanjur. Cepat kusantap makananku lalu berlalu meninggalkannya tanpa kata. Haruskah besok-besok tak usah berkata apa-apa biar ia berinisiatif membuka perbincangan lebih dulu? Aku mengangguk, sepertinya, aku harus sedikit jual mahal mulai dari sekarang. Harus. *** Perjalanan dari Lampung ke Jakarta sungguh melelahkan. Sepanjang jalan, aku lebih banyak tidur. Mulai benar-benar menikmati perjalanan saat mobil yang dikendarai Mas Danu melewati Serang. Aku asyik memerhatikan gedung-gedung tinggi, tak mempedulikan Mas Danu yang sesekali menoleh lalu mengernyit heran. Aku menurunkan kaca jendela saat mobil memasuki kawasan resort. Ada sebuah patung putri duyung yang mengenakan kemben, di bawahnya, terlihat beberapa orang sedang berselfi ria. Mas Danu segera turun di salah satu bangunan dan kembali masuk tak lama kemudian. Mobil kembali melaju, melewati bangunan-banguban bernuansa alam dan akhirnya berhenti disalah satu bangunan unik berbentuk kapal. "Turun," ucapnya sambil membuka pintu mobil. Aku segera turun, menoleh ke sana-kemari memerhatikan sekitar dengan takjub. Pantai tampak berkilauan oleh lampu warna-warni. Setibanya di kamar, aku langsung merebah di kasur yang empuk. Sementara Mas Danu menuju kamar mandi. "Tidak mandi?" Ia keluar dengan jubah mandi. Wajahnya terlihat segar setelah keramas. Aku langsung beranjak bangun. "Mandi, aku gak sejorok itu." Ia tak menjawab, hanya menyisir rambutnya lalu duduk di dekat jendela. Aku segera masuk kamar mandi. Apa setelah ini kami akan melakukan 'itu? Bagaimana cara memulainya? Ia, atau aku yang harus bergerak lebih dulu? Duuh. Dadaku semakin berdebar keras membayangkan yang tidak-tidak. Ketukan di pintu membuatku segera menyudahi aktifitas mandi. Mas Danu sudah berganti baju. Mengenakan kaus merah terang yang membuat tubuhnya terlihat atletis serta jins di bawah lutut. "Kamu tidak lapar? Aku menunggumu dari tadi." "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Merasa sedikit malu karena sempat membayangkan yang tidak-tidak. Mas Danu benar, kita harus makan malam dulu. Aku memilih satu baju dalam tas, segera membalikkan badan untuk menuju ke kamar mandi. "Bukannya kamu ingin memulainya?" "Maksudnya?" Aku menatapnya tak mengerti. "Kenapa mau ganti baju di kamar mandi? Bukanya kamu ingin memulai berhubungan lebih jauh denganku?" Aku menelan ludah. Ini kalimat terpanjang darinya. Sekaligus kalimat yang tak berperasaan. "Iya, tapi ...." "Kenapa? Malu?" Iih, dia ini manusia atau bukan, sih. Hal sepele yang sudah pasti jawabannya saja harus ditanyakan. Sepertinya ia benar-benar harus diruwat. "Makanya kemarin aku tanya, apa kamu serius ingin melakukannya?" Mas Danu menatapku lekat. Aku mengenakan jubah mandi, tapi merasa ditelanjangi. Sungguh rasanya tidak nyaman sekali. Jantung tiba-tiba berdetak cepat. Baiklah, aku memejamkan mata. Toh, mengenakan dalaman. Satu. Dua. Tiga. Aku sangat berharap lelaki tak peka itu berpaling, tapi nyatanya, tatapan Mas Danu tetap lekat ke sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD