4

1130 Words
Baiklah, aku memejamkan mata. Toh, mengenakan beha dan celana dalam. Satu. Dua. Tiga. Aku sangat berharap lelaki tak peka itu berpaling, tapi nyatanya tatapannya tetap terpahat ke sini. Tidak punya pilihan, akhirnya kulepas jubah mandi sambil menepis perasaan malu yang semakin menggila. Dadaku bergemuruh saat ia berjalan mendekat, menekan saklar lampu, lalu tangannya membungkus tubuhku dari belakang. "Bukanya kamu ingin kita makan dulu?" tanyaku dengan suara bergetar. Perasaanku bergejolak hebat. Tidak pernah sedekat ini dengan dengan lelaki. "Nanti saja. Tinggal telepon." Kami bersitatap dalam keremangan. Ia membalik tubuhku menghadapnya, lalu mengecup keningku lembut. Aku memejamkan mata, merasai desir aneh yang menjalari seluruh tubuh. "Syafitri ...." Aku menelan ludah. Perasaan sakit menyeruak menusuk dada. Air mata terasa bergulir membasahi pipi. Namun, aku sama sekali tak memberontak. Kubiarkan saja ia melakukan kewajibannya sebagai suami. Tak peduli hati dan perasaan sama sakitnya. Sangat-sangat sakit. *** Aku menggeliat sambil membuka mata saat usapan lembut terasa di bahu. Wajah Mas Danu masih basah. Air menetes dari rambutnya, jatuh mengenai wajahku yang segera ia seka dengan ibu jarinya. Aku sedikit mengernyit saat silau matahari dari jendela yang terbuka lebar mengenai mata lalu perlahan bangun, nyaris tersenyum untuk mengucap selamat pagi jika tak segera ingat kejadian semalam. "Ingin makan di resort atau di luar?" tanyanya, memandang tepat ke manik mataku. Tatapannya seperti semalam, membuat hatiku kembali berdenyar sakit. "Terserah." Aku menjawab pelan. "Apa?" Tenggorokanku tercekat. Tatapan Mas Danu terlihat bersalah, membuatku jadi ingin menangis saja. Apa semalam ia melakukannya karena terpaksa? Dengan membayangkan sang istri sebagai gadis lain? Hatiku bagai dicacah-cacah. Aku menggigit bibir lalu berpaling, mencoba menahan tangis. "Kamu segera mandi. Lebih baik kita sarapan di luar saja. Sekalian jalan-jalan." "Ya." Aku meraih selimut untuk menutupi tubuh lalu berlari ke kamar mandi sambil menangis, menyalakan kran, kemudian meluapkan kekesalan dengan terisak kencang di bawah guyuran air hangat. Sedih, kesal, marah, semua emosi membaur menjadi satu, membuat dada seperti ditekan benda berat, rasanya terasa berat sampai sulit bernapas. Mas Danu mengenakan kaus yang semalam hanya ia pakai sebentar sebelum kami membaur menjadi satu lalu ketiduran hingga melewatkan makan malam. Aku meraih baju dalam tas, lekas membawanya menuju kamar mandi tanpa memedulikan tatapan protesnya. Kenapa aku harus menuruti kemauannya sementara ia membayangkan sang istri sebagai gadis lain? Teringat ia menyebut gadis lain, membuatku merasa sangat kesal. "Ayo." Aku tak menyahut. Ia meraih tanganku, menggandengnya menuju pantai. Sepanjang jalan, tatapanku sesekali terpatri pada tangan kami yang bertaut. Ini pertama kalinya sejak 6 bulan menikah. Apa Mas Danu melakukannya karena merasa bersalah? Sungguh, aku tak suka perasaan terbebani seperti ini. Perhatian pura-pura, juga perasaan bersalahnya. Sungguh tak menyukainya. Tidak menginginkannya. Mas Danu pergi untuk memesan makanan sementara aku memilih langsung duduk di kursi menghadap laut. Beberapa orang tampak hilir mudik. Ada yang hanya berjalan-jalan pelan memandang ke arah laut lepas, ada pula yang berlari-lari kecil. Beberapa anak kecil tampak berenang di tepi pantai, tertawa riang saat ombak kecil membelai tubuh kecilnya. Mereka semua tampak bahagia. Bukankah seharusnya aku pun begitu? Aku menarik napas dalam, mencoba mengusir sesak yang sejak tadi membebani dada. Lupakan saja, Li. Dengan bergulirnya waktu, semua pasti berlalu. Hanya perlu membuatnya mencintaimu. Hanya mencintaimu. Kataku berulang-ulang untuk menyingkirkan kepedihan. Mas Danu datang membawa kelapa muda yang hanya dikupas sedikit dan diberi lubang dibagian atas, diberi dua sedotan yang menghadap berlawanan arah. Ia meletakkan kelapa itu di meja lalu menggeser kursi lebih dekat denganku. Berpangku tangan, mengamatiku dalam