Satria hanya mendengarkan celotehan adiknya tanpa berniat untuk membalasnya. Paling hanya menanggapinya dengan tertawa atau berdehem saja, dan hal itu membuat Meira kesal.
“Kenapa kamu sudah dua puluh delapan tahun masih seperti anak kecil, Mei?” tegur Satria yang disertai dengan kekehan.
“Kan sama Abang sendiri, kalau di depan teman atau di kantor, aku bisa dewasa, kok,” katanya jumawa.
Satria tertawa lagi.
“Kapan kamu nikah, hm?” tanya Satria.
“Ngapain Abang nanyain kapan aku nikah segala. Seharusnya aku yang tanya, kapan Abang nikah, inget umur Abang itu udah tua!” balas Meira telak.
Satria sedikit meringis mendengar ucapan adiknya yang membahas soal umur.
“Abang laki-laki, Mei. Jadi, gak ada batasan mau nikah kapan juga. Lah, kamu perempuan yang pastinya ada batasan usia sehingga bisa mempengaruhi reproduksi wanita.”
“Sejak kapan Abang jadi teliti begitu? Apa semenjak di sana, Abang suka ikut kelas biologi?” tanya Meira sinis.
Satria kembali tertawa. Bahkan, Ario yang tak sengaja mendengar percakapan antara Satria dan Meira pun ikut tertawa.
“Dia sering bawa cowoknya ke sini, Sat,” ujar Ario yang mendekat ke arah Satria.
“Really?” Satria langsung menoleh ke arah adiknya yang sudah memelototi Ario yang mengadu pada kakaknya.
“Sorry!” Ario pun menutup mulutnya dan menjauh dari kakak adik itu.
“Kamu udah punya pacar, Mei?” tanya Satria.
Meira tidak menjawab.
“Ajak ke sini, biar Abang kenal,” katanya lagi.
“Nanti, pas acara resepsi Bima, Mei akan ajak dia biar bisa kenalan sama Abang dan yang lainnya.”
Satria manggut-manggut saja.
“Oh, iya. Abang di suruh pulang sama Mama. Kasihan mama tuh udah nungguin Abang dari kapan hari.”
“Hm.”
Meira lantas memutar tubuhnya menjadi menghadap sang kakak.
“Udah cukup Abang hukum mama seperti itu, Abang gak kasihan sama Mama? Tiap malam Mama curhat terus ke aku, nanyain Abang, aku tuh bingung mau balas apa, karena Abangnya juga begini," cerocos gadis itu panjang lebar.
Satria hanya terdiam. Dia mendengar ucapan Meira, hanya saja hatinya masih belum bisa memaafkan ibunya. Katakanlah dia egois hanya memikirkan dirinya sendiri, butuh sesuatu untuk membuatnya menerima kenyataan bahwa semua yang terjadi adalah kehendak takdir.
“Entahlah, Mei. Mungkin nanti saat Bima nikah,” katanya tidak yakin.
“Ini sudah lima tahun, Bang. Jahat kalau Abang masih dendam sama mama.”
“Bukankah mama juga masih sakit hati dengan keluarganya setelah empat tahun? Bahkan, Abang bisa menebak sampai saat ini mama masih belum memaafkan keluarganya. Koreksi bila Abang salah.”
Satria yakin kalau Meira tau siapa yang dia maksud.
“Ya, ampun! Itu beda konsepnya, Bang. Mei gak ngerti lagi deh, sama sifat Abang yang kayak gini.”
Keesokan paginya, Satria sudah berada di jalanan protokol menuju ke suatu tempat. Mobilnya baru datang tadi malam setelah selama ini di simpan oleh Bima di rumahnya.
Jalanan pagi ini nampak ramai, Satria menepikan kendaraannya di sebelah taman yang berseberangan dengan bangunan sekolah Paud dan taman kanak-kanak bertaraf internasional. Dia hanya memperhatikan dari dalam mobilnya ketika yang dia tunggu akhirnya muncul.
Sudut bibirnya tertarik ke atas ketika dia melihat seorang bocah laki-laki yang sedang dituntun oleh wanita yang sangat dia kenal. Postur tubuh wanita itu tidak berubah dan malah semakin cantik. Satria malah membangun kembali kenangan mereka.
Sampai akhirnya dia melajukan kembali mobilnya meninggalkan tempat itu. Tidak terlalu sulit mengetahui kehidupan seseorang di zaman sekarang ini. Sudah sejak lama dia memiliki akun khusus yang dia gunakan untuk memantau seseorang di masa lalunya. Rasanya Satria sama sekali tidak ada niatan untuk move on, malah dia sengaja menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenangan lama.
