”Al, ini.” Seorang gadis menyerahkan tisu kepada Alia, si mempelai wanita. Saat ini mereka masih berada di kamar hotel menunggu acara akad nikah yang akan dimulai sebentar lagi.
Hari ini adalah akad nikah dan resepsi pernikahan Bima dan Alia yang digelar di sebuah hotel berbintang. Seluruh anggota keluarga dari pihak perempuan sudah berada di hotel sejak kemarin.
“Gimana perut kamu, Al, masih mual?” tanya gadis itu yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.
“Sedikit lebih baik, Sab.” Alia mengusap perutnya. Janinnya sudah berusia delapan Minggu dan dia masih merasakan mual parah. Dia berharap satu hari ini baik-baik saja selama acara berlangsung.
Sabrina merendahkan tubuhnya tepat di depan Alia yang sudah berpakaian anggun untuk acara akad.
”Kamu cantik, Al,” pujinya pada temannya itu.
Alia tersenyum malu. “Kamu juga, Sab. Kapan nyusul?”
Keduanya tertawa.
“Aku mesti kuat mental kalau ditanya seperti itu.”
Alia mengusap lengan Sabrina lembut. Dia tahu, kalau tunangan temannya itu belum siap untuk ke jenjang yang lebih serius, karena masih sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Padahal mereka sudah berpacaran selama dua tahun.
“Dia gak bisa dateng dan cuma nitip. Gak apa-apa, kan?” tanya Sabrina.
“Gak apa-apa, yang aku kasihan itu kamu. Punya pacar tapi ke mana-mana selalu sendirian, mending jomblo aja sekalian.”
“Hush!”
Lagi-lagi keduanya tertawa.
Keduanya menoleh ke arah pintu di mana Anna, ibunda Alia baru saja masuk yang di susul oleh adik bungsu Alia.
“Acaranya sudah mau di mulai, hayuk!”
“Bima sama keluarganya sudah datang, Ma?” tanya Alia.
Anna mengangguk.
Sabrina membantu Alia untuk bangkit berdiri. Kemudian mereka pun berjalan saling mengapit di kedua sisi Alia.
Selang satu jam kemudian, Bima dan Alia sudah sah menjadi pasangan suami istri di hadapan para saksi. Satria pun turut hadir di acara akad tersebut dengan mengenakan kemeja berwarna hitam di padukan dengan celana jeans yang berwarna senada.
Sejak awal acara, Meira selalu menempel pada kakak sulungnya itu. Hingga Satria merasa risih sendiri.
“Mana pacar kamu, Mei, katanya mau dikenalin?” tagih Satria ketika ingat kalau adiknya itu akan membawa kekasihnya di acara Bima.
“Nanti pas acara resepsi, Abang jangan ke mana-mana pokoknya!” balas Meira memperingati kakaknya.
Satria tertawa saja mendapat peringatan dari adiknya.
“Sebentar, Abang tunggu di sini ya, aku mau ke sana," kata gadis itu sembari menunjuk ke arah meja tamu lain.
Tanpa menunggu balasan dari Satria, Meira sudah melangkah menjauh dari tempat kakaknya duduk.
Bukannya mengindahkan perkataan adiknya, Satria malah bangkit dari duduknya dan berniat untuk meninggalkan hotel. Dia berencana akan ke cafe, sebentar dan kembali ke hotel saat sore hari nanti. Acara resepsi ini berlangsung hingga pukul delapan malam.
Satria menghampiri Bima yang sedang duduk bersama istrinya.
“Bim, gue ke cafe sebentar ada yang urgent,” katanya berbisik.
“Serius?”
“Beneran, nanti gue balik lagi.”
“Oke kalo begitu.”
Satria pun mengangguk pada Alia, lalu berjalan keluar dari ballroom. Tanpa sengaja dia bertabrakan dengan seorang perempuan, karena banyaknya orang yang berlalu lalang di ruangan yang luas itu.
“Aw!” Gadis itu meringis karena pundaknya bertabrakan.
”Sorry!” katanya sambil lalu tanpa menoleh ke orang yang ditabraknya.
Selang beberapa menit kemudian, Satria sudah berada di cafenya. Suasana di cafe saat ini tidak terlalu ramai dan tidak sepi juga. Suara musik mengalun lembut mengisi ketenangan di dalam ruangan.
“Bukannya adek lo nikah, kok, malah ke sini?” tegur Ario begitu melihat bosnya muncul di depan meja bar.
“Males lah, banyak tamu sesepuh. Nanti malam aja gue balik,” katanya.
”Bilang aja takut ditanya kapan nyusul?” ejek Ario yang disertai cekikikan.
Satria melempar tisu yang sudah diremas-remas ke arah Ario dan tepat mengenai bahunya.
“Lo gak ke sana?” tanya Satria.
“Nanti bareng lo aja.”
Satria mengangkat ibu jarinya ke arah asistennya itu.
***
“Apa maksudnya kamu mengirimkan foto itu?” tanya Sabrina di telepon. Dia baru saja mendapat pesan gambar yang berisi sebuah foto tunangannya bersama perempuan lain.
“Foto yang mana, Sab? Aku tidak merasa mengirimi mu foto. Kirim padaku seperti apa fotonya!” titah Rayhan di seberang sana.
