Satria baru saja tiba di hotel di mana acara resepsi pernikahan adiknya masih digelar. Menjelang sore tadi pengunjung cafenya tiba-tiba saja membludak sehingga dia harus membantu pegawainya, sehingga membuatnya datang kembali ke hotel saat hari sudah gelap.
Pria itu melangkah ke dalam lobi dan langsung naik lift yang kebetulan sedang terbuka. Dia menekan angka lima di mana ballroom hotel berada.
Suasana acara pernikahan Bima masih meriah, banyak tamu dari rekan bisnisnya yang hadir dari luar kota maupun luar negri. Satria memilih menyingkirkan dirinya ke bagian sudut ruangan.
“Satria dari mana?”
Satria memasang senyum segaris pada ibunya yang berhasil menemukannya.
“Dari cafe ada yang urgent tadi," katanya seperti yang dia katakan pada Bima.
“Mama senang kamu datang kembali. Jangan ke mana-mana, ya!”
“Oke!”
Karina lantas kembali bergabung dengan tamu sosialitanya. Sementara Satria mengambil minuman di meja bar yang tersedia.
Satria berdiri bersandar pada meja bar sembari menyesap sampanye-nya. Matanya memindai tamu-tamu adiknya yang hadir pada malam hari ini. Ada yang dia cari, alasan yang membuat dirinya kembali datang ke sini.
Lalu, matanya melihat seorang yang dia ingat adalah suami dari wanita yang sampai saat ini masih merajai hatinya.
“Samuel,” gumamnya.
Pria berwajah oriental itu berdiri tidak jauh darinya dan sedang bersama rekan-rekan bisnisnya saling mengobrol. Satria tidak melihat wanita itu bersamanya. Entah karena kebetulan atau apa, pandangan Samuel tertuju ke arahnya dan membuat tatapan mereka saling bertemu. Pria itu melempar senyum ramah pada Satria. Satria pun mengangkat gelasnya ke arah pria itu.
Selang beberapa menit kemudian dua pria itu sudah duduk bersebelahan di depan meja bar.
“Kapan tiba?” tanya Samuel mengawali percakapan mereka setelah hening beberapa menit lalu.
“Dua hari lalu.”
Samuel manggut-manggut.
“Bagaimana kabar dia?” tanya Satria.
“Syera baik-baik saja. Tadinya dia akan datang ke sini, mendadak anak kedua kami demam sehingga dia batal datang dan meminta saya untuk pergi sendiri saja.”
“Berapa anak kalian?” tanya Satria spontan. Walau sebenarnya dia sudah mengetahuinya.
“Dua. Laki-laki dan perempuan.”
Samuel merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan sebuah foto pada Satria.
Satria tersenyum melihat dua wajah yang sangat menggemaskan itu.
“Mereka sangat menggemaskan," ucap Satria.
“Terima kasih.”
Samuel menyesap minumannya.
“Aku senang dia memilih menikah denganmu,” ucap Satria lagi. “Aku tidak yakin bisa membahagiakannya seperti yang kamu lakukan untuknya.”
Samuel hanya menatap lurus ke depan pada botol-botol anggur yang berjejer.
“Sudah lima tahun berlalu, seharusnya kamu menemukan bahagiamu,” ujar Samuel. Pria itu bisa menebak kalau Satria belum bisa melepaskan Syera dari hatinya.
“Yeah, aku mengusahakannya ...”
Samuel membuang napas panjang. Lalu dia memutar tubuhnya ke arah Satria dan mengulurkan tangan. Satria pun menyambut uluran tangan pria itu.
“Senang bertemu denganmu, saya akan menyampaikan salam mu untuknya.”
”Terima kasih, senang jumpa denganmu juga.”
Samuel turun dari kursi bar dan melangkah menjauh hingga sosoknya menghilang dari pandangan Satria.
Satria kembali memutar tubuhnya memesan minumannya lagi.
“Berikan aku Vodka!”
Satria menoleh ke sebelahnya dan mendapati seorang gadis bergaun Hitam dengan rambut panjang sepinggang. Matanya memindai tubuh gadis itu yang terlihat sangat seksi menurutnya.