Satria tiba di rumahnya pagi menjelang siang. Setelah dia memikirkan ucapan Meira kemarin, akhirnya dia memutuskan pulang ke rumah untuk bertemu ibunya. Ucapan adiknya benar, dia jahat karena telah menghukum ibunya selama ini.
Keadaan rumah terlihat sedikit sibuk hari ini, karena besok adalah hari pernikahan adiknya. Dia tau kalau acara itu digelar di sebuah hotel berbintang dan sore ini akan digelar acara syukuran di kediaman mereka.
“Satria ... Kau kah itu?”
Satria yang berdiri di tengah ruangan menoleh ke arah datangnya suara itu. Keduanya berjalan bersama saling menghampiri.
“Maaf, Ma,” katanya sembari memeluk ibunya.
Karina memeluk erat tubuh putra sulungnya yang sudah lama dia rindukan. Wanita itu menangis menumpahkan segala emosinya dalam dekapan putranya.
Mereka kembali berbaikan, Karina sangat senang karena Satria mau pulang ke rumahnya setelah sekian lama.
“Senang melihatmu kembali,” ucap Karina sembari menangkup kedua pipi Satria.
Pria itu hanya tersenyum tipis.
“Satria ...”
Ibu dan anak itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Satria lantas menghampiri Adji, ayahnya.
“Selamat datang di rumah,” sambutnya pada putra sulungnya yang baru kembali setelah mengasingkan diri selama lima tahun di negeri orang akibat patah hati. Itu yang sering dia katakan pada istri dan dua anaknya yang lain.
“Bagaimana kabar papa?” tanyanya.
“Tidak ada yang lebih baik dari hari ini.”
Saat ini mereka tengah duduk bersama di ruang keluarga. Hanya ada Karina, Adji, dan Satria, sedangkan Bima dan Meira sudah berangkat ke kantor.
“Bima masih berangkat ke kantor? Padahal besok dia akan menikah," ucap Satria merasa heran dengan adiknya itu.
“Nanti siang dia akan pulang, Meira juga.” Beritahu Karina.
Satria ber-oh ria.
“Setelah pernikahan Bima, Papa berencana untuk pensiun dini. Papa akan biarkan Bima dan Meira yang mengurus perusahaan," ucap Adji mengungkapkan.
Satria manggut-manggut. Sejak lama dia memang tidak terlalu suka bekerja di balik meja, walaupun ayahnya berharap penuh padanya. Tetap saja Satria lebih suka menjadi pemilik usaha di bidangnya.
“Kapan kamu akan menyusul Bima, Satria?”
Satria meringis mendapat pertanyaan yang menurutnya sangat sensitif itu.
“Entahlah, Pa. Aku masih ingin sendiri,” katanya sembari melirik ke arah sang ibu. Ibunya jelas tau, dulu dia sangat tak sabaran ingin menikahi Syera. Setelah kejadian itu, dia jadi tak bersemangat untuk mencari pendamping.
Adji berdecak mendengar ucapan putra sulungnya.
Malamnya usai menggelar acara selamatan di kediamannya, Satria masih bertahan di rumah. Adji menahan Satria untuk tetap di rumah agar besok pagi mereka bisa berangkat bersama untuk mengantar Bima melakukan proses akad nikah di hotel.
Satria sedang menghisap nikotin di balkon seorang diri. Acaranya sudah selesai sekitar satu jam lalu, Bima menghampiri kakaknya.
“Senang akhirnya Lo bisa balik ke rumah,” ujar Bima sembari mengembuskan asap nikotin ke udara.
“Demi Lo," sahut Satria.
Bima terkekeh. Dia tau kalau kakaknya hanya bercanda dan tidak benar-benar pulang demi dirinya.
“Lo masih stalking dia?” tanya Bima akhirnya.
Satria tidak menjawab.
“Move on, Sat.”
Satria hanya bergumam.
“Gue undang dia. Em, maksud gue lakinya," ucap Bima yang kemudian meralat ucapannya.
“Lo gak takut mama marah?” tanya Satria.
“Gak yakin kalau mereka datang, soalnya waktu mereka nikah gue pun gak datang.”
Satria manggut-manggut.
“Kalau akhirnya mereka datang karena menghargai undangan, bagaimana?”
“Artinya Lo beruntung bisa bertemu sama mantan terindah Lo lagi!”
“b*****t!” umpatnya kesal.
Keduanya sama-sama hening, dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian Bima mengingat sesuatu, lantas dia menoleh ke arah Satria.
“Lo mau gue kenalin?” tawarnya.
“Gak perlu, gue masih sanggup nyari cewek dengan muka ganteng gue,” katanya jumawa.
“Sialan!” Kali ini Bima yang mengumpat kesal.