Sabrina pun mengirim ulang foto yang dia dapat dari nomor asing ke nomor Rayhan.
“Pantas saja kamu tidak mau pulang karena di sana sedang bermesraan dengan perempuan lain," ucapnya sinis.
“Astaga!”
Napas gadis itu kembang kempis mendengar seruan dari tunangannya.
“Jadi, itu benar?! Kamu jahat, Ray!”
“Sab aku bisa jelaskan! Sab!"
Sabrina mematikan sambungan teleponnya secara sepihak dan tidak mau mendengarkan penjelasan Rayhan yang hanya akan membela diri. Dia memejamkan matanya menahan sesak di dadanya. Dia tak percaya kalau tunangannya bisa berbuat jahat seperti itu padanya. Padahal di sini dia sudah berusaha menjaga hatinya.
Acara resepsi pernikahan sahabatnya masih berlangsung meriah hingga malam, Sabrina pun memutuskan berganti pakaian di kamar hotelnya. Dia berencana untuk pulang saja, karena suasana hatinya yang berubah buruk.
Sehabis mandi, Sabrina membuka travel bag mencoba mengeluarkan dress putih tulang yang sudah dia siapkan dari rumah. Namun, dia tidak menemukannya.
“Ke mana, ya?”
Matanya memindai ke atas ranjang, kalau-kalau saja dia lupa sudah mengeluarkannya atau belum.
Lalu tangannya mengeluarkan segala isi dalam tasnya dan dia tidak menemukan dress yang dia cari. Hingga matanya melirik ke arah lemari dan terkejut begitu melihat sebuah dress berwarna hitam tergantung di sana. Dia tidak tahu dress itu milik siapa, karena sejak dia datang ke sini dress itu tidak ada. Akhirnya tanpa berpikir panjang dia mengambil dress itu dan memakainya. Lagi pula hanya itu yang bisa dia pakai sedangkan yang lain hanya pakaian tidur dan sisanya sudah beraroma keringat. Tidak mungkin dia memakainya lagi.
Sabrina selesai mengenakan dress hitam yang tampak mengetat di tubuhnya dan membuatnya sedikit tidak nyaman. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai indah di punggungnya. Setelah itu dia memoles wajahnya dengan make up minimalis yang terlihat sangat santai tetapi terkesan elegan.
“Aku tidak akan lama-lama karena aku akan segera pulang,” katanya pada pantulan dirinya di dalam cermin. ”Lihat pakaianmu! Kau mirip w*************a, Sab!”
Sabrina pun bergegas keluar dari kamar hotelnya, kemudian dia menuju lift untuk turun ke lantai lima di mana acara pernikahan sahabatnya masih berlangsung.
Di dalam lift dia sering kali menarik roknya ke bawah agar tidak terlalu naik dan memamerkan pahanya. Dress-nya benar-benar menyiksanya.
Sabrina tiba di ballroom dan di sana masih banyak tamu yang datang. Sabrina pikir tidak akan ada yang memperhatikan dirinya, sehingga dia nekat saja menemui Alia untuk berpamitan. Namun, di tengah ruangan dia bertemu dengan Indah, ibunda Rayhan, yang datang bersama Reva, kakak Rayhan.
“Sabrina dari tadi mama cariin, dari mana aja?” tanya Indah sembari memegangi tangan Sabrina.
“Saby habis dari kamar, Ma. Mama baru datang? Sudah makan?” tanya Sabrina berbalik.
“Sudah dari tadi, Sab. Kamu sudah makan?” tanya Indah lagi. Wanita itu memang sangat perhatian padanya dan sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
“Sudah, Ma.”
“Ayo, kita ke sana!” ajak Indah ke arah sebuah meja yang berisi tamu undangan. Reva mengekor di belakangnya.
Mereka duduk bersama di sana, sampai akhirnya Indah menghampiri teman-temannya dan meninggalkan Sabrina dengan Reva.
“Kamu mirip wanita PSK saja berpakaian seperti itu, Sab.”
Tepat seperti yang Sabrina duga kalau Reva akan mengatakan hal seperti itu pada dirinya.
”Memalukan! Bagaimana bila Rayhan melihatmu datang ke acara pernikahan sahabatmu dengan pakaian murahan seperti itu. Pasti dia akan murka!” Reva berkata lagi.
Sabrina merasakan gejolak emosi di dadanya yang mulai mendidih. Tapi, dia sadar ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk melawan Reva, wanita yang sejak lama tidak pernah menyukainya.
“Sepertinya ada yang menjebak aku di sini," balas Sabrina masih mencoba bersikap tenang.
Terdengar suara tawa yang keluar dari mulut Reva. Menertawakan dirinya.
“Kamu pikir kamu itu siapa, Sab?! Lagian ada ya, orang yang kurang kerjaan mau ngejebak kamu, heh!” tuding Reva mencemooh.
Sabrina tidak menanggapi hinaan yang terlontar dari bibir Reva. Dia sudah cukup banyak menelan ucapan tajam dari wanita itu mengenai dirinya.
“Mendingan kamu balik ke kamar atau pulang saja, dari pada kamu bikin malu di sini, Sab. Apa kata teman-teman Rayhan kalau mereka lihat kamu kayak cewek bordil begini, yang malu pasti Rayhan!”
Sabrina pun beranjak dari duduknya meninggalkan Reva yang menatapnya tajam.