“Silakan, Nona.” Seorang bartender meletakan satu gelas minuman di hadapan gadis itu.
Gadis itu naik ke atas kursi bar dan langsung menenggak minumannya hingga tandas. Satria hanya memperhatikan tingkah laku gadis itu dengan raut mengernyit.
“Berikan lagi!” titah gadis itu.
“Kau mau mabuk di acara resepsi pernikahan orang lain?” tegur Satria.
Mendengar teguran dari orang yang duduk di sebelahnya, sontak membuat gadis itu menoleh.
“Aku tidak akan membuat masalah. Bila itu yang kau khawatirkan," balasnya ketus.
Satria tertawa tertahan.
“Aku hanya khawatir kau terbangun esok hari dengan wajah malu karena telah membuat kekacauan di acara orang lain. Belum lagi kau akan viral di media sosial akibat ulahmu sendiri.”
“Aku akan menanggung itu semua. Puas?!”
Satria menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Sementara gadis yang tidak lain adalah Sabrina itu kembali menenggak minumannya yang ketiga.
Setelah menghabiskan minumannya yang kelima gadis itu turun dari kursi bar dan terhuyung hampir terjatuh, Satria secara refleks menahan tubuhnya hingga gadis itu tetap berdiri dan bersandar padanya.
“Oh, terima kasih,” ujar Sabrina dengan suara parau.
“Sama-sama. Aku akan antar kau keluar dari sini,” balas Satria sembari memapah gadis itu.
Sabrina tertawa cekikikan. “Rupanya kau baik juga.”
Satria hanya berdehem.
“Aku tau apa yang kau inginkan,” katanya.
“Apa?” sahut Satria. Saat ini dia berhasil membawa gadis itu keluar dari ballroom dan akan menuju lift untuk turun.
“Kau pikir aku mabuk? Salah! Aku masih sadar sepenuhnya ...!”
“Ya, aku bisa melihatnya,” balas Satria sekenanya.
Mereka sudah berada di dalam lift yang kebetulan kosong hanya ada mereka berdua. Gadis itu segera menekan angka lantai tujuh dan membuat Satria mengernyitkan dahi lagi.
Keduanya bertatapan.
“Kau tampan," ucap Sabrina sembari membelai rahang Satria yang sedikit kasar.
“Terima kasih, Nona. Kau mabuk.”
“Sudah kubilang aku tidak mabuk!” katanya merajuk kesal.
“Oh, tentu.”
“Aku bisa memuaskanmu.” Wajah gadis itu tersenyum nakal.
Satria terdiam sejenak, lalu melirik ke arah gadis asing itu. Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka di lantai tujuh.
Sabrina lantas menarik tangan Satria untuk mengikutinya. Mereka melewati koridor kamar hotel yang sepi. Hingga mereka tiba di depan sebuah kamar yang diyakini adalah kamar Sabrina. Satria langsung mendorong gadis itu ke pintu dan menciumnya kasar.
“Kau telah membangunkan singa yang tertidur, Nona," ucapnya dingin setelah mereka melepas tautan bibirnya.
“Ah!”
Gadis itu terpekik ketika Satria mengangkat tubuhnya setelah berhasil membuka pintu kamar hotel.
Di kamar hotel.
Suara desah dan erangan terdengar memenuhi ruangan kamar tersebut. Sepasang insan manusia tengah bergumul di atas ranjang dengan deru napas yang memburu.
Sabrina melingkarkan tangannya pada pundak pria yang belum dikenalnya itu. Napasnya memburu bersamaan dengan suara desah kenikmatan yang lolos dari bibirnya.
Satria membelai punggung Sabrina sembari terus meremas b****g gadis itu yang bergoyang di atas pangkuannya. Keduanya kembali berciuman ketika wajah mereka saling berhadapan. Sabrina menjambak rambut belakang Satria, ciumannya sangat kasar dan penuh gairah seolah dia meluapkan semua emosinya pada pria itu.
Tubuh Sabrina melenting ke belakang tatkala dia mencapai klimaksnya. Satria pun merebahkan tubuh gadis itu dan kembali menghujamkan miliknya. Hingga akhirnya dia pun ambruk di atas tubuh gadis itu setelah mendapatkan pelepasannya.
Napas keduanya saling memburu usai percintaan panas mereka yang kali kedua pada malam itu.
Keesokan paginya.
Pagi itu, Satria terbangun sendirian di atas ranjang kamar hotel. Matanya memindai ruangan itu dan tidak menemukan gadis yang tadi malam berbagi peluh dengannya. Dia menebak kalau gadis berambut panjang sepinggang itu sudah pergi sebelum dia terjaga. Dan yang lebih menyebalkannya adalah mereka belum berkenalan.
Satria pun beranjak dari ranjang sembari melilitkan selimut pada pinggulnya. Sontak saja matanya tertuju pada sprei yang terdapat bercak merah dan membuatnya tertegun.
“s**t!” Pria itu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah membersihkan diri, Satria pun keluar dari kamar tersebut dan menuju lobi hotel. Dia akan pulang ke apartemennya.
***
Sabrina terduduk di atas lantai kamar mandi dengan ribuan air shower yang membasahi tubuhnya. Air matanya tersamarkan oleh guyuran air. Dia menyesali dirinya yang dengan mudah tidur bersama laki-laki asing. Seharusnya dia tidak mabuk dan menjerumuskan dirinya dalam limbah kemaksiatan.
“Ini semua karena kakak adik Pratama sialan!” desisnya.
“Sabrina! Kamu di dalam, Nak?”
Terdengar suara panggilan dari luar disertai dengan suara ketukan.
“Iya, Pa! Sebentar!”
Gadis itu menyudahi mandinya. Sabrina mengambil bathrobe dan melangkah ke lemari untuk mencari pakaian. Saat mengambil baju yang akan dikenakannya, kemudian dia mengingat sesuatu apa yang dikatakan oleh temannya. Dia ingat percakapan mereka beberapa bulan lalu yang diabaikan oleh Alia, sehingga gadis itu hamil.
Sabrina pun mengambil ponselnya dan mulai mengetikan sesuatu di internet. Tanpa menunggu lama, dia mendapatkan apa yang dicarinya. Dia harus meminum obat itu sebelum tujuh puluh dua jam atau minimal dua belas jam setelah berhubungan intim.
Dia sudah berpakaian lengkap, dan keluar dari kamar.
“Sabrina, sarapan!” panggil ayahnya.
Gadis itu pun menghampiri sang ayah yang berada di meja makan, lalu menarik kursi dan duduk di atasnya.
“Bagaimana acaranya kemarin?” tanya Seno, ayahnya.
“Lancar, kenapa kemarin papa gak datang?”
“Papa baru pulang kemarin sore, dan kelelahan.”
Sabrina tertawa kecil. Ayahnya itu sering bepergian ke luar kota mengurusi perusahaan keluarga Pratama, karena ayahnya sebagai orang kepercayaan Erlangga Pratama, pemilik tunggal Pratama Group.
“Oh, ya! Maaf, Pa, Saby harus pergi ada sesuatu yang harus diurus,” katanya seraya beranjak dari duduknya setelah menyesap habis teh buatan sang ayah.
“Oke. Mungkin siang ini papa mau keluar ada acara dengan Pak Erlan.”
“Sungguh?!” tanya Sabrina tak percaya.
“Ya, kenapa kamu terlihat mengejek papa?”
“Mungkin Papa harus menyewa dokter pribadi agar selalu fit seperti Pak Erlan.”
Seno mengibaskan tangannya. Sementara Sabrina kembali terkikik geli.
Sabrina sudah meninggalkan rumah dengan menggunakan ojek online. Dia harus segera ke apotek untuk mencari obat yang dia maksud. Sabrina harus mengunjungi beberapa apotek untuk mendapatkan obat tersebut tanpa memakai resep dokter, belum lagi dia mendapat tatapan sinis dari si apotekernya.
Hingga di apotek kelima dia baru bisa mendapatkan obat yang dia inginkan disertai dengan alasan kalau dia baru saja menjadi korban perkosaan. Kali ini bukan tatapan sinis yang dia dapatkan melainkan tatapan iba. Sabrina tidak peduli.