diam. Aku memilih memandang laut lepas, pada ombak yang bergulung menerjang pantai. "Sebentar lagi pesanan diantarkan." "Ya." Aku memandangnya. Hening cukup lama. Sudah kuputuskan aku tak mau memulainya bicara sebelum ia meminta maaf. "Tidak haus?" "Gak." "Kamu ingin kita jalan-jalan ke mana?" "Terserah." Hening lagi. Sampai pesanan diantarkan, kami tetap saling diam. Segera menyelesaikan sarapan lalu berjalan bersisian di tepi pantai. Aku sengaja melepas sandal agar bisa merasakan lembutnya pasir putih saat terinjak telapak kaki. Sesekali, merentangkan tangan sambil menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Aku nyaris melompat saat tiba-tiba Mas Danu melingkarkan tangan di pinggangku yang ramping, tangannya terjulur ke arah bebatuan. "Ke sana." Aku mengikutinya tanpa protes. Di depan mata, terhampar batu-batu dengan kerang-kerang kecil berwarna hijau. Aku membungkuk, meraihnya satu. Mas Danu melepas tangannya, perlahan duduk di salah satu batu besar. "Kamu pernah memakannya?" Ia memandangku, lalu tatapannya jatuh pada ribuan kerang yang melekat kuat pada batu. Ombak kecil sesekali membentur bebatuan, menciptakan riak kecil yang indah. "Di desa mana ada!" Nadaku sedikit meninggi. Kejadian semalam masih membuatku kesal bukan main. "Besok kita keliling Jakarta, sekalian beli." Aku hanya mengangguk kecil. Daripada berpandangan dengannya yang membuat dada bergemuruh sekaligus jengkel, aku memilih memerhatikan kerang-kerang. Sepi. Hanya debur ombak dan suara orang dari kejauhan yang menemani kebisuan kami. Lama-lama, aku tak tahan juga. Sudahlah, Li. Lupakan saja yang semalam. Manusia tempatnya khilaf. Dia sudah banyak perubahan begini, tak lagi irit kata. Aku menarik napas panjang, membuangnya pelan. Allah saja pemaaf, kenapa aku tidak? Baiklah. Lupakan saja yang semalam. "Mas udah sering ke sini?" Aku menatapnya canggung. Ia langsung mengangguk. "Lumayan sering. Aku suka pantai. Juga suka jalan-jalan." "Oh." Aku mengembuskan napas. Bingung mau berkata apa lagi. "Tapi, ini pertama kalinya ke sini bersama perempuan." Ia menoleh, tersenyum kecil. Ini pertama kalinya. Hening lagi. Mas Danu berdiri. "Ayo ke Dufan." Aku mengiyakan, lekas berjalan di sampingnya dengan langkah pelan. Dan segera berpaling saat tak sengaja bertatapan. Kenapa hanya hal ringan seperti ini begitu membuat grogi? Santai, Li. Jangan tegang. Sayup terdengar jeritan orang-orang. Semakin lama semakin keras. Mas Danu segera membeli tiket lalu menggandengku masuk, menuju permainan berupa perahu besar yang bergoyang ke sana ke mari. Orang yang menaikinya tampak menjerit-jerit histeris. "Berani, kan?" "Tentu." Aku menjawab cepat. Begitu permainan itu berhenti dan orang-orang yang menaikinya turun, aku dan Mas Danu lekas naik yang segera disusul pengunjung lain. Saat kapal ini mulai mengayun pelan, tiba-tiba Mas Danu menggenggam tanganku. Aku menoleh. Kami bersitatap. "Terima kasih, sudah mau bertahan bersamaku." Aku menarik napas, merasai debar aneh dalam dada. Tatapan matanya yang terlihat tulus, apakah itu buatku? "Terima kasih tidak meninggalkankanku." Satu tanganku mencengkeram erat pegangan saat ayunan perahu semakin kencang. Mas Danu melakukan hal yang sama dengan satu tangannya masih membungkus tanganku. Begitu turun, kami langsung menaiki permainan halilintar, terus berganti ke permainan lain sampai tahu-tahu sudah sore. Kami memutuskan kembali ke penginapan, berjalan bergandengan sambil menikmati semilir angin laut. Begitu sampai langsung mandi berdua di bathtub, bergantian menggosokkan badan. Rasanya seperti ... benar-benar seperti pengantin baru. "Kamu ingin makan di sini saja atau keluar?" Ia memandangku sambil mengganti baju. "Pengen keluar. Aku penasaran ingin naik busway yang sering kulihat di TV itu." Ia mengangguk. Memosisikan tubuh menghadap kiblat, lalu menjalankan salat magrib dengan aku sebagai makmun. Ternyata, berbeda rasanya salat sendiri. Rasanya ... aku begitu hidup, sungguh membuat hati diluapi perasaan